***
Aku ada dimana? Tempat ini sangat dingin, tubuhku tidak bisa digerakkan. Mataku kabur, aku tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi, aku bisa sedikit melihat ada salju yang terus-menerus menghujaniku.
Ini aneh, sepertinya aku tadi sedang melawan seseorang dalam goa es, tapi kenapa aku bisa berakhir disini?
"Ya ampun, apa kau baik-baik saja?!"
Wanita? Siapa dia?
"Ya Tuhan, tubuhmu sedingin es. Aku akan membawamu ke tempat aman."
Aku tidak terlalu bisa melihat siapa yang sedang menolongku, sekilas suaranya terdengar begitu familiar bagiku.
Tenagaku sudah terkuras habis, mungkin aku akan baik-baik saja dengannya.
***
"Tree! Ini sudah lewat dari 30 menit, apa menurutmu dia baik-baik saja?"
"Ini aneh, kenapa dia tidak segera kembali?"
Ini belum pernah terjadi sebelumnya, seharusnya hanya butuh kurang lebih 10 menit bermeditasi. Aku takut kalau Snow kalah dengan Soulnya sendiri, jika itu terjadi dan dia sudah kehilangan kendali aku tidak punya pilihan lain selain...
"Tree! Mata kanannya mengeluarkan darah!"
"Gawat! Tunggu, akan kuambilkan tisu di meja depan."
Matanya berdarah, apa yang sebenarnya terjadi disni. Ini sangat tidak normal!
"Shin ini tisunya..."
"Kau terlambat dokter, rekanmu sudah kubunuh."
Apa?! Snow?! Tidak itu bukan snow! Matanya memerah dan senjatanya berubah menjadi hitam pekat!
"Sial! Air mata darahnya tidak mau berhenti, yah... tapi aku suka tubuh ini terutama kakinya. Kaki ini sangat kuat!"
Sifatnya yang sangat berkebalikan dengan Snow, kornea matanya berbeda, senjatanya juga, dan tadi dia mengatakan kalau "aku suka tubuh ini." Tunggu jangan-jangan dia ini!
"Akhirnya kau tau siapa aku, dokter."
"Bagaimana kau bisa tau apa yang kupikirkan!"
"Aku tidak akan memberitahumu, lebih baik aku membuat keributan diluar daripada berada di tempat sempit ini!"
"Tunggu!"
Dia merusak jendelaku untuk kabur, aku harus segera memberitahu Night kalau Snow gagal.
"Argh! Tree? Apa itu kau?"
"Shin! Kau tidak apa-apa?"
"Ya, untung aku menggunakan Gen-Xku tepat sebelum dia menusukku. Cepat kita harus mengejarnya!"
***
"Dimana aku? Apa yang terjadi?"
Tanpa kusadari aku sudah berada di sebuah kamar, bangunannya terbuat dari kayu bahkan perabotnya juga, rumah kayu?
"Ya Tuhan!"
Terdengar suara wanita dari arah pintu, dia menjatuhkan wadah berisi air hangat dan langsung berlari kearahku.
"Syukurlah, kau baik-baik saja. Aku sangat bersyukur! Terimakasih Tuhan!"
Dia wanita dewasa, berambut hitam dengan model kepang. Dia terus-menerus menangis disampingku, bahkan untuk orang asing sepertiku dia terlewat baik.
"Maaf, sekarang aku ada di mana?"
"Ah! Maaf, lagi-lagi aku menangis tanpa henti!"
Dia berusaha mengatur nafasnya dan mengusap air matanya, dan tanpa sadar aku juga ikut mengusap air matanya.
"Terimakasih."
"Sama-sama."
Matanya berwarna biru cerah dan sangat indah, matanya sangat mirip dengan...
"Anu... maaf, apa lukamu sudah agak mendingan?"
"Luka?"
Begitu ya, rupanya tubuhku penuh dengan luka.
"Ya, aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong apa yang terjadi padaku?"
