Pukul 1 dini hari, Yeji terjaga dengan tingkat kesadaran seratus persen di kursi belakang mobil. Sepanjang perjalanan Yeji hanya tertidur sebentar, lalu terbangun, lalu tertidur lagi, lalu terbangun lagi---begitu terus sampai empat kali berulang, atau mungkin lima kali berulang jika Yeji kembali tertidur lagi di menit yang akan datang. Sebab sejujurnya hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini, di kala orang tuanya mengandarai mobil menuju suatu tempat yang tidak diketahui.
Lalu di beberapa menit selanjutnya seperti yang sudah diperkirakan, tingkat kesadaran Yeji semakin menurun. Delapan puluh lima, lima puluh, dua puluh lima, hingga akhirnya dia jatuh terlelap kembali dalam tidurnya.
Dalam tidurnya dia bermimpi. Ya, seperti yang diketahui banyak orang jika dalam tidur manusia akan mengalami mimpi, tapi Yeji harus menyebutkan sebuah fakta jika di tidur yang sebelumnya dia sama sekali tidak bermimpi. Lalu di tidur yang ke lima ini Yeji mendapatkan sebuah mimpi. Tapi mimpinya aneh. Terasa nyata seperti seakan-akan hal dalam mimpi itu memang terjadi.
Di mimpinya Yeji berada di sebuah tempat seperti sebuah bangunan berwarna emas dengan pilar-pilar besar yang menjulang tinggi. Yeji tidak seorang diri di sana, ada banyak orang, tapi Yeji tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas: buram, seperti ada kabut putih yang menutupi.
Lalu mendadak tempatnya berubah, sekarang Yeji seperti ada di tengah pertempuran dengan seluruh keadaan sekitar dipenuhi kobaran api merah yang menyala-nyala, pohon-pohon terbakar, terdapat bangunan-bangunan hancur lebur tak berbentuk, dan tanah tempatnya berdiri berguncang begitu hebat. Hawa api yang panas benar-benar terasa menyengat di lapisan kulit terluarnya. Yeji mendapati dirinya merinding.
Tepat beberapa kaki dari atas kepala Yeji sebuah panah melesat dan kemudian menancap pada sesosok makhluk hitam---Yeji menyebutnya begitu karena bentuk fisiknya tidak terlalu jelas untuk dilihat, warnanya sehitam malam hari, dan kebetulan latar waktu mimpinya adalah malam hari juga yang mejadi poin tambahan dia sulit untuk mendeskripsikan makhluk itu dengan jelas.
Suara desingan pedang yang beradu memenuhi telinganya, bersamaan dengan sebuah seruan terdengar. "Sadar, Yeji! Menjauh dari sana!"
Tapi terlambat. Makhluk hitam yang tidak jelas bentuknya itu mendekat pada Yeji dan mencabut panah yang menancap dalam tubuh hitamnya. Sebuah bisikan rendah seorang wanita memenuhi telinga Yeji serta merta dengan pikirannya. "Bersiaplah dengan takdir burukmu..." Dan panah yang dicabut itu ditancapkan pada tubuh Yeji tepat di jantungnya.
"Ha!..." Lalu Yeji terbangun dari tidurnya.
Tubuhnya berkeringat, sedikit bergetar karena ketakutan, dan napasnya tersengal-sengal. Rasanya mimpi itu benar- benar terasa sangat nyata. Yeji merasakan panasnya api yang berkobar, suara desingan pedang begitu jelas, dan tancapan panah di jantungnya pun bukan main menyakitkan.
Sebelah tangan Yeji meraba dada kirinya tepat di mana jantungnya berada. Keadaannya baik-baik saja, tidak ada yang terluka, tapi rasa sakitnya di dalam mimpi benar-benar nyata dan bahkan masih terasa hingga sekarang.
"Kau kenapa, sayang?" Suara ibunya terdengar.
Yeji melihat ke depan, ibunya duduk di sebelah kursi kemudi menatapnya dirinya penuh kekhawatiran, sedangkan ayahnya tetap fokus menyetir dengan raut wajah yang menyiratkan kekhawatiran yang sama dengan ibunya.
