Sepasang mata berlensa kucing itu tengah menatap dalam, lirikannya bisa membuatku tak berkutik. Sekali lagi dia berdeham menunggu jawabanku. Ketukan jari pada meja seolah menjadi pertanda dari kesabarannya. Aku mencoba mengalihkan pandangan, nampaknya aku mulai bosan untuk berbohong. Karena dia bisa membaca semuanya.
"Kamu takut ulat?"
Aku tercengang untuk ke beberapa kalinya setelah ia menyebutkan sesuatu yang bahkan belum sempat aku beritahukan padanya, suasana temaram ini membuat bulu kuduk ku meremang. Apalagi burung hantu itu senantiasa mencekik ku dengan sorotan matanya yang tajam bak cakram.
"I...iya"
"Saya melihat ada dua ketakutan di sini selain takut akan hewan itu"
Mataku berkeliaran pada papan kayu berbentuk bulat bertumpuk dua, sebuah benda dengan simbol-simbol horoskop.
"Kamu ingin bermain ini?" kuku panjang hitamnya mengetuk-ngetuk papan itu.
Aku langsung menggeleng kaku "Tidak, tidak."
Ia menyeringai kembali memperlihatkan giginya yang tak rata dan bertaring.
Peramal gila!! Caranya menebak membuatku paranoid, dia terus menelusuri garis tanganku. Bau-bau aneh mulai memenuhi penciuman, menyesal telah masuk ke zona ini.
"Kesalahan terbaik... dua pinang, dua cincin dan satu jari. Eternality"
Aku mendengus kesal ingin segera mengakhiri sesi tebak menebak ini, aku menyimak namun tak mengacuhkan setiap perkataannya yang susah dipahami nalar.
Dia beralih ke tangan kiriku lalu menelusuri telunjuknya di sana, tangannya sedikit kasar. Wanita berambut gimbal, dan bergincu hitam itu menatap lagi padaku "Buruk... saya tidak bisa melihatnya. Dua bilah pedang teracung, namun salah satunya tumpul dan satu lagi tajam. Wounds..."
Ia melempar tanganku lalu mundur dari duduknya, raut wajah nya berubah drastis membuatku hampir pingsan ketakutan. Atmosfer horor ini berhasil mengaduk-aduk isi perutku. Padahal aku cuma niat main-main, tapi sepertinya aku tidak bisa menyepelekan sugesti ini. Mata wanita itu menusuk tajam namun beberapa detik kemudian kembali normal dengan menyunggingkan senyumnya "Beloved girl, kamu beruntung."
Aku menyipitkan mata "Sudah selesai? Boleh aku keluar?" mataku menengok kearah burung hantu yang kepalanya berputar, aku semakin menggigil takut.
Ia menundukkan wajahnya sambil mengulurkan telapak tangannya.
Aku merogoh tas memberinya uang dua puluh ribu, dan berakhir dengan lari tunggang langgang berhenti di tengah kerumunan orang. Aku memegang dada yang berdetak seribu kali lebih kencang, paranormal itu berhasil mensugestiku. Lain kali aku tidak akan pernah masuk lagi ke zona permainan psikologis manusia itu. Aku yakin, dia mempelajari ilmu psikologi atau nekromansi. Aku tak percaya ramalan, sungguh.