Chapter 13 - 13°

Haneul membuka matanya perlahan dengan mencoba memahami keadaan ini kemudian menyentuh-nyentuh tubuhnya.

"Gw belum mati?!" katanya panik dan kemudian menatap tangan kirinya itu yang sedang diinfus.

Haneul mengerutkan alisnya, ia juga langsung menatap tangan kanannya yang sudah diperban rapi.

"Ini dimana? Ini juga baju tidur siapa?" katanya masih tak bisa memahami situasi, ia merasa tak pernah datang ke tempat ini.

Haneul terbangun dari tidurannya menjadi duduk walau masih terasa sangat sakit dan saat itu juga seorang perempuan datang.

"Eh, syukurlah kamu sudah bangun" seru bibi itu dan Haneul hanya menatapnya bingung.

"A-a-anda siapa dan s-s-saya dimana?" ujarnya memberanikan diri untuk berbicara.

"Ahh saya bibi pembantu pengurus rumah ini. Kamu lagi di rumah pak Minkyung, rumah Mark" pernyataan itu membuat Haneul membesarkan matanya karena kaget.

Dan ingatannya yang semalam sebelum ia pingsan kembali seketika itu juga, "Ah iya" ucapnya sambil memukul kepalanya pelan.

"Kamu relaks aja, santai semua orang disini bermaksud baik kok sama kamu soalnya kamu hampir aja lewat kalo gak ada Mark" ujar bibi mencoba menenangkan Haneul.

Haneul langsung membalasnya, "Ya itu yang saya mau bi, kenapa dia dan kalian semua peduli sama saya? Saya gak ada hubungan apa-apa dengan kalian semua dan pada akhirnya gak jadi mati sekarang... Apa yang mau saya perjuangin di dunia ini? Makin sakit iya"

Bibi menatapnya cukup kaget, akhirnya ia menutup pintu kamar itu untuk masuk lebih dalam dan duduk disamping Haneul.

"Nak, bahkan kalau kamu mati aja itu ga menyelesaikan masalah" kata bibi itu menatap Haneul lembut.

Dan Haneul hanya menunduk memainkan jari jemarinya, "Tapi seengaknya aku bisa ngerasa damai dan masalahku di dunia ini jadi selesai walau neraka menantikan aku bi. Aku udah terlalu capek" balas anak itu lagi.

"Tuhan gak pernah ngasih masalah lebih dari kekuatan manusia, jadi kamu ga mungkin gak bisa. Tuhan lagi bentuk kamu buat jadi pribadi yang lebih dewasa dan baik lagi lewat masalah-masalah itu. Kalau udah lulus pasti Tuhan bakal kasih kamu hadiahnya yang diluar dugaan"

Haneul tertawa kecil, "Ngedewasain gimana, makin ngerasa buat pengen mati malah iya" balasnya.

"Justru itu, bayangin aja kalau kamu hidupnya enak terus gimana caranya kamu bisa jadi pribadi yang dewasa? Toh semuanya enak kasih sayang cukup uang kebutuhkan cukup. Tanpa ada masalah kita gak bisa jadi manusia dewasa. Bahkan lewat masalah ini aja kamu masih terlihat kekanak-kanakkan Haneul" pernyataan itu cukup mengagetkan Haneul sampai-sampai Haneul menatap bibi itu.

"Maksud bibi apa? Bibi ga ngerasain makanya bibi gak ta-" sang bibi segera memotongnya.

"Bibi emang ga ngerasain tapi Tuhan tau dan ngerasain semua yang kamu rasain. Kalau kata Mark, Tuhan tau kamu kuat makanya dia bisa ngasih cobaan segitu ke kamu yang mungkin orang lain gak bisa lewatinnya"

"Gak ada satu masalah yang gak ada jalan keluarnya sama sekali, kalau gak ada sekalipun bukan bunuh diri lah cara satu-satunya. Neraka jauh lebih kejam bahkan bisa abadi dibanding masalah yang di bumi Haneul"

"Semua orng punya masalah nya sendiri dan gak mungkin ada orang yang gak punya masalah. Cuma ya setiap orang masalahnya juga beda tergantung kekuatan orang itu sendiri. Nah disitulah Tuhan bisa ngebentuk orang-orang. Kamu lihat aja para motivator, mereka juga terbentuk dari sebuah masalah atau bebannya tersendiri Haneul. Kalau tidak ada beban atau masalah itu dia tidak akan bisa jadi motivator" nasehat bibi.

Bibi menghela nafas panjang, lalu mengelus kakinya dengan lembut. "Yuk bisa yuk!" lalu bibi itu tersenyum pada Haneul.

