Aku sudah menghabiskan waktu seharian di dalam kamar. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar karena perutku sudah keroncongan. Aku menatap kearah Ibu Gilang yang sedang memasak makanan di dapur.
Aku tidak berbicara, hanya menatap hal yang sedang dilakukan Ibu Gilang bersama dua pelayannya di dalam dapur. Ibu Gilang yang sedari tadi sibuk memasak, akhirnya menoleh ke arahku.
"Andini, kau disini? Apa kau butuh sesuatu?" tanya Ibu mertuaku itu.
"Aku lapar, Bu!" ucapku sambil memegangi perutku yang keroncongan.
"Ibu tadi buat puding, apa kau suka?" tanya Ibu Gilang sambil tersenyum menatap ke arahku.
"Suka, apalagi disaat aku lapar seperti ini! Aku akan memakan apapun yang aku temui," tawaku sambil menatap kearah Ibu Gilang.
"Kau ada-ada saja! Mari ikut Ibu sebentar, Nak!" ucapnya sambil menuntunku menuju kulkas.
Saat Ibu membuka kulkas, aku melotot menatap kulkas itu penuh dengan makanan. Ada bolu coklat, buah-buahan, puding, kue lapis dan masih banyak lagi. Rasanya air liurku benar-benar akan menetes saat itu.
Ibu Gilang tersenyum menatap ke arahku yang masih menatap isi kulkas di hadapanku.
"Apa ada yang kau inginkan? Ambil saja, tidak usah sungkan," tawa Ibu Gilang.
Tanpa malu, aku mengambil makanan yang aku inginkan. Mereka menimbun banyak makanan di dalam kulkas, sementara di dalam kamar Gilang, aku kelaparan seharian.
Ibu dan aku duduk di kursi meja makan sambil membawa beberapa makanan di tangan kami. Aku yang sudah lapar, langsung memakan makanan itu tanpa menghiraukan keberadaan Ibu mertuaku itu.
"Andini, pelan-pelan makannya!" tawanya membuatku malu.
Aku melambatkan kunyahan makanan dimulutku, aku sebenarnya ingin segera menghabiskan semuanya. Namun tidak berani karena ini bukan rumahku, ini adalah rumah Ibu mertuaku. Bagaimana pikirannya nanti, jika melihat menantunya makan seperti orang kesurupan. Tentu akan menjadi perbincangan hangat di dalam keluarga besar ini.
Ibu menatap ke arahku dengan wajah bahagia. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Tapi, tentu ini berkaitan dengan masalah Gilang putranya.
"Andini, Ibu boleh tanya sesuatu?"
"Tanya apa, Bu?" tanyaku sambil mengunyah makanan di mulutku.
"Apa kau dan Gilang sudah...," Ibu tidak melanjutkan kata-katanya.
"Sudah apa, Bu?" tanyaku bingung.
"Melakukan itu!"
"Melakukan apa?" tanyaku semakin bingung.
"Hubungan suami istri! Apa Gilang sudah benar-benar melakukannya bersamamu?" tanya Ibu dengan senyum di wajahnya.
"Apa hal seperti itu harus dipertanyakan?" ucapku dengan wajah bersemu merah.
"Kenapa? Apa kau malu mengatakannya? Katakan pada Ibu, Ibu bisa jaga rahasia!" tawanya.
Aku menatap wajah Ibu mertuaku yang terlihat antusias. Lalu aku berbisik pelan di telinganya.
"Sudah!" bisikku.
"Sudah berapa kali?"
"Baru dua kali," ucapku berbisik pelan.
Ibu mertuaku tertawa dengan wajah sangat bahagia. Seolah-olah ada hal lain yang membuatnya begitu antusias menanyakan hal pribadi itu padaku.
"Ibu kenapa? Kenapa Ibu terlihat bahagia mendengar berita ini?" tanyaku bingung.
"Ibu hanya tidak menyangka! Jika kau benar-benar berhasil menaklukkan pria seperti putraku. Kau tahu, selama ini aku sudah melakukan berbagai cara agar putraku bisa mencintai wanita lain. Namun tidak pernah berhasil! Tapi kau, kau adalah wanita pertama yang bisa membuat si keras kepala itu jatuh cinta padamu," ucap Ibu sambil tersenyum.
"Tapi Gilang tidak pernah mengatakan cinta padaku! Dia hanya memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan sayang," ucapku dengan wajah polos.
