Rasa penyesalan serta kecewa karena ucapan yang belum tersampaikan boleh saja masih tersimpan di hati, masih melekat dengan jelas dan menyisakan rasa pahit yang berkepanjangan. Tapi Yeji sadar betul saat ini dia tidak boleh mendalami peran melankonisnya. Dia sedang berada di wilayah asing: dengan banyak anak seumuran dengannya---tapi dia sama sekali tidak kenal satupun dari mereka, dan satu-satunya yang menemani Yeji di sisi dengan setia hanyalah koper besarnya. Yeji sendirian, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Wanita yang menyuruh Yeji untuk cepat masuk ke dalam portal sudah pergi di detik selanjutnya saat Yeji sudah benar-benar masuk ke dalam portal. Tapi sebelumnya wanita itu masih sempat memperkenalkan diri. Wanita itu mengaku bernama Im Nayeon, dia merupakan salah satu panitia penerimaan pelajar baru serta tenaga pengajar di G-Academy.
Dan sebelum benar-benar pergi, Im Nayeon menyerukan agar semua anak remaja yang ada masuk ke dalam dan berkumpul di Aula Besar.
Setelahnya timbul pertanyaan terbesar dalam benak Yeji: masuk ke dalam? Kemana?
Yeji tidak dapat melihat apa-apa selain jalan dengan marmer emas yang memanjang di depannya. Tidak ada bangunan aula---atau apalah itu---di depan sana. Hanya ada jalur selurusan dengan lantai marmer emas yang mengkilap.
Tapi Yeji tidak tahu dia yang bodoh atau memang anak remaja lainnya memang tipikal anak penurut, mereka semua malah bergerak berduyun-duyun masuk ke-dalam-entah-apa-itu. Dan insting Yeji mengatakan bahwa dia juga harus mengikuti remaja lainnya.
Maka Yeji menggenggam erat pegangan kopernya, dia melaju dengan harapan dia bukanlah si bodoh karena bergerak hanya karena ikut-ikutan.
"Yeji?"
Oh, ya... Sekarang Yeji mendadak mendengar suara seseorang memanggilnya namanya dengan nada tidak yakin---seperti, kau ini orang yang aku kenal, bukan ya? Mungkin orang itu kaget melihat Yeji berada di tempat seperti ini---dan ya... tentu Yeji merasa dirinya juga kaget karena bisa berada di sini.
Yeji menebak-nebak, kira-kira siapa orang malang yang juga terjebak di tempat ini? Apa orang itu teman Yeji di sekolah? Atau tetangga Yeji? Atau... Yeji hanya terlalu percaya diri saja, sebab mungkin saja ada Yeji yang lain dan Yeji yang itu yang dipanggil, bukan dirinya.
"Yeji?" Suara itu mendekat padanya.
Yeji merasa berdebar karena berharap dialah Yeji yang dimaksud.
"Yeji?"
Tepat saat itu Yeji berbalik dan menemukan sosok yang---eh, tidak pernah terpikirkan olehnya.
"Yeonjun?"
"Hwang Yeji?" Orang itu adalah anak laki-laki---disingkat dalam kamus Yeji menjadi cowok. Yeonjun bermarga Choi dengan piyama biru laut dan jaket hitam serta tas besar yang dijinjing memanggil Yeji. "Kau Hwang Yeji dari kelas 3-4 'kan?"
Yeji tidak tahu harus berkata apa. Jadi dia hanya mengangguk.
Cowok itu tersenyum. "Kau di sini juga?"
Dan Yeji mengangguk, lagi.
Yeji kenal siapa cowok itu, dia adalah Choi Yeonjun: masuk ke dalam jajaran anak laki-laki paling dicari di sekolah, most wanted, dia pintar, dan juga ganteng. Yeji berada dalam satu sekolah yang sama dengannya, bahkan satu angkatan juga---tapi mereka berdua beda kelas, Yeonjun ada di kelas 3-1 sedangkan Yeji di kelas 3-4.
Dalam lingkaran pertemanan Yeji, dia mengetahui banyak orang, dia berteman dengan siapa saja. Tapi untuk yang satu ini---Yeji tidak bisa berkomentar. Yeonjun adalah sosok paling susah untuk diraih. Mereka berdua seperti berada dalam kasta sosial yang berbeda, dan tanpa sadar ada dinding yang memisahkan jalinan pertemanan.
