Keesokan harinya, aku menatap Gilang berada di sampingku. Dia memindahkan aku ke atas tempat tidur. Laki-laki itu terlihat sangat nyenyak tidur didalam pelukanku.
Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan Gilang, namun pria itu semakin mempererat pelukannya. Tentu seperti biasa, laki-laki ini hanya pura-pura tidur saja. Mana mungkin ada orang tidur tapi bisa memeluk seerat ini.
"Bangun, Mas! Aku tahu, kau hanya pura-pura tidur. Lepaskan pelukanmu! Aku mau mandi dan kuliah sekarang! Dosenku pasti mencariku karena kemarin aku bolos kuliah," ucapku sambil menatap wajah Gilang.
Tapi robot angkuh itu tidak mau bangun, dia bersikukuh untuk tetap tidur walau hanya pura-pura. Aku menarik nafas panjang, sambil mengumpulkan keberanian ku. Aku mencubit hidung Gilang hingga akhirnya pria itu segera menepis tanganku dan membuka matanya.
"Kau ini tidak waras ya? Jadi sebegitu bencinya kah kau padaku? Hingga berniat membunuhku saat aku tertidur lelap," ucap Gilang dengan wajah kesal.
"Kau hanya pura-pura tidur! Aku tahu!" ucapku sambil melepaskan pelukan Gilang di tubuhku.
"Lalu, kau mau pergi kemana?"
"Kuliah. Memangnya mau pergi kemana lagi?" ucapku sambil berjalan masuk kedalam kamar mandi.
Randy masih menatapku sampai akhirnya aku menutup pintu kamar mandi. Aku segera mandi dan bersiap untuk pergi ke kampus. Saat aku keluar dari kamar mandi, aku kembali kehilangan robot angkuh itu. Kemana dia?
Aku segera memakai bajuku dan menyiapkan buku-buku materi kuliah. Aku keluar agak tergesa-gesa karena takut jika tiba-tiba robot angkuh itu kembali menghadang ku.
Sampai di lantai bawah, semua orang menyambut ku untuk ikut sarapan bersama. Mereka lalu menanyakan keberadaan Gilang padaku.
"Nak, kau turun sendirian? Dimana Gilang?" tanya Ayah Gilang padaku.
"Mungkin masih bersiap!" ucapku sambil tersenyum.
"Harusnya jika Gilang belum siap, kau tidak boleh turun dulu. Istri yang baik itu, keluar kamar setelah suaminya selesai bersiap. Lain kali, kau harus menunggu Gilang selesai bersiap, baru kau boleh turun untuk sarapan. Mengerti, Nak!" ucap Ibu Gilang sambil tersenyum.
"Baik, Bu!" ucapku sambil menundukkan kepalaku.
Tak lama robot angkuh itu turun dari lantai atas, dia terlihat gagah dengan setelan kantornya. Wajah rupawan penuh wibawa, sayangnya senyum itu jarang terukir di bibirnya. Pria dengan sikap yang diluar nalar. Yang bisa berubah sesuai dengan keinginannya. Kadang dia bisa sangat manis dan romantis, tapi terkadang dia bisa dingin melebihi dinginnya musim dingin di kutub Utara.
Gilang menatap tajam ke arahku, dia membisikkan sesuatu di telingaku.
"Kita sarapan diluar!" ucap Gilang dengan suara pelan.
Laki-laki itu tidak berbicara lagi, dia langsung pergi keluar rumah. Gilang memang benar-benar tidak sopan, dia bahkan berlalu pergi tanpa mengatakan apa-apa pada kedua orang tuannya yang ada di meja makan ini. Sebegitu bencinya kah Gilang pada kedua orang tuanya? Hingga sepertinya dia melupakan jika dia tidak akan ada tanpa kenaikan hati kedua orang tuanya.
"Ibu, Ayah, aku benar-benar merasa tidak enak! Mas Gilang memintaku untuk sarapan diluar. Maafkan aku, aku harus pergi bersamanya. Jika aku tidak menurut, habislah aku kena marahnya," ucapku sambil tersenyum.
"Iya, tidak apa-apa! Ikuti suamimu, kemanapun dia pergi. Jaga dia, dan tegur dia jika dia melakukan kesalahan. Ayah percaya, kau bisa menaklukkan hati Gilang seiring berjalannya waktu," ucap Ayah sambil tersenyum.