"Saat berkeliling mencari beberapa buah beri salju, aku melihatmu terkapar dan tertimbun salju. Tubuhmu penuh dengan luka, jadi aku membawamu kemari untuk mengobati lukamu."
"Begitu ya, terimakasih. Namaku Snow, siapa namamu?"
"Namaku Yuki."
Yuki ya, nama yang indah. Aku sebenarnya ingin menanyakan beberapa hal padanya, tapi aku masih butuh banyak energi untuk pulih.
"Snow, apa kau bisa berjalan?"
"Aku rasa bisa, memangnya ada apa?"
"Anu... Begini, tadi aku memasak sup hangat... apa kau mau makan bersamaku?"
"Dengan senang hati."
Dia terlihat kegirangan, sekilas dia sangat mirip dengan Lilith. Sifatnya yang malu-malu kalau bertemu orang asing dan sifat periangnya sangat mirip dengannya.
Dia mengeluarkan beberapa setel baju dan memintaku untuk menggunakannya, Yuki bilang kalau bajuku robek dan berluruman darah jadi dia membuang bajuku, aku memakai setelan kemeja putih dan celana panjang hitam karena tidak ada satupun kaos dari semua pakaian yang dia keluarkan.
"Wah! Pakaian ini terlihat sangat cocok kau kenakan."
"Ini agak besar, kalau boleh tau ini pakaian siapa?"
"Itu milik suamiku, dia sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Aku menyimpan semua pakaian dan peninggalannya disini, daripada tidak terpakai lebih baik kuberikan padamu."
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk..."
"Tidak apa-apa, ayo kita segera ke dapur."
Aku merasa tidak enak karena menanyakan tentang suaminya tadi.
"Ngomong-ngomong Snow, kau berasal dari mana?"
"Aku berasal dari District C."
"District C? Dimana itu? Aku aku belum pernah mendengarnya."
Hah?! Dia tidak tau District C?
"Tunggu dulu, kenapa kau tidak tau District C ada dimana.... tunggu dulu! Yuki! Ini ada dimana?!"
"Kita ada di rumahku..."
"Bukan, tapi kita ada di wilayah mana?"
"Apa maksudmu? Kita ada di Hokkaido, sekarang sedang musim dingin jadi suhu disekitar sini sangat dingin."
Hokkaido? Tempat apa itu? Ini dimana? Kenapa dia tidak tau apa itu district. Bukannya seluruh negara di dunia memberi nama kotanya deangan sebutan district, lalu kenapa Yuki menyebutkan Hokkaido? Ada yang aneh disini.
"Anu, Snow kau tidak apa-apa?"
Tiba-tiba terdengar dentuman keras dari arah pintu depan.
"Permisi! Kami dari laboratorium! Kami ingin menagih janjimu!"
"Oh tidak mereka datang, apa yang harus aku lakukan?!"
"Yuki siapa mereka?"
"Mereka orang-orang dari laboratorium di kota sebelah, mereka ingin mangambil anak-anakku. Apa yang harus aku lakukan?!"
Laboratorium? Tunggu dulu! Kenapa mereka ingin mengambil anak-anaknya?
"Ibu?"
Ada seorang anak laki-laki sedang menggandeng gadis kecil keluar dari kamar, mereka sepertinya baru bangun tidur.
"Yama! Kenapa kau keluar kamar nak, cepat masuk ke kamar."
"Kami tidak punya waktu lama! Nona Yuki cepat serahkan kedua anakmu!"
"Ibu!"
Kedua anaknya memegang erat tubuh ibunya, mereka terlihat sangat ketakutan. Karena tidak ada satupun dari kami yang menjawab teriakan mereka, para pertugas itu mendobrak pintunya dengan kasar.
"Ini sudah waktunya nona, cepat serahkan mereka. Anda sudah berjanji kepada profesor kan."
Apa aku hanya bisa terdiam disini dan manyaksikan mereka menangis? Ingin sekali aku menolong mereka, tapi isi kepalaku masih dilanda kebingungan.
