Selamat membaca
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶
WIJAYA Tbk
Gavriel akhirnya sampai di parkiran perusahaannya. Ia turun dengan segera dari mobilnya dan berjalan sedikit tergesa, saat melihat jarum jam di pergelangan tangannya, yang kini menunjukan waktu 2 siang hari.
Beberapa saat lalu, Aksa mengirimnya pesan kalau Daddynya akan datang untuk membahas sesuatu. Entah apa, tapi ia menebak jika ini ada hubungannya dengan proyek yang sedang di perebutkan oleh beberapa perusahaan dan kebetulan juga ia pun ikut serta.
Proyek besar yang diperebutkan kali ini dananya tidak bisa di bilang sedikit. Belum lagi perusahaan yang ikut tender berasal dari berbagai kota di negaranya. Kalau begini ceritanya sudah pasti, jika sang Daddy meminta keseriusan berlipat darinya.
"Ck. Lagian kapan sih aku tidak serius. Dasar Daddy tua," gumam Gavriel dengan decakan lirihnya. Tenang saja, saat ini ia sudah sampai di depan pintu ruangannya kok, jadi ia bisa mengumpat sesuka hati tanpa takut di jewer oleh yang bersangkutan.
Ia pun dengan segera membuka pintu kemudian menutupnya, lalu melangkahkan kakinya kembali dan duduk dengan tenang di kursi kebesarannya seraya mendesah lelah.
"Hell, setidaknya energiku sudah full lagi. Makan dan bisa melihatnya selama setengah hari itu sebuah kemajuan untuk hubungan kami," batin Gavriel setelah menghembuskan napasnya kasar.
Setelah merasa jika ia siap mengerjakan tugasnya. Ia pun dengan segera menghidupkan power pada komputernya dan memasang card reader, setelah memasukan memory card yang di ambilnya di selipan arloji yang terpasang apik di pergelangan tangan kirinya.
Segeralah ia fokus dengan apa yang ada di layar, merampungkan dan menyempurnakan detail bangunan yang sudah di rangkai oleh tim perancang handal pilihannya.
Orang-orang yang berdiri di sampingnya ia rekrut secara langsung, kebanyakan dari negara luar karena ia memang mengenal mereka saat kuliah di Amerika sana. Bahkan ada juga alumni yang kebetulan satu negara beda kota dengannya, yang ia rekrut karena kemampuan mumpuninya.
Untuk masalah karyawan, terkadang ia juga turut serta memfilter atau ikut menjadi salah satu di antara barisan orang yang mewancarai. Kalau ia sedang tidak sibuk tentunya.
Tidak lama setelah ia mulai fokus dengan pekerjaannya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dengan ia yang segera menyahuti. Ia yakin jika itu sang Daddy sesuai perkataan Aksa tadi, yang memberitahu jika Daddynya akan datang untuk bertemu.
"Masuk!"
Ceklek!
Pintu pun terbuka, terlihat Aksa dan sang seorang pria lain yang dikenal dengan sangat olehnya memasuki ruangan. Pria itu berjalan dengan aura kepemimpinan mutlaknya, membuat Gavriel segera berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri sang Daddy yang duduk tanpa perlu dipersilakan lagi.
"Hell, selalu seenaknya saja ya, Pak tua ini," batin Gavriel mengumpati papanya sendiri, tidak berkaca jika ia pun orang yang seenaknya bahkan lebih dari papanya.
Sementara itu Dirga yang duduk santai menatap putra sulungnya dengan menelisik, merasa sedikit aneh karena putranya saat ini mengeluarkan aura berbeda dari biasanya. Membuatnya mengernyit dan menatap putranya dengan tatapan curiga.
"Hn, apa kamu baru saja berkencan, Gavriel?" tebak atau tanya Dirga tepat sasaran, membuat Gavriel yang baru saja mendudukan dirinya di sofa tersedak seketika.
Uhuk!
Pfftt …
Beda dengan Gavriel yang tersedak dan salah tingkah. Aksa yang mendengar tebakan tepat sasaran dari Bos besarnya justru menahan diri agar ia terbahak saat ini juga.
"Sepertinya Tuan Dirga kadar kepekaannya lebih kritis di bandingkan Mas Gavriel atau memang Mas Gavriel yang tidak bisa menyembunyikan apapun, jika itu sudah di hadapan Tuan Dirga," batin Aksa bertanya dengan penasaran.