"Hati-hati, Nak!" ucap Ibu sambil melambaikan tangannya.
Aku membalas lambaian tangan itu, sambil keluar dari rumah besar dan mewah milik keluarga Gilang. Kini aku menatap ke arah Gilang yang sedang asyik memainkan ponselnya. Dia menoleh ke arahku, dengan wajah dingin dan acuhnya.
"Kenapa lama sekali? Cepat masuk ke dalam mobil!" titah Gilang dengan suara keras dan wajah datarnya itu.
Aku segera mengikuti perintah Gilang dan masuk ke dalam mobil itu sebelum robot angkuh itu mengamuk. Gilang ikut masuk ke dalam mobil dan segera melajukan mobil itu keluar dari halaman rumahnya.
Sepanjang perjalanan kami tidak sama sekali berbicara. Entah seperti apa Elisa saat berpacaran dengannya, tentu sangat membosankan punya pacar dingin dan angkuh seperti ini. Aku saja sudah ngantuk melihat dia bersamaku dalam beberapa bulan saja.
"Kenapa? Apa yang sedang kau pikirkan tentangku?" tanya Gilang menatap tajam ke arahku.
"Tidak ada?" ucapku singkat.
"Huh, kenapa dia bisa tahu apa yang aku pikirkan?" gumamku pelan.
"Karena aku bisa baca raut wajahmu yang menyebalkan itu," ucap Gilang dengan wajah kesal.
"Ahk... Apa kau dengar ucapanku barusan?" ucapku dengan wajah takut.
"Dengar! Bahkan isi hatimu pun aku bisa mendengarnya. Jadi jangan pernah berpikiran buruk padaku," ucap Gilang menatap penuh ancaman.
"Ah, mana mungkin aku berani melakukan hal itu. Aku tadi hanya..."
"Berpikir jika Elisa mantanku itu bisa tahan berpacaran denganku. Pria angkuh, membosankan, dan sama sekali tidak bisa membuat seorang wanita nyaman. Itukan yang tadi kau pikirkan?" ucap Gilang sambil menoleh ke arahku lalu kembali fokus pada kemudinya.
"Bagaimana kau bisa tahu? Aku berbicara seperti itu hanya di dalam hati. Tapi sungguh aku salut pada wanita itu, karena sanggup mencintai pria aneh sepertimu," ucapku sambil tertawa.
"Heh... Jangan macam-macam! Jika kau melewati batasanmu, aku bisa balas dendam pada keluarga kesayanganmu. Jadilah istri yang baik dan patuhi semua perintahku. Maka kau akan mendapatkan semua yang kau mau dariku. Tapi ingat, resiko mengkhianati cintaku akan sangat berat. Kau benar-benar bisa habis olehku jika berani mendekati pria lain," ucap Gilang tanpa menoleh ke arahku.
"Iya. Aku mengerti!" ucapku sambil tersenyum.
Gilang mengentikan mobilnya di depan gerbang kampusku. Dia turun dari mobilnya lalu membukakan pintu mobil untukku. Semua mahasiswi yang melihat suamiku ini, langsung mendekat dan bergerumun di depan pintu mobil.
Tentu hal itu membuatku cukup terkejut, ternyata para mahasiswi menangkap sinyal yang sangat besar dari Gilang.
Ada beberapa wanita yang memeluk Gilang, ada yang mengambil foto dan ada mencubit pipinya. Gilang awalnya kesal dengan ulah mereka. Namun melihat raut wajahku yang kesal menatap kejadian itu, membuat Gilang seolah sengaja membiarkan dirinua diserbu masa.
Aku menarik tangan Gilang menjauh dari para wanita itu. Jelas aku tidak terima jika suamiku jadi rebutan para mahasiswi centil itu. Gilang masih menatapku dengan wajah datar khas dari wajahnya.
Aku menjewer telinga Gilang hingga laki-laki itu menjerit kesakitan. Aku benar-benar marah, aku tidak terima. Dia baru saja bilang padaku untuk tidak melakukan pengkhianatan tapi dia malah membuat darahku bergejolak.
"Aww... Kau apa-apaan? Kenapa menjewer ku seperti itu? Apa kau mulai berani lancang padaku?" teriak Gilang dengan wajah marah.