"Ya udah deh kalo gitu bibi mau bikin sarapan dulu buat kamu, kamu kan belum makan dari semalem dan sekarang malah udah jam 12 siang tuh" ujarnya sembari berdiri dan keluar dari kamar.

Haneulpun merenung dengan semua kata-kata bibi tadi, kalau dipikir memang ada benarnya sih. Kalau tidak ada masalah, tidak akan bisa menjadi pribadi yang 'dewasa' seperti sekarang.

Ya walau bibi mengejeknya karena 'bunuh diri' baginya adalah 'kekanak-kanakkan'.

Haneul menatap pintu kamar itu dan menghela nafas panjang juga membatin, "Tapi gw udah bener-bener lelah. Kalian ga ngerti perasaan ini. Kalian pikir gw gak mau hidup? Gw juga mau terus hidup, tapi kenyataan nampar gw"

~~~

"Kenapa babe?" tanya Mina sambil menyeruput kopi yang dibeli Mark.

Mark baru saja menelfon Mina untuk pertemuan dadakan ini, ya untungnya Mina juga langsung bergerak kesini dan sampai dalam kurun waktu yang tak terbilang lama juga.

Mark menatap Mina dengan dingin dalam kurun waktu cukup lama membuat Mina bingung dan canggung.

"K-k-kenapa Mark? Kamu kenapa?" tanya Mina lagi dengan gugup.

"Ayo kita putus"

Uhuk!

Mina yang mendengarnya langsung tersedak dan terbatuk-batuk sedangkan Mark tetap menatapnya dingin menunggu Mina beres dan membalasnya.

"Kenapa? Emang aku salah apa? Kok bisa tiba-tiba gini Mark?" balas perempuan itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Kan kamu selingkuh, jangan ngira aku gak tau Mina. Aku udah tau dari awal cuma diem aja seakan-akan gak tau dan kebetulan udah dapet bukti yang jelas jadi hubungan kita diakhiri dengan pernyataan yang jelas juga" jelas Mark sembari menggoyang-goyangkan kaki kanannya.

Kini mata Mina sudah penuh dengan air mata, "Dimana buktinya Mark? Aku sering sama kamu hp aku juga selalu aman pas kamu cek kan? Dimana kepercayaan kamu ke aku? Kenapa bisa tiba-tiba begini?" ujar perempuan itu dengan bergetar.

Mark menunduk dan membuang nafas pasrah, "Sebenernya aku juga gak mau berakhir kayak gini dan terus mau perjuangin kamu. Tapi kamunya yang kayak brengsek gimana? Liat aja sekarang akting kamu bikin aku rasanya jadi jahat banget padahal kenyataannya siapa yang lebih jahat?"

"Udahlah, ya? Kita selesaikan drama ini. Aku males harus hidup dalam lingkup drama ini, malu juga diliat orang-orang keliatannya aku jahat banget sama kamu" lalu Mark berdiri tapi Mina langsung menahan tangannya.

"Kamu tuh siapa? Ini beneran Lee Mark yang aku kenal? Kamu tuh kenapa Mark? Lee Mark yang aku kenal ga kayak gini" kata gadis itu.

"Maaf" Mark melepas tangannya dan pergi langsung dari tempat itu dan langsung gas untuk pulang ke rumah.

Mark juga ingin bisa menunjukan bukti itu, sangat ingin agar Mina sadar dan tertampar. Tapi taruhannya adalah Haneul.

Jangankan ditunjukan, tidak ditunjukan aja pasti Mina sudah tahu ini semua karena Haneul.

Mark sebenarnya juga masih ada rasa pada Mina, hanya kecewa. Ya itu jelas karena kejadian barusan tadi benar-benar terjadi tanpa ada persiapan sama sekali. Mark juga belum rela dan belum mau melepaskan dia walau dia berselingkuh.

Tapi secara tak sadar, Mark juga sebenarnya berselingkuh karena hatinya menyukai 2 perempuan secara bersamaan. Mark juga bingung kenapa bisa suka begini pada Haneul. Padahal suka sama Mina saja tak semudah itu, Mark tipe yang susah suka perempuan sih sebenarnya. Mina itu cinta pertamanya.

Mulai saat ini dia harus tegas pada dirinya sendiri, ya ia harus bisa melupakan Mina dan segera memperjuangkan Haneul.

Walaupun hatinya sudah menyukai 2 perempuan, rasa itu tidak akan sama rata. Dan perasaan yang lebih itu untuk Haneul, jadi Mark hanya ingin mengikuti perasaan hatinya saja.

Mark melajukan mobilnya lebih cepat lagi agar bisa sampai di rumah dan bertemu Haneul.