"Ngomong-ngomong, kau darimana tahu namaku?" Yeji baru menyadari Yeonjun sudah berlagak seperti lama mengenalnya. Padahal dalam kehidupan sehari-hari keduanya tidak pernah berkomunikasi, bahkan untuk saling bertegur sapa pun tidak pernah. Yeji skeptis jika Yeonjun tahu namanya.
Tapi di hari yang semakin aneh ini Yeji malah mendapati cowok populer di sekolahnya memanggil namanya lebih dulu. Bukan hal yang buruk, tapi tetap butuh dipertanyakan. Dan Yeji sangat berharap pertemuan mengejutkan ini tidak memberikan kesan canggung karena adanya ketidak-akraban di antara kedua belah pihak.
"O-oh, itu?" Yeonjun terlihat berpikir sejenak. Raut wajahnya berubah seperti tidak nyaman saat ditanya. Mungkin Yeonjun tidak suka. "Aku tahu dari teman kelasku---ada yang berteman denganmu dan dia sering membicarakanmu, jadi aku tahu kau..."
Yeji mengangguk menerima informasi itu.
Dia ingat punya teman di kelas 3-1, mungkin temannya yang itu juga berteman dengan Yeonjun dan menceritakan dirinya pada cowok populer itu. Ya, itu terdengar masuk akal sekarang... tentang bagaimana Yeonjun bisa tahu namanya.
Ah... padahal Yeji sudah mengkhayal mendapat pernyataan tidak terduga, seperti: aku tahu, karena aku selalu memerhatikanmu... Tapi yang dia dapat malah beda jauh dari ekspetasi.
Hah, impian para anak perempuan saat bersama cowok populer benar-benar menggelikan. Ini bukan berarti Yeji menyukai Yeonjun, hanya saja... bagaimana menjelaskannya, ya? Seperti kebiasaan kebanyakan perempuan yang berandai-andai disukai cowok populer---apalagi jika yang berasal dari golongan bad boy, rasanya pasti menyenangkan sekaligus mendebarkan.
Oke, Yeji, cukup! Gadis mungil dalam hati Yeji mengingatkan. Kau terlalu banyak membaca novel romansa remaja. Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi di dunia nyata. Jangan mengkhayal!
Omongannya sedikit kejam, tapi itu memang benar. Yeji mendapati dirinya menertawakan pikiran konyol dalam otaknya.
"Ah...oke," guman Yeji.
Mereka berdua berjalan beriringan mengikuti rombongan di depan. Jalanan yang ditempuh sangat panjang serta sedikit terjal, kadang naik dan kadang turun. Dan hebatnya seluruh lantai berkeramikan marmer emas---sama sekali tidak ada tanah. Yeji jadi penasaran itu emas asli atau imitasi, sebab banyak sekali penggunaaan emas yang digunakan di sini---rasanya orang yang membuat tempat ini banyak sekali mengeluarkan uang hanya untuk emas yang hanya akan dipijak-pijak oleh banyak orang, jika emas sungguhan yang dipakai.
"Jadi kau tahu apa maksudnya kita ada di tempat aneh ini?" Yeji bertanya.
Yeonjun menggeleng. "Tidak tahu. Ibuku hanya mengantarku ke tempat yang penuh dengan banyak pohon, kami malakukan perjalanan berjam-jam hanya untuk bisa mendapatkan portal ajaib."
Persis sama seperti yang Yeji alami. Hm, Yeji jadi menduga jika semua remaja di sini mengalami hal yang sama juga.
Mendadak Yeji teringat sesuatu. Dia menyikap lengan jaketnya, menunjukan pergelangan tangan kanannya yang ada tato burung elang. "Apa kau punya yang seperti ini?"
Yeonjun melihatnya.
Yeji berpikir jika Yeonjun juga punya tato seperti itu, makanya Yeonjun juga ada di tempat ini. Tapi di luar ekspetasi Yeji, cowok itu malah terkejut. "Kau mentato dirimu?"
Yeji dengan cepat menggeleng. Ini harus cepat diklarifikasi agar dia tidak diduga berbuat sebuah aksi nakal mentato dirinya sendiri. "Sebelum kemari ada seseorang pria bertamu ke rumahku. Dia memegang tanganku lalu mendadak tato ini ada," jelasnya. "Apa kau juga mengalaminya?"