"Kenapa memangnya? Aku akan menghukummu juga, jika kau bersalah. Enak saja kau meminta aku untuk menjauhi laki-laki tapi kau bergerumun dengan para mahasiswi centil itu. Aku tidak terima, jika aku lihat kau masih membiarkan mahasiswi itu menyentuhmu, maka aku akan membiarkan dosenku menyentuhku juga," ancamku membuat Gilang menarik nafas panjang.
"Sayang, aku tidak suka dengan ancaman itu! Lihat saja, akan ku penggal kepala pria itu jika berani menyentuh istriku," ucap Gilang dengan wajah kesal.
"Tidak. Dosenku yang tampan itu tidak akan kubiarkan menyentuhku, tapi aku yang akan menggoda dan menyentuhnya. Jika perlu aku akan ajak dia kencan sepulang kuliah," ucapku sambil berjalan masuk ke dalam kampus.
Gilang berlari mengejar ku, matanya menatap tajam ke arahku. Tangannya menggenggam erat tanganku dengan wajah kesal.
"Jangan macam-macam Andini! Kau benar-benar membuatku kesal sekali. Kau mau aku melakukan hal buruk pada kedua orangtuamu?" ucap Gilang ikut mengancam.
"Jangan! Jangan lakukan hal buruk pada keluargaku! Maafkan aku, aku tidak akan berbicara apapun lagi. Tadi aku hanya ingin melihat wajah kesalmu. Maafkan aku!" ucapku sambil memeluk tubuh Gilang.
Aku merasakan degup jantungnya berdetak kencang. Apakah Gilang merasakan sesuatu saat memeluk tubuhku? Aku juga merasakan hal yang sama dengan Gilang. Jantungku ikut berdebar kencang merasakan pelukan hangat yang kuberikan di tubuh Gilang.
Apakah aku jatuh cinta? Apakah Gilang juga merasakan hal yang sama padaku? Aku menatap wajah Gilang, begitupun kulihat Gilang menatap wajahku. Wajah datar tanpa senyum itu benar-benar terlihat begitu tampan dan sempurna.
Bola mata coklat dengan hidung mancung, serta bibir merah alami yang membuat wanita pasti gemas menatapnya dan ingin memilikinya. Namun wanita mana yang bisa mencuri ciuman dari pria garang semacam Gilang. Aku saja yang berstatus sebagai istrinya tidak berani melakukan hal semacam itu padanya.
Gilang masih menatapku dengan tatapan takjub tanpa merubah ekspresi wajah datarnya. Hingga bibir itu tiba-tiba mendekat ke arah bibirku. Mataku melotot, apa Gilang benar-benar akan menciumiku di depan kampus ini?
Aku mendorong tubuh Gilang hingga adegan mesra itu tak terjadi. Wajah Gilang terlihat tersenyum kecil mengingat hal bodoh yang akan dia lakukan padaku di depan kampus. Hingga akhirnya dia mengusap lembut kepalaku lalu berbisik pelan di telingaku.
"Aku jemput di kampus saat kau pulang nanti. Jangan berani pulang sendiri, tunggu aku karena aku punya kejutan spesial untukmu," ucap Gilang sambil berjalan meninggalkan aku.
Gilang keluar dari gerbang kampusku, melewati para mahasiswi yang terlihat mencegah kepergiannya. Gilang terlihat masa bodoh dengan hal yang dilakukan para mahasiswi itu. Hingga akhirnya mobil Gilang pergi dari kampusku.
Aku berjalan masuk ke dalam kampus hingga suara itu mengejutkan aku.
"Siapa laki-laki tadi? Apa itu pacarmu? Jadi itu alasannya kenapa kau menolak cintaku?" ucap Randy sang dosen yang dicintai Keysa.
"Maaf Pak, aku masih ada urusan!" ucapku sambil berlalu meninggalkan dosen Randy.
Tangan Randy memegang erat tanganku, lagi-lagi aku bermasalah dengan dosen ini. Kenapa dia tidak membiarkan aku hidup tenang? Apa dia tidak tahu, jika berdekatan dengannya bisa membuat Keysa ngamuk padaku.
Tuhan, bagaimana cara aku lepas dari pria ini? Aku tidak mau Keysa salah paham apalagi jika sampai pria robot itu melihat ini. Habislah aku!
"Pak, anda dicari oleh dosen Alif tadi. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan," ucap seorang mahasiswa pada dosen Randy.
Dengan sangat terpaksa, dosen itu melepaskan tanganku. Huh, setidaknya aku bisa bernafas lega dan kuliah tenang sekarang!