"Hn, mau tahu urusan anak muda saja, Dadd," elak Gavriel berusaha menutupi kenyataan dengan memasang ekspresi lempeng andalannya.
Gavriel yakin, jika sang daddy tahu makan mommy-nya pun cepat atau lambat akan tahu. Alamat diminta ngerajut janur kuning segera, kalau sampai ia ketahuan sedang gencar mendekati anak dari si pengacara kondang, Faro.
"Hn. Daddy hanya takut, akan ada wanita muda yang datang dan mengadu tentang kelakuanmu," kata Dirga dengan nada kelewat datar.
Ia menatap putranya pura-pura asal menebak, namun sebenarnya ia tahu dengan apa yang dilakukan putranya di luaran sana. Terlebih dengan anak perempuan sahabat storngnya, Queeneira tentu saja siapa lagi.
Uhuk!
Untuk kedua kalinya Gavriel yang tertohok dan marasa tersindir kembali tersedak. Kali ini bahkan lebih parah, sampai tangannya pun ikut menepuk dadanya untuk menghilangkan efek sakit, yang di akibat oleh perkataan sang Daddy yang selalu bisa menebak apa yang sedang terjadi dengannya.
Entah harus bersyukur atau apa, kenapa intuisi Daddy selalu benar, seakan ketenangan yang di tampilkan selalu menjadi boomerang untukku" batin Gavriel disela-sela acara meredakan tersedaknya.
Tidak ingin semakin mati kutu dengan tebakan sang daddy yang selalu mak jleb, Gavriel pun berusaha sekuat tenaga untuk kembali bertingkah seperti biasanya.
"Ehem … Jadi, ada apa Dadd? Kenapa tidak menyuruhku saja untuk datang ke kantor pusat?" tanya Gavriel mengalihkan topik pembicaraan dan untunglah Dirga yang mengerti pun akhirnya mencoba untuk tidak berpikir jauh.
Baginya saat ini, Gavriel hanya sedang melancarkan aksinya sebagai pertanggung jawaban selama 10 tahun menggantung perasaan anak orang, anak sahabatnya yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.
"Dasar anak muda zaman sekarang, harus ya pakai acara seperti itu," batin Dirga tidak berkaca jika ia pun seperti itu dulu dengan istrinya.
Benar, dulu juga Dirga pernah membuat perusahaan saingan cintanya bangkrut sekali tepuk karena alasan istrinya yang masih di dekati. Jadi, Dirga tidak bisa menyalahkan Gavriel, karena nyatanya ia pun seperti itu.
"Benar-benar buah jatuh dekat sama pohonnya," batin Dirga mendengkus geli.
"Daddy mau memberitahu kamu untuk berhati-hati dengan lawan bisnis kamu nanti. Di pertemuan besar seperti itu kita tidak tahu mana yang benar-benar sportif atau tidak, mana yang bisa di jadikan rekan atau tidak. Kamu sudah tahu sendiri, sudah mengalaminya saat di Jepang, kan? Daddy akan menempatkan beberapa pengawal tambahan untuk kamu saat itu," tutur Dirga menatap putranya cemas, sehingga Gavriel yang mendengarnya pun terdiam dan tiba-tiba teringat kembali kejadian saat itu.
"Maafkan Daddy yang saat itu lengah, Gavriel putraku," lanjut Dirga dalam hati, sedih.
Butuh beberapa detik bagi Gavriel kembali ke dunia nyata, menghindar dari kenangan pahit itu dan balas menatap daddy-nya dengan rasa percaya diri yang tinggi. Sedangkan Aksa yang mendengarnya turut merasakan sedih, namun
melihat Tuan mudanya yang tegar saat melihat Tuan besarnya, ia pun segera mengenyahkan pikiran sedihnya dan kembali mendengarnya dalam diam, menyimak.
"Hn. Daddy tenang saja, ada Carnell dan Aksa yang akan berdiri di samping kiri-kananku. Aku rasa itu saja sudah lebih dari cukup. Daddy juga harus tahu, jika aku bukan lagi Gavriel yang lemah seperti saat itu," balas Gavriel setelah terdiam, menenangkan sang Daddy yang terlihat sekali datang hanya untuk menghawatirkannya.