Yeonjun tampak berpikir sejenak, dia sedang mengingat-ingat. "Tidak ada yang bertamu ke rumahku, ataupun tato yang muncul mendadak seperti punyamu," katanya. Yeonjun juga menyikap lengan jaket hitamnya untuk memperlihatkan apakah ada tato atau tidak di sana, dan hasilnya tentu saja tidak ada seperti yang dikatakannya tadi.
Yeji mendesah kecewa. Pikiraannya seperti benang kusut karena memikirkan kenapa dia bisa mendapat tato sedangkan Yeonjun tidak.
"Apa menurutmu ada yang punya tato seperti ini juga?"
Yeonjun menggidikan bahu. "Tidak tahu," jawabnya. "Tapi kalau tidak salah lihat, ada beberapa anak yang tampak seperti punya di tangan sebelah kanan---kalau aku tidak salah lihat."
Jawaban itu tidak terlalu memuaskan Yeji.
Perjalanan masih berlanjut. Yeji masih berdampingan dengan Yeonjun menyeret koper masing-masing mengikuti langkah kaki rombongan di depan mereka. Tidak terlalu banyak perbincangan yang keduanya lakukan setelah perbincangan mengenai tato---seperti yang Yeji tidak harapkan: mereka terjebak dalam kecanggungan.
Rombongan yang entah berapa banyak jumlah manusia di dalamnya itu---Yeji tidak menghitung jumlah mereka---mulai masuk ke dalam sebuah tempat berbeda. Jalan yang dipijaki bukan lagi marmer emas melaikan tanah biasa. Di sampig kanan dan kiri berbaris pepohonan lebat nan hijau. Lalu selurus kemudian terlihatlah sebuah patung yang menjulang dengan tinggi kira-kira 40 kaki serta terbuat dari emas dan batu mulia: bentuknya merupakan pahatan seorang pria berjenggot yang bertelanjang dada sedang duduk di sebuah singasana, dari pinggang hingga kakinya ditutupi dengan mata kaki di tutupi dengan kain, dan kakinya memakai sendal jenis gladiator.
Di tangan kanan patung itu terdapat sebuah pahatan kecil menyerupai wanita bersayap dengan gaun panjang, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah tongkat berhiaskan logam mulia dan terdapat burung elang yang bertengger di puncak tongkat. Patung itu di kelilingi dengan taman serta air mancur indah dibawahnya.
Yeji terperangah, begitu juga dengan Yeonjun yang ada di sebelahnya. Gadis mungil dalam hati Yeji berkata: "Tempat seperti ini adalah sekolah?" Yeji merasa tidak percaya...
Dan Yeji kira hanya dia dan Yeonjun saja yang terkesima. Rupanya rombongan remaja yang berjalan melewati patung tersebut sebagian besar matanya memperlihatkan rasa takjub dengan mulut yang sedikit terbuka.
Beberapa meter di belakang patung itu terdapat sebuah bangunan besar. Bentuknya seperti bangunan Museum Sejarah Nasional Amerika dengan pilar-pilar besar menjulang tinggi. Semua remaja bergerak masuk ke dalam bangunan itu---Yeji rasa bagunan itulah yang disebut sebagai Aula Besar.
Ketika Yeji menginjakkan kaki di dalam sana, dia melihat ruangan super luas dan lebar. Beberapa meter di depan ada dua meja panjang berwarna perak, juga beberapa kursi perak di balik tiap meja, serta beberapa peralatan kedokteran seperti jarum suntik, dan peralatan tulis lengkap dengan tumpukan kertas di tiap sisi meja.
Dari arah yang berlawanan tampak ada beberapa pria dan wanita dewasa berjalan menduduki kursi tersebut, dan Yeji mengenal salah satunya sebagai Im Nayeon, wanita yang dijumpainya di peristiwa masuk portal beberapa saat yang lalu.
Pakaian yang mereka gunakan beragam---tapi Yeji lebih suka menyebutnya sebagai kostum ketimbang pakaian. Sebab, jika saja Yeji salah lihat---Yeji harap dia tidak akan melihat salah satu dari mereka yang duduk di kursi itu memakai baju zirah lengkap dengan tombak yang di sandarkan di sebelahnya. Tapi nyatanya Yeji tidak salah lihat. Orang itu memang benar-benar memakai baju zirah untuk perang.
Yeji jadi bertanya-tanya: sebenarnya tempat macam apa ini?
"Tempat ini... apa?" guman Yeonjun dengan nada bicara penuh sarat kebingungan.
Yeji melirik pada cowok itu. Bagus, pemikiran anehnya sudah dikemukakan oleh orang lain.