"Itu adalah tanda cinta, Andini! Tidak semua kata cinta itu di ungkapkan dengan kata-kata. Apalagi untuk laki-laki angkuh seperti putraku! Kau harus bisa memahaminya, tanpa harus menunggu dia mengatakannya," tawa Ibu.
"Tapi aku tidak paham maksud Ibu!" ucapku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
"Kau benar-benar masih polos rupanya! Maksudku adalah, Gilang itu laki-laki yang tidak mudah tertarik pada lawan jenis. Namun dia memintamu untuk memanggilnya dengan sebutan sayang, itu berarti kau penting untuknya!" ucap Ibu sambil tersenyum.
"Tapi tidak akan lebih penting dari Elisa, mantan Mas Gilang kan?" ucapku menatap penuh tanya pada Ibu mertuaku itu.
"Andini, untuk apa kau membahas tentang wanita itu. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia, Nak! Kau lebih baik fokus pada pernikahanmu dengan Gilang, putraku!" ucapnya sambil mengelus rambutku.
"Tapi aku ingin tahu, kenapa Ayah dan Ibu begitu membenci Elisa? Kenapa kalian melarang Gilang berhubungan dengan Elisa? Padahal sepertinya mereka saling mencintai, tapi kenapa kalian memisahkan mereka?" ucapku dengan wajah kecewa.
"Ada hal yang tidak kau dan Gilang tahu, tentang wanita yang bernama Elisa itu. Aku tidak membencinya, sungguh! Tapi aku tidak mau jika Gilang menikah dengan wanita itu," ucap Ibu dengan senyum dibibirnya.
"Lalu? Apa alasannya?"
"Elisa itu anak dari seorang pengusaha bernama Azwar Ardian. Keluarga mereka dikenal para pengusaha sebagai keluarga rusak. Ayahnya menikah lagi, Ibunya hamil oleh selingkuhannya, dan Elisa, gadis itu memiliki warisan sifat yang sama seperti kedua orang tuanya," ucap Ibu menatap tajam ke arahku.
"Apa maksud Ibu? Apa Ibu berpikir jika keluarga Elisa rusak, berarti dirinya juga adalah wanita buruk seperti keluarganya?" tanyaku bingung.
"Benar!"
"Tapi itu tidak adil untuk Elisa! Dia juga tidak ingin terlahir dari keluarga yang rusak seperti itu. Jika bisa memilih, tentu dia akan memilih dilahirkan dari keluarga terhormat," ucapku pelan.
"Tapi masalahnya, wanita itu punya karakter yang sama seperti Ibu dan Ayahnya. Aku dan suamiku pernah beberapa kali memergoki dia bersama dengan seorang Om-om disebuah hotel. Bukan hanya sekali, tapi berulang kali. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya pada resepsionis hotel itu yang kebetulan adalah kawan lamaku."
"Lalu? Apa katanya?" tanyaku penasaran.
"Kawanku bilang, jika Elisa adalah wanita panggilan yang selalu menemani para Om-om kesepian. Dia selalu di booking dua pria setiap satu malam. Kau tahu, aku tiba-tiba saja mengkhayal putraku Gilang. Selama ini, Elisa berpura-pura polos dan baik dihadapan putra. Padahal kenyataannya, dia itu wanita munafik. Dia membuat putraku membenci Ayah dan Ibunya. Wanita itu benar-benar wanita licik!" ucap Ibu terlihat sedih.
"Maafkan aku, Ibu! Aku pikir kau...,"
"Jahat! Andini, tidak ada seorang Ibu yang ingin perasaan putranya di permainkan! Begitupun dengan aku, aku melindungi putraku dari wanita licik seperti Elisa. Sudah, Nak! Ibu harus menyiapkan makan malam di dapur. Kau habiskan makanmu!" ucap Ibu sambil tersenyum.
Aku kembali memakan makanan yang ada di meja makan. Saat aku sedang makan, tiba-tiba Gilang datang dan duduk di sebelahku.
"Sedang apa?" ucapnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Makan! Apa matamu sudah rabun, suamiku?" ucapku kesal.
"Heh, aku tahu kau sedang makan! Tapi makan apa?" tanya Gilang menatap tajam ke arahku.
"Puding, kenapa? Apa kau mau?" tanyaku sambil tersenyum.
"Tidak!"