"Aku mohon... hanya Yama dan Yuno yang kupunya, aku mohon jangan ambil mereka dariku. Apa tidak cukup kalian mengambil Brian dariku?! Aku mohon jangan bawa anak-anakku juga, aku mohon!"
Yuki, dia menangis begitu keras. Anak-anaknya juga ikut menangis, aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Dia sudah sangat baik padaku, sekarang adalah giliranku untuk membantunya.
"Kalau kau tidak mau, kami akan membawa paksa anak-anakmu!"
Pria itu, dia menarik paksa tangan anak laki-lakinya Yuki. Sontak aku langsung mencengkram tangannya sampai dia mau melepaskan tangannya dari anaknya Yuki.
"Apa-apaan ini! Siapa kau? Apa urusanmu dengan... argh! Kau akan mematahkan tanganku!"
"Memangnya kenapa? Ini hanya satu tangan saja, kau masih punya satu lagi."
Aku benar-benar kesal dengan perilaku mereka, terlebih lagi aku punya dendam pribadi dengan orang-orang seperti mereka dulu. Tak akan kubiarkan mereka bertindak seenaknya!
"Beraninya kau!"
Salah satunya temannya menodongkan senapan di kepalaku, lubangnya masih hangat padahal sekarang turun salju.
"Senapan ini masih hangat, apa kau sudah menembak orang sebelum kesini?"
"Diam! Cepat lepaskan tangannya atau kuhancurkan kepalamu!"
Wajahnya terlihat panik, terlebih aku bisa melihat kalau kakinya gemetaran. Karena tidak mau berlama-lama, terpaksa aku menggunakan Gen-Xku untuk berpindah kebelakangnya.
"Hah! Hilang! Kemana dia?!"
"Aku ada dibelakangmu."
Dia langsung menoleh dan seketika aku mematahakan lehernya dan menendangnya dengan keras, dia terpental cukup jauh. Sepertinya seranganku tadi membuat yang lain menjadi takut, mereka terlihat gemetaran.
"Sebaiknya kalian segera pergi dari sini, kalau tidak..."
"Lebih baik kau lihat dulu lehermu?"
Leher? Hah ada darah? Apa yang terjadi?! Tapi kapan?
"Nona Yuki, lebih baik cepat serahkan anak-anakmu. Atau akan kubunuh laki-laki yang melindungimu ini."
Siapa dia? Apa dia yang melukai leherku? Tatapan tajamnya sangat familiar.
"Oi nak, kau pasti bertanya-tanya siapa aku ini. Baiklah akan kuberitahu siapa namaku, aku adalah seorang profesor yang mengetuai penelitian sebuah serum dari pemerintah."
Apa?! Aku harus menghentikannya, selagi kaki dan tanganku masih bisa digunakan maka tidak ada alasan untuk menyerah.
"Diamlah disitu!"
Kakiku tertusuk? Bagaimana bisa? Sejak kapan? Sial ini sakit sekali.
"Snow!"
"Oh, jadi namanya Snow. Aku menghargai usahamu, tapi kau masih sangat lemah."
Sial, apa tidak ada yang bisa kulakukan. Kalau bergini terus anak-anaknya Yuki akan diambil.
"Nona, aku sudah tidak punya waktu lagi. Bagaimana kalau kau segera menyerah?"
"Tidak! Aku tidak akan menyerahkan anak-anakku! Sampai aku matipun tidak akan kuserahkan!"
"Bahkan untuk nyawa pria menyedihkan ini?"
Yuki terlihat kebingungan, matanya mulai mengeluarkan sedikit air mata.
"Yuki! Jangan pedulikan aku, cepat larilah selagi bisa!"
"Nona yuki, ini peringatan terakhir."
Dia terlihat putus asa, Yuki memeluk erat anak-anaknya dan aku mendengar kata-katanya saat berbisik kepada anak laki-lakinya.
"Maafkan ibu ya anak-anak."
Yuki, dia menyerahkan anak-anaknya kepada mereka demi aku.
"Bawa anak-anaknya!"