Sementara itu Im Nayeon yang baru Yeji sadari berada dalam balutan baju santai berwarna kuning cerah, bersuara dengan lantang, "Selamat datang di aula!" dan anehnya suara itu terdengar dengan sangat anggun serta manis. Bahkan suaranya cukup membuatt kerumunan manusia diam dan langsung memusatkan atensinya pada wanita itu. Dia kemudian berkata, "Dimohon untuk membuat dua baris: baris kanan untuk laki-laki, baris kiri untuk perempuan."
Seperti sihir, tanpa diperintah dua kali ataupun perdebatan, semuanya langsung membuat dua baris sesuai perintah. Tapi Yeji sangat sadar sekali jika itu bukanlah kemauannya. Dia berusaha mengendalikan otak dan tubuhnya, tapi anehnya tubuhnya bergerak sendiri menjauh dari Yeonjun yang juga tampak bingung kenapa mereka berdua saling bergerak menjauh.
Dan kemudian barisan sudah terbentuk tanpa banyak suara. Semua orang menjadi hening dan hanya menunggu perintah selanjutnya.
Tanpa banyak berpikir lagi, Yeji juga memilih mengikuti yang lain---menunggu perintah selanjutnya.
Barisan semakin lama semakin memaksa Yeji unntuk bergerak maju ke depan. Rupanya tanpa ada pengarahan apapun lagi, acara selanjutnya sudah dimulai. Dari tiap sisi barisan akan ada satu orang yang maju menuju meja: ada yang hanya akan dicatat dalam selambaran kertas, dan ada juga yang disuntik untuk diambil darahnya.
Yeji bertanya-tanya apa saja kriteria untuk yang diambil darahnya itu, sebab dia melihat tidak semua yang maju ke meja itu akan di ambil darahnya. Dia tidak bisa melihat dengan jelas untuk melihat apa saja yang terjadi di depan sana. Tapi saat giliran waktu dia maju ke depan meja, tanpa banyak bicara mereka tidak mau repot-repot mengambil darahnya.
Seorang pria dengan raut wajah ramah dan memakai jaket baseball merah bertanya sambil bersiap untuk mencatat di sebuah selembaran kertas kosong, "Siapa namamu?"
Yeji berdeham sejenak. "Yeji... Hwang Yeji..."
Pria itu mengangguk. Menorehkan pena di kertas, dia berguman pelan, "Baiklah..Yeji..." Selesai menuli, dia mendongak kembali menatap Yeji. "Tolong perlihatkan pergelangan tangan kananmu," katanya.
Yeji menuruti perintahnya. Disikapnya lengan kanan jaket abu-abunya dan ditunjukan pada pria itu.
Melihat sekilas, pria itu mengangguk pelan dan menuliskan sesuatu kembali dalam kertas. Dia berguman, "Jenis: Pion Zeus---...." tapi kalimatnya tergantung.
Sepersekon kemudian pria itu mendongak kembali melihat Yeji. Tapi kali ini wajah ramahnya hilang, berganti dengan tatapan horor disertai teriakan nyaring sampai-sampai atensi seluruh orang di sana mengarah padanya dan memberi tatapab aneh sekaligus heran.
Astaga, Yeji benci jadi pusat perhatian banyak orang.
Jujur Yeji merasakan malu sekaligus bingung sekarang. Maksudnya, kenapa pria itu harus berteriak? Memangnya Yeji berbuat kesalahan? Atau ada hal yang menakutkan?
"Ada apa, Jinyoung?" Tetangga dari bilik baris laki-laki bertanya. Seorang pria, tampak seumuran dengan si pria yang berteriak yang dipanggilnya dengan nama Jinyoung---Yeji berpendapat jika Jinyoung yang ditanyanya adalah si pelaku peneriakan.
Dan itu memang benar.
"Dia pion Zeus, Jaebum!"
Lalu pria yang diipanggil Jinyoung dengan nama Jaebun serta teman-teman dari bilik sebelah juga turut memberikan tatapan horor pada Yeji.
"Cepat bawa dia pada Tuan Jung!" Pria bernama Jaebum memberi titah.
Dengan sigap Jinyoung meraih tangan Yeji. Dan kejadian selanjutnya adalah Yeji berserta kopernya diseret keluar dari Aula Basar oleh Jinyoung. Seketika keadaan di dalam ruang riuh. Yeji rasa dia sedang jadi bahan omongan banyak orang sekarang.
.
.
.