Chereads / Prince, New Queen / Chapter 1 - Takdir Benang Merah

Prince, New Queen

🇮🇩secretfans
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Takdir Benang Merah

Alkemi adalah ilmu yang memfokuskan diri terhadap Transmutasi Unsur. Prinsip dari alkemi adalah 'pertukaran setara'. Sebuah pertukaran untuk mendapatkan keinginan terdalam. Bagi seorang alkemis (pengguna alkemi) transmutasi manusia adalah hal tabu.

Hari itu Siyeon kehilangan sang ibu sebagai satu - satunya keluarga yang dia punya. Tiga tahun setelahnya dia mempelajari alkemi dan mencari segala informasi tentang transmutasi manusia. Hingga akhirnya tiba waktu untuk dia menyiapkan lingkaran transmutasi dan memulai sebuah hal tabu, namun Siyeon gagal dan dan harus kehilangan kaki kirinya sebagai bayaran.

Dibagian timur Astramia, Deoulit masih mempertahankan sistem kerajaan. Dipimpin secara turun - temurun oleh keluarga Clarinest, kini Deoulit berada dibawah kekuasaan Aldebran Jenosya Clarinest, sang pangeran pertama.

Sieyon tahu jika telah terjadi perang sipