Keadaan kraton riuh ramai akibat kabar yang berhembus kencang.
"Raden, mau kemana?" Tanya Asep mengikuti tuan mudanya.
"Aku mengecek langsung kabar tersebut." Raden Sanggara berjalan melewati para pengawal kerajaan yang satu-satu menunduk tanda hormat pada Sang Pangeran.
"Jadi Raden percaya isu itu?"
"Ibunda Ratu tengah bersedih, sudah dua hari dua malam beliau terus menangis."
"Bukankah lebih baik jika Raden menunggu kabar dari Patih terlebih dahulu?"
"Aku tidak bisa menunggu."
"Tapi Raden ..."
"Tolong bilang pada Ayahanda aku pergi."
"Tapi Raden ... Raden... Tunggu Raden..."
Raden Sanggara tidak mau mendengarkan pelayan setianya dan terus memacu kudanya agar lebih cepat.
"Kakanda tidak mungkin meninggal, aku yakin. Hiiyatt..." Raden Sanggara memacu kudanya lebih kencang dan semakin kencang.
"Raden? Apa yang Raden lakukan disini?" Panglima Adipraja terkejut melihat Raden Sanggara datang menghampirinya. "Raden hanya datang sendiri? Dimana pengawal Raden?"
"Bagaimana? Apa sudah ada perkembangan?" Seolah tidak memperdulikan pertanyaan Panglima Adipraja, Sanggara malah menyisir tepian sungai tempat para perajurit mencari.
"Belum Raden, kami bahkan kehilangan petunjuk." Panglima Adipraja menundukan kepalanya takut.
"Bagaimana bisa?" Emosi Raden Sanggara sudah diubun-ubun. "Aku akan turun."
"Jangan. Hamba mohon Raden." Panglima Adipraja menghalangi jalan Raden Sanggara.
"Minggir."
"Tidak Raden, kita tidak tau apa yang ada dibawah sana."
"Kalau begitu, biar aku saja yang melihatnya. Kalian bisa mencari ketempat lain."
"Saya ikut Raden."
Raden Sanggara tidak menjawab, tujuan utamanya adalah mencari Kakaknya, Putra Makhota kerajaan Tirta Kencana.
Pedang yang ada ditangan Raden Sanggara menebas ilalang dan pepohonan yang menghalangi jalannya.
"Ada telapak Kaki Raden, biar saya yang jalan lebih dulu."
Raden Sanggara berpikir sejenak sebelum menganggukan kepalanya. "Baiklah."
"Terimakasih Raden." Panglima Adipraja berjalan mendahului dengan mata yang tajam bagai elang menelusuri segala arah. Bahkan kelinci yang bersembunyipun dapat ia lihat dengan jelas.
"Raden, sepertinya ada lebih dari lima orang yang mengawasi kita."
"Ya.. Aku juga melihatnya."
"Lalu apa yang harus kita lakukan Raden?"
"Kita biarkan saja dulu, jika mereka bergerak kita habisi."
Panglima Adipraja menganggukan kepala mengerti.
'Mereka semua nampak tenang? Apa ini sebuah jebakan?' Batin Panglima AdiPraja.
Syukk...
Sebuah anak panah meluncur secepat kilat melintas menggores lengan Raden Sanggara.
"Raden?" Panglima Adipraja terkejut.
"Tenanglah, perhatikan. Mereka mulai bergerak." Raden Sanggara memegangi lengannya, darah segar terus mengalir.
Perkelahian tidak terelakan, bunyi pedang berdetum memecah keheningan hutan.
Semakin lama jumlah mereka semakin banyak, Raden Sanggara dan Panglima Adipraja mulai kewalahan.
"Raden, lebih baik kita mencari tempat bersembunyi dahulu. Hamba yakin, ini semua adalah jebakan dan mereka mengincar Raden."
"Masuk akal. Baiklah."
"Ikuti Hamba, Raden." Panglima Adipraja menuntun jalan.
Setelah 2 jam berlari tibalah Raden Sanggara di jurang di tepian sungai yang curam.
Anak panah melesat tepat di dada sebelah kiri Raden Sanggara membuatnya terjatuh hingga ke dasar sungai.
"Dia pasti sudah mati. Tidak mungkin dia bisa bertahan hidup, jika tulangnya patah atau mungkin hancur." Ucap salah satu prajurit berbaju hitam dengan penutup wajah.
"Ya.. Ini sangat tinggi didasar banyak bebatuan besar, dia tidak mungkin bertahan hidup."
"Ayo cepat kita kembali, beliau pasti sudah menunggu kabar gembira ini."
"Ya.."
Kedua perajurit itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
***
Tiga hari sebelumnya..
Brug..
Seorang prajurit tergesah-gesah berlari setelah turun dari kuda.
"Hosh... Hosh.. Hosh..." Nafasnya bahkan belum kembali normal saat melihat seorang yang ia cari.
"Baginda... Baginda raja.." Perajurit menghampiri Prabu Sanjaya.
Prabu Sanjaya "Ada apa? Atur nafasmu dulu."
"Baginda raja.. Ada kabar buruk dari sebrang."
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Putra Mahkota Jayadarma mengalami musibah. Dan, meninggal." Perajurit menundukan kepalanya berduka.
"Apa? Dimana jasad Putraku sekarang?" Prabu Sanjaya berdiri mulai gelisah.
"Jasadnya belum di temukan Baginda.."
"Apa?" Prabu Sanjaya terduduk lemas memegangi dadanya yang berdegup kencang.
"Semua prajurit sudah dikerahkan untuk mencari Putra Mahkota, dan saya di utus untuk meminta bala bantuan untuk mencari Putra Mahkota."
"Cepat-cepat bawa perajurit sebanyak yang dibutuhkan. Cepat temukan Putraku."
"Baik Baginda. Saya undur diri." Prajurit melangkah mundur sambil berjongkok.
Prabu Sanjaya mengentuk-ngetukkan kepalanya kebelakang. "Patih.."
"Hamba, Baginda.." patih Anggareksa berdiri dari tempat duduknya.
"Tolong kamu pergi dan cari tahu kabar kebenaran tentang putraku."
"Baik Baginda.. Hamba akan berangkat hari ini juga, Hamba mohon izin." Patih Anggareksa membungkukan badannya sebelum melangkah pergi keluar ruangan.
"Kanjeng Ratu.. Permaisuri.." Seorang Dayang berlari masuk kedalam ruangan dimana Ratu dan Permaisuri tengah duduk sambil membicarakan sesuatu.
"Ada apa Bi Sumi?" Permaisuri Dewi Laksmi menolehkan kepalanya.
"Ada kabar buruk. Putra Mahkota dikabarkan meninggal."
Prank..
Cangkir yang terbuat dari tanah liat terjatuh dari tangan Ratu Galuh Asih.
"Apa Bi?" Tanya Ratu Galuh Asih tidak percaya.
"Putra Mahkota meninggal dan jasadnya belum ditemukan."
Mendengar itu tubuh Ratu Galuh Asih seketika lemas dan tak sadarkan diri.
3 jam berlalu..
Ratu Galuh Asih masih belum mau membuka matanya.
Permaisuri Dewi Laksmi nampak cepas juga khawatir dengan wanita yang terbaring di hadapannya. Dia sudah menganggap Ratu Galuh Asih sebagai adiknya sendiri, karena perbedaannya usia mereka yang terpaut 5 tahun.
"Kanjeng Ratu.." Ucapan itu membuayarkan pikiran Permaisuri yang langsung menggengam tangan Ratu Galuh Asih.
"Bagaimana? Apa sudah ada kabar?" Tanya Ratu Galuh Asih.
Permaisuri menggelengkan kepalanya lemas. "Belum.. Para Perajurit baru saja pergi."
Ratu Galuh Asih kembali menangis. "Sudah aku katakan jangan pergi, biar Patih saja yang mengurus urusan itu.. Kenapa Putra Mahkota tidak mau mendengarkan aku?" Ratu Galuh Asih kembali menangis. "Kakak.. Bisakah aku mencari Putraku?"
"Tidak ..."
"Tapi, aku tidak bisa terus menunggu seperti ini."
"Tolong, tunggulah sebentar lagi.." Permaisuri Dewi Laksmi memeluk Ratu Galuh Asih dan mengusap-usap bahunya dengan lembut.
Raden Sanggara melihat dari kejauhan nampak murung. Tak ada yang dapat ia lakukan karena perajurit mengikuti kemanapun ia pergi.
Isak tangis selalu terdengar dari kamar Ratu Galuh Asih membuat Raden Sanggara tidak nyaman.
"Ayahanda.."
"Ada apa Putraku?"
"Hamba ..."
"Tidak... Aku tidak mengizinkan kamu untuk pergi."
"Hamba bahkan belum mengatakannya."
"Aku sudah tau apa yang ada didalam pikiranmu. Jangan berharap aku akan memberikan izin."
"Tapi bagaimana dengan keadaan Ibunda Ratu?"
"Sudah aku bilang. Aku tidak akan mengizinkan kamu pergi." Perabu Sanjaya meninggikan sedikit nada suaranya.
"Ck." Raden Sanggara melangkah pergi dari ruangan Perabu Sanjaya.
"Dia sangat mirip denganku, awasi terus jangan sampai ia pergi." Perintah Perabu Sanjaya kepada salah satu Perajurit.
"Baik Baginda."
Perabu Sanjaya memegangi kepalanya pusing.
Selama sehari Raden Sanggara dikurung di kamar dan itu membuatnya kesal.
"Aku tidak akan kabur, aku hanya ingin bertemu Ibunda permaisuri." Ucap Raden Sanggara saat diikuti oleh ketiga Perajurit dan satu Pelayan setia.
"Kalian bisa pergi. Aku yang akan menjaga Raden Sanggara."
Perajurit pergi dengan mudah setelah Raden Sanggara masuk ke dalam kamar Permaisuri Dewi Laksmi.
"Ibunda.." Raden Sanggara duduk di samping Permaisuri Dewi Laksmi.
"Ada apa?" Permaisuri Dewi Laksmi mengusap kepala anak semata wayangnya.
"Apa aku bisa ..."
"Kamu tidak bisa melanggar perintah Baginda Raja."
"Hahh.. Jawaban Ibunda pasti sama dengan Ayahanda."
Permaisuri Dewi Laksmi tersenyum. "Beliau takut kamu kenapa-kenapa, beliau hanya cemas. Hanya kamu dan Kakakmu yang bisa melanjutkan tahtanya.. Jika kamu pergi, sedangkan Kakakmu belum kembali beliau ..."
"Aku tidak mau jadi Raja Bunda." Potong Raden Sanggara.
"Itu bukan pilihan, tapi itu kewajiban."
"Maka dari itu, ini adalah salah satu kewajibanku."
"Apa kamu yakin? Ibunda tidak masalah selama kamu bisa menjaga dirimu.. Tapi, sebagai seorang Ibu ..."
Raden Sanggara mengenggam erat tangan Ibundanya. "Aku berjanji akan kembali dengan selamat. Begitu juga dengan Kakakku. Aku akan membawa Kakakku pulang."
Permaisuri Dewi Laksmi menghembuskan nafas panjang nan berat. "Pergilah.. Jika itu keinginan kamu.. Bawa Kakakmu kembali."
Raden Sanggara tersenyum senang.
"Tapi.. Bunda ingin kamu pergi besok, dengan memakai ini." Permaisuri mengambil kalung dengan kujang sebagai liontin. "Jangan sampai kamu lepas. Ini restu Ibunda.. Jadi kamu harus jaga dan jangan kamu berikan kepada siapapun. Mengerti?"
Raden Sanggara mengangguk. "Terima kasih Bunda.." Raden Sanggara memeluk Permaisuri Dewi Laksmi. "Aku akan ingat semua pesan Ibunda.."
Bersambung...