"Makan saja, tidak usah malu-malu!" ucapku sambil menyuapi Gilang secara paksa.
Entah keberanian darimana itu, hingga aku bisa-bisanya memaksa robot angkuh untuk memakan makanan bekas aku makan. Hatiku tertawa puas, tapi tak ada reaksi yang membahayakan untukku.
Gilang memakan makanan yang ku suapi, padahal puding itu benar-benar bekas aku makan. Tanpa ada rasa jijik, Gilang menghabiskan puding bekas itu.
"Oh, iya! Mana bonekaku?" tanyaku menatap tajam kearah Gilang.
"Boneka? Boneka apa?" ucap Gilang, dengan wajah polos tanpa dosa.
"Kau janji akan membelikan aku boneka tadi. Mana bonekanya?" tanyaku kesal.
"Aku tidak membeli apa-apa untukmu! Memangnya kapan aku mengatakan akan membelikan kau boneka?" ucapnya sambil berdiri dari duduknya.
"Tadi di telepon! Apa kau lupa? Apa kau amnesia? Atau memang sengaja melupakannya?" ucapku dengan wajah kesal.
"Harusnya aku tidak berharap pada laki-laki semacam dirimu. Mana mungkin kau bisa bersikap romantis, huh... Dasar robot angkuh!" ucapku sambil mengikuti langkah Gilang menuju kamar tidur.
Beberapa kali aku memukul tubuhnya, namun pria itu benar-benar tidak bereaksi. Menerima setiap pukulan ku dengan lapang dada. Sampai di dalam kamar aku terpaku. Menatap seluruh kamar itu di hiasi oleh beraneka macam boneka.
Aku masih menatap takjub kearah kamar itu, sementara Gilang berjalan pelan mendekat ke arahku. Wajahnya masih datar tanpa ekspresi, namun hal yang dilakukannya untukku, benar-benar membuatku merasa istimewa.
"Kau membelikan aku boneka sebanyak ini?" tanyaku sambil tersenyum.
"Heeh...."
"Apa kau membeli seluruh isi toko boneka itu? Kau benar-benar romantis sekali, suamiku!" ucapku sambil mencubit pipinya.
"Auu... Apa kau tidak waras? Harusnya jika suamimu memberikan kejutan padamu, kau memberikannya ciuman bukan cubitan menyakitkan seperti itu," ucap Gilang sambil mengusap pipinya yang sakit.
"Tidak. Aku tidak akan memberikan ciumanku pada pria robot sepertimu. Berubah dulu jadi manusia normal, baru kau bisa mengharapkan lebih dariku!" ucapku sambil berlari kedalam kamar mandi.
"Apa kau bilang?" ucap Gilang membuatku segera mengunci pintu kamar mandi untuk menyelamatkan diri.
"Buka pintunya, Andini!" teriak Gilang.
"Tidak mau! Aku takut padamu, robot angkuh! Wajahmu itu menyeramkan, apa kau tidak sadar!" ucapku sambil tertawa.
"Kau mulai berani meledekku ya! Buka pintunya Andini!"
"Tidak mau! Aku mau tidur di kamar mandi saja!" ucapku sambil tertawa keras.
Dibalik pintu kamar mandi, ada celah kecil yang membuatku bisa melihat Gilang dari sana. Aku melihat tawa manis dari bibir Gilang, yang jarang sekali ku lihat. Wajah pria robot itu seketika membuatku terhipnotis. Bagaimana bisa, senyum pria robot itu semanis itu?
Aku benar-benar mengantuk sekali, namun tidak berani untuk membuka pintu kamar mandi. Aku yakin akan ada hal yang akan dilakukan Gilang padaku. Dia sudah siap menerkam ku kapanpun dia mau. Aku takut, bagaimana kalau nanti aku hamil. Aku masih sangat muda jika harus mengandung anak Gilang.
Akhirnya aku tertidur sambil duduk di lantai kamar mandi. Kepalaku ditopang oleh kedua kakiku yang di lipat. Dan aku terlelap dalam kamar mandi itu. Sayup-sayup kudengar suara Gilang memanggil namaku. Suaranya terdengar begitu dekat, namun mataku sudah tidak sanggup untuk menatap hal yang terjadi karena ngantukku saat itu.
Apa yang terjadi selanjutnya? Akankah Andini dan Gilang bisa saling mencintai nantinya?