Kata Yeji, "Tidak ada..." jeda sejenak, "Hanya mimpi buruk dikejar monster roti isi kacang." Dia menutup pernyataannya dengan senyum simpul agar ibunya tidak mengkhawatirkan keadaan yang sebenarnya. Mimpi aneh yang bahkan Yeji tidak tahu apa maksudnya, rasanya akan semakin aneh jika memberitahu itu pada orang lain walaupun itu orang tuanya sendiri.
"Hah? Bukan dikejar kentang goreng busuk?" Ibunya mengerutkan alis.
Yeji lagi-lagi tersenyum simpul. Dia jadi teringat saat masih kecil jika mengalami yang namanya mimpi buruk pasti dia akan menyebutnya 'dikejar kentang goreng busuk'. Ibunya masih ingat kata-kata itu.
Yeji menambahkan. "Ya, mimpi buruk dikejar moster roti isi kacang dan kentang goreng busuk."
Ibunya tersenyum menenangkan. "Tidak apa. Itu hanya mimpi, jangan dipikirkan."
Maunya sih begitu, tapi rasanya sulit. Mimpi itu berkeliaran di pikirannya seperti berita ujian matematika dadakan.
"Baiklah, ayo kita turun..." suara ayahnya mengagetkan Yeji.
Apa katanya? Turun? "Kenapa?" tanya Yeji bingung.
"Kita sudah sampai, sayang. Ayo keluar," ajak ibunya.
Masih dalam keadaan bingung, Yeji menuruti perkataan ibunya.
Begitu keluar, matahari pagi sudah menyapanya malu-malu lewat celah dedaunan pohon. Yeji melihat sekelilingnya. Sekarang sudah pagi dan dia berada di sebuah tempat dengan banyak pohon tanpa adanya pemukiman warga---mungkin dia ada di hutan. Tapi jika ada di hutan kenapa mobil bisa masuk? Seingat Yeji dalam film-film petualangan seringkali penjelajah meninggalkan mobil di luar kawasan hutan karena tidak ada jalur untuk kendaraan masuk, terlebih jika itu adalah hutan rimba dengan banyak pohon.
Yeji meneliti keadaan sekelilingnya kembali. Pohon tinggi dan lebat ada di mana-mana. Jarak dari satu pohon ke pohon lainnya memang berjauhan, tapi letaknya acak, sehingga pasti akan menyusahkan pengendara masuk ke dalam hutan. Dan satu hal yang Yeji ketahui: tempat ini bukanlah hutan rimba karena keadaannya yang tidak seperti di rimba. Tempat itu bersih, hijau, dan indah---seperti selalu di rawat oleh seseorang atau mungkin sekelompok orang.
Baiklah, tempat ini bukan hutan. Anggap saja tempat ini seperti kebun milik seseorang atau sekelompok orang.
Lalu setelah perdebatan tentang hutan atau bukan, munculah kembali pertanyaan 'kenapa mobil bisa masuk tempat ini padahal kondisi tempat tidak memungkinkan kendaraan sekelas mobil untuk masuk?', serta pertanyaan tambahan yang langsung disuarakan Yeji. "Untuk apa kita di sini?"
Ya, hal paling membingungkan setelah kendaraan yang bisa masuk ke tempat penuh pohon ini adalah untuk apa Yeji beserta keluarga ada di sini? Itu benar-benar patut dipertanyakan lebih dahulu.
"Kita ada di..." Ibu Yeji menjelaskan dengan kalimat tergantung, matanya melirik pada suaminya seperti meminta untuk melanjutkan kalimat tersebut.
Ayah Yeji sedikit menghela napas. Wajahnya menyiratkan seolah-olah dirinya tidak menginginkan ini semua, tapi keadaan memaksanya. "...sekolahmu. Hurray, kejutan!" dan ayahnya mengucapkan kalimat itu dengan nada datar.
"Sekolah?" Baiklah, tampaknya banyak catatan penting untuk buku 'Hal-Hal Aneh Yang Aku Alami'. Yeji benar-benar tidak mengerti, dan rasanya ada sepercik rasa kesal dalam dirinya---tapi dia tidak bisa menjabarkan kesal karena apa.
Mungkin karena sudah ada hal-hal aneh yang terjadi sejak kemarin malam hingga pagi harinya, dan ditambah lagi status Yeji sebagai siswi kelas 3 SMA yang banyak pikiran karena harus menghadapi banyak ujian agar lulus nanti bisa masuk universitas favoritnya, jadinya Yeji banyak berhalusinasi dengan semua yang dialaminya saat ini.
Mungkin ini semua tidak nyata, mungkin ini hanya mimpi saja. Logikanya sebisa mungkin mencoba menyangkal semua hal tidak masuk akal yang dialaminya. Yeji mulai berencana untuk tidak jadi membuat buku 'Hal-Hal Aneh Yang Aku Alami'.
Yeji berharap dia terbangun lagi kali ini agar mimpi---yang di dalamnya juga dia bermimpi---ini tamat seperti berakhirnya serial televisi kesukaannya.
"Ayah, Ibu, ini tidak lucu. Sekolahku tidak ada di tempat seperti ini. Jadi ayo kita pulang, sekarang... Aku belum mengerjakan PR matematika." Yeji tidak bisa mengatur nada suaranya untuk terdengar biasa saja, kalimat yang keluar terdengar sangat menuntut. Ditambah lagi raut wajah Yeji yang berubah bingung serta kesal.
Ayah Yeji memutar mata dengan malas. "Persis seperti dugaanku..."
"Seharusnya kita memberitahu dia lebih dulu..." guman ibunya.
"Ya, jauh sebelum dia datang kita harusnya memberitahu Yeji yang sebenarnya, tapi itu dilarang," ayah Yeji menambahkan, "Dan sekarang lihat, Yeji jadi bingung."
Lalu ibu Yeji menambahkan. "Dan juga terlihat kesal."
Yeji tidak lagi bisa menahan diri. "Tentu saja aku kesal!" Dia nyaris memekik. "Untuk apa kita di sini? Kalian bilang ke sekolahku? Aku bahkan tidak ingat sekolahku ada di tempat seperti ini!" Nada suara Yeji naik satu oktaf.
Ayahnya tampak menghela napas lagi. "Bagaimana cara menjelaskannya, ya? Sayang...Ini bukan sekolah biasa."
"Lalu apa? Ini sekolah luar biasa?" cerocos Yeji tanpa menurunkan oktaf suaranya.
"Bukan. Tapi ini adalah sekolah istimewa, untuk anak istimewa. Kau salah satu anak istimewa itu, sayang." Ibu Yeji mendekat berniat merangkul bahu untuk memberikan dukungan moril pada anak perempuannya. Tapi Yeji lantas menghindar dan menepis kasar tangan ibunya.
Dan adegan tersebut serta merta memancing teguran keras dari ayahnya.
"Yeji!" seru ayahnya. "Kami tahu kau merasa tidak suka. Kami masih memaklumi kau berbicara dengan suara keras. Tapi untuk tindakan fisik seperti tadi, itu keterlaluan!" Mata ayahnya menatap tajam. "Minta maaf pada ibumu!"
Tapi Yeji malah mendengus mengabaikan dan memilih untuk mengambil koper miliknya di bagasi. Tangan kanannya menyeret koper besar itu mendekat pada sebuah pohon besar terdekat yang ditangkap penglihatannya. Dia berdiri di sana, berjauhan dengan orang tuanya.
"Aku belum mau minta maaf," ungkap Yeji ketus. Matanya kembali bergulir melihat sekeliling. "Ini sekolahku? Mana bangunannya?" Nadanya menjadi sarkas. "Aku tidak melihat bagunan apapun di sini. Hanya ada pohon-pohon: tampaknya aku akan masuk ke dalam kelas yang terdapat di atas dahan pohon--- ditemani dedaunan hijau, ranting kering, serangga, serta kotoran burung yang tertinggal..."
Entah kenapa mood Yeji jadi sangat buruk, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Saat ini rasanya seperti dia tidak punya alasan yang kuat untuk menjadi poin permasalahannya, tapi emosi yang dia keluarkan terlalu berlebihan.
Orang tuanya menatap dia sayu---manik mata mereka memancarkan rasa ketidakpercayaan serta rasa bersalah. Yeji akui ini juga merupakan salahnya yang bertindak sedikit jauh: menepis tangan ibunya. Jauh di dalam lubuk hatinya dia ingin meminta maaf. Tapi apa yang bisa dilakukan seorang remaja labil yang masih belum bisa mengatur emosinya? Jawabannya adalah menuruti egonya, dan ego Yeji berkata untuk menahan perkataan maaf keluar dari mulut.
Wush...
Mendadak angin berhembus agak kencang setelah Yeji melontarkan kalimat sarkas.
Wush...Wush...
Hembusan angin berubah kencang dan semakin kencang. Aneh. Apa ada angin puting beliung? Atau ada peringatan karma karena Yeji sudah bertindak kurang ajar?
Merasa ada yang tidak beres Yeji akhinya menarik diri serta kopernya untuk menjauh dari pohon---berniat bergabung dengan orang tuanya. Tapi tepat beberapa langkah dia berjalan, pohon yang disinggahinya tadi terbelah menjadi dua---membuat sebuah portal besar yang diselubungi kabut putih tebal.
Yeji menemukan dirinya termangu heran.
Dia melayangkan tatapan penuh tanya pada ayah dan ibunya. "A-ada sebuah portal di pohon itu..." Jemarinya menunjuk pohon tersebut.
Tapi bukannya sebuah jawaban yang Yeji dapatkan.
"Portal? Aku tidak lihat apa-apa?" tanya ayahnya.
Ibu Yeji mendekat dan menyikut lengan ayahnya. "Jelas kau tidak lihat apa-apa. Kau bukan yang diberkati..." Lalu tangannya merangkul pinggang suaminya dengan mesra. "Kita akan berpisah dengannya dalam waktu yang lumayan lama."
Lalu setelah adegan mesra pasangan suami istri itu, seekor mahkluk mirip anjing hitam besar seukuran mobil yang keluarga Yeji gunakan, dengan tampang menyeramkan serta gigi yang tajam bak pedang katana keluar dari portal tersebut.
Anjing itu membuat Yeji terdiam di tempat. Satu gerakan hewan itu mendekat, Yeji seketika terduduk di tanah dengan napas tercekat ditenggorokan. Kakinya terasa lemas karena takut. Dia ingin teriak, tapi rasanya teriak bukanlah opsi yang bagus.
Dia pikir anjing itu akan jadi agresif jika dia bertindak anarkis. Mungkin saja anjing itu akan mengigitnya, lalu memakannya hingga berakhir menjadi feses---menjijikan sekaligus mengerikan. Tapi mau tak mau itu adalah opsi paling rasional jika si anjing menjadi anarkis, sebab tidak mungkin 'kan anjing itu malah akan memberinya permen cokelat?
Anjing hitam besar mengerikan itu bergerak mengendus, seperti menyangka Yeji itu maling yang patut untuk dicurigai ataupun menyangka Yeji adalah makanannya. Deru napasnya sangat panas dan menerpa wajah Yeji seperti air panas. Yeji rasa kulitnya akan melepuh karena semburan napas panas.
Langkah keempat kaki berbulu milik anjing itu semakin mendekat. Yeji semakin merasakan jantungnya berdetak dengan gila.
"Kenapa Yeji terduduk begitu?" Suara ayahnya yang bigung mengalihkan perhatian anjing itu.
Oh, tidak! Yeji memucat. Imajinasinya meliar: Anjing itu berubah menyerang orang tuanya. Jangan serang mereka!
Grrr...
Anjing itu menggeram tidak suka, tapi tidak menyerang, hewan menyeramkan itu malah menyingkir pergi berlari terbirit-birit masuk ke pedalaman di balik pepohonan lain.
Sejenak Yeji merasa aman, dia bisa bernapas lega sekarang. Dilihatnya kedua orang tua yang tampak masih bingung melihat reaksi Yeji tadi--- dan itu kembali membuat catatan tambahan untuk buku 'Hal-Hal Aneh Yang Aku Alami'. Tampaknya Yeji batal untuk tidak memproduksi buku itu.