Bagi Dirga menyembunyikan kenyataan sang putra dari istrinya itu sangat mudah, jika kejadiannya berada jauh dari tempat mereka saat ini berada, ya ... Contohnya saja saat di Jepang dulu. Tapi kali ini berbada, bagaimana bisa ia menyembunyikan sebuah peristiwa jika kejadiannya tepat di kotanya sendiri, di daerah kekuasaannya sendiri.
"Cukup satu kali aku kecolongan. Aku tidak ingin itu terjadi lagi, terlebih ada El yang bisa saja menjadi sasaran," batin Dirga dengan renungannya.
Ia juga tahu, jika Gavriel menempatkan beberapa pengawal untuk menjaga anak bungsunya dan ia sudah menduga, jika sampai Gavriel sudah memulai duluan artinya ada sesuatu yang harus mereka waspadai.
"Hn. Daddy percaya denganmu, karena kamu adalah Gavriel Wijaya, anak yang memiliki berkah dan kekuatan sebagai pelindung dari Tuhan," sahut Dirga dengan nada yakin.
"Dadd, kata-katamu sungguh berlebihan, bikin merinding bulu romanku. Aku hanya Gavriel, yang lahir dari rahim seorang ibu berhati hangat dan ayah berhati batu," seloroh Gavriel meledek sang Daddy yang segera terkekeh dengan senyum tampan di usianya yang tidak muda lagi.
"Anak kurang di hajar," balas Dirga disela-sela kekehannya, dengan Gavriel yang ikut terkekeh kecil.
"Ok, aku ralat. Aku hanya lah seorang anak yang sangat beruntung, karena aku di lahirkan dari rahim seorang wanita lembut seperti Mommy dan memiliki ayah seperti Daddy yang selalu melindungiku di tengah-tengah kekhawatirannya. Terima kasih, Dadd," ujar Gavriel kemudian memberikan senyum simpulnya kepada sang Daddy, yang dibalas dengan senyum mirip dengannya.
"That's my son," kata Dirga berusaha agar nada suaranya tetap terdengar normal. Padahal ia sedang sedih saat menyinggung masalah beberapa tahun silam, kewarasannya saat itu diuji agar tetap terlihat biasa di depan sang istri.
Bahkan ia menahan diri agar tidak segera terbang ke Jepang saat itu dan memilih untuk mengikuti keinginan Gavriel yang tidak ingin dijenguk oleh siapapun tanpa terkecuali.
"Don't cry, Dadd," ledek Gavriel berusaha mencairkan suasana, ia memasang ekspresi menyebalkan dan akhirnya berhasil saat Dirga balas mendengkus ke arahnya.
"I did not cry," elak Dirga menampik kenyataan padahal nyatanya memang dirinya hampir menangis.
Setelahnya mereka pun kembali melanjutkan percakapan, tentunya membahas tentang rancangan yang akan mereka pakai saat meeting perebutan tender beberapa hari yang akan datang.
Kunjungan sang daddy selesai, kini Gavriel sedang mengantar sang Daddy ke pelataran teras lobby untuk kembali ke perusahaan pusat Wijaya.
Keduanya berjalan dengan langkah sama, aura yang sama dan juga wajah datar yang sama. Benar-benar menunjukan kepada semua orang kekuasaan mereka. Sehingga siapapun yang melihatnya selalu tanpa sadar menahan napas, akibat tekanan udara yang tercipta karena kehadiran mereka.
"Makan malam ini datanglah ke mansion, Gavriel. Mommy-mu selalu mengeluh karena kamu hanya menghubunginya melalui sambungan," ucap Dirga sesaat sebelum memasuki mobilnya, dengan Bima yang setia mengawalnya berdiri seraya membuka pintu mobil untuknya.
"Hn, akan aku usahakan, Dadd," balas Gavriel dengan kepala mengangguk kecil.
"Hn, Daddy pergi," timpal Dirga berpamitan, seraya menepuk pundak anaknya sekali.
"Be careful, Dadd."
Blam!
Brummm!
"Hampir jadi anak durhaka," lirih Gavriel sebelum ikut meninggalkan pelataran teras depan perusahaannya.
Bersambung.