Anak-anaknya Yuki dibawa paksa, mereka berdua menangisi Yuki yang sedang lemas tergeletak di lantai. Aku harus menolong mereka, kalau tidak bisa pakai kaki maka pilihan selanjutnya adalah tanganku.
"Kau pikir akan kubiarkan saja kau bergerak, sekarang lihat salah satu tanganmu itu."
Tangan? Sialan kau! Tangan kiriku juga! Sial, akan kubunuh kau!
"Ayo kita pergi!"
"Tuan apa yang harus kita lakukan pada mereka?"
"Biarkan saja membusuk disitu."
Sial mereka pergi, aku tidak bisa bergerak. Sial!
"Sn...Snow..."
"Yuki! Kenapa?! Kenapa kau lebih memilihku?! Kenapa yuki?!"
Dia hanya bisa tersenyum sembari menahan air mata yang mengucur deras di matanya, entah apa yang ada dipikirannya sekarang, dia perlahan menutup dan mengobati luka-lukaku dan membawaku masuk kedalam rumah.
Kini kepalaku ada di pangkuannya, kami menghangatkan diri di depan perapian. Dengan lembut dia membelai kepalaku, aku tak tau kenapa tapi air mataku tidak mau berhenti mengalir.
"Kau tau Snow, terkadang kita harus mengorbankan sesuatu demi menyelamatkan sesuatu yang penting."
"Kalau begitu kenapa ka..."
Dia menutup mulutku dengan jarinya yang gemetaran.
"Sst.... lukamu masih belum menutup. Aku mengerti, kau pasti bingung kenapa aku mempertaruhkan anak-anakku dan lebih memilih menyelamatkan dirimu."
"Yuki... bisa kau jelaskan padaku?"
"Tentu."
Sekuat apakah wanita ini, dia masih bisa tersenyum dalam keadaan mencekam ini.
"Yang aku tau, ketika anak-anak dibawa oleh orang-orang itu. Anak-anak akan dijaga dengan baik, mereka akan baik-baik saja."
"Tapi dalam pengalamanku, meskipun mereka baik-baik saja tapi mereka akan menderita! Mereka bisa saja melupakanmu!"
"Snow, apa kau pernah mengalami hal semacam ini?"
"Yah, aku pernah. Itu sudah lama sekali, itulah kenapa ketika orang-orang itu menangkap anak-anakmu. Aku merasa sangat marah."
"Aku turut prihatin Snow, tapi meskipun nanti mereka akan mengalami hal tersebut. Aku yakin anak-anakku akan baik-baik saja, mereka pasti akan terus berjuang untuk bertahan hidup."
"Tapi! Yuki..."
Dia menutup mulutku dengan telunjuknya lagi, dan secara perlahan mecoba menenangkanku. Dan aku melihat mata birunya berkaca-kaca menahan bendungan air mata yang kian membasahi pipinya.
"Setidaknya... setidaknya mereka masih bisa hidup, walaupun nantinya mereka melupakanku, aku... tidak masalah dengan itu."
"Yuki..."
Dia mengatakannya sambil berusaha menahan air mata yang kian deras mengalir.
"Daripada harus mengorbankan orang tidak bersalah sepertimu, yang rela mati demi melindungi kami yang bahkan orang asing bagimu. Jika aku membiarkan mereka membunuhmu... itu akan membuatku menjadi seorang ibu yang jahat."
Wanita ini... meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum tapi air matanya tidak bisa berbohong, dia orang yang sangat baik.
"Yuki, aku berjanji. Aku akan menyelamatkan anak-anakmu, aku tidak peduli berapa banyak pasukan yang mereka miliki, aku pasti berhasil!"
Tangisannya makin menjadi-jadi, dia menangis sangat keras sambil memeluk kepalaku.
"Terimakasih Snow, terimakasih!"
Ditengah badai salju, kami menghangatkan diri dengan api perapian yang sangat kecil. Beristirahat dengan luka yang sangat menyakitkan, ya... sakit hati yang teramat dalam.
***
"Dua Malaikat Hilang di Tengah Badai Air Mata"