"A-ada makhluk aneh yang keluar dari portal... Bentuknya seperti anjing: hitam, besar, tapi besarnya tidak normal dan giginya sangat tajam..."
"Ada anjing neraka yang keluar?" sahut ibunya yang lebih terdengar seperti pertanyaan dibanding pernyataan.
"Hah? Ada anjing?" tanya ayahnya.
"A-anjing neraka?" Yeji membeo. "Kalian tidak bisa melihatnya tadi? Bahkan portalnya juga?"
Orang tuanya kompak menggeleng.
"Ah, sudah lama sekali aku tidak melihat anjing neraka sejak dia tidak memberkatiku lagi," guman ibu Yeji.
Kata dia yang ibunya katakan seperti mengandung makna yang misterius, Yeji sangat yakin. Sebab kata ganti orang ketiga itu tidak ditujukan pada siapapun, yang mana artinya sosok itu tidak ada disekitar sini. Serta mengingat fakta jika orang itu memberkati ibunya sehingga bisa melihat anjing neraka yang mengerikan, benar-benar mengganggu pikiran Yeji. Siapa orang itu? Kenapa dia punya kekuatan aneh untuk membuat seseorang melihat makhluk menyeramkan?
"Dia sudah tidak memberkatimu sejak kita menikah, 'kan?" Oh, bahkan ayah Yeji pun turut membahas itu pula. Tampaknya ayahnya juga tahu siapa dia yang dimaksud ibunya.
Ibu Yeji mengangguk. Mereka berdua kemudian larut dalam pembicaraan yang tidak Yeji mengerti selama beberapa saat, sampai seorang wanita menyembulkan kepala dari balik portal yang dipenuhi kabut putih tebal itu.
Baiklah, catatan tambahan lagi untuk buku 'Hal-Hal Aneh Yang Aku Alami': rupanya ada orang di balik portal itu.
"Anak baru?" tanyanya rancu, entah kepada siapa. Hanya saja matanya terpaku pada Yeji. Mungkin dia adalah anak baru yang dimaksud.
Yeji bingung ingin menjawab apa. Tapi dia mengangguk secara spontan.
"Kalau begitu ayo cepat masuk! Nanti portal tertutup!"
Yeji yang masih dalam posisi terduduk pun bangkit, tangannya menggenggam pegangan koper dengan erat. Dia menoleh pada ayah ibunya---mereka berdua menatap haru seraya berkata, "Jadilah anak baik di sana..." Ya, tidak ada adengan menangis yang mendramatisir atau apalah itu, Yeji benci jika harus diberi afeksi secara terang-terangan. Ayah dan ibunya sangat paham akan tabiat itu.
Tapi ada yang membuat Yeji agak bimbang, dia sama sekali belum meminta maaf pada ibunya soal tepisan tangan beberapa saat yang lalu.
Dia terdiam sejenak, menimbang-nimbang untuk mengucapkan kalimat maaf atau tidak. Tapi itu semua terlambat. Wanita yang muncul dari balik portal mendengus, lalu mengeluarkan dirinya dan menyeret Yeji masuk ke portal.
"Ayo!"
"T-tunggu..."
Tapi tenaga wanita itu sangat kuat. Yeji sudah terbawa masuk ke dalam portal tanpa sempat mengucapkan kalimat maaf serta kata-kata perpisahan pada orang tuanya. Dan selepas itu juga portalnya meghilang, Yeji tidak bisa keluar untuk kembali melihat ayah dan ibunya.
Yeji menunduk kecewa, dan saat itu dia menyadari hal pertama yang menyambut ketika berada di dalam portal adalah lantai marmer berwarna emas yang sangat mengkilap; selanjutnya adalah kerumuman remaja berpiyama seumuran dengannya yang turut serta membawa tas dan koper; dan yang terakhir, sebuah banner besar yang terlihat dijalin dari benang emas bertuliskan 'Selamat Datang Di G-Academy!'
Gadis mungil dalam hati Yeji bertanya-tanya. Inikah sekolah yang orang tuanya maksud?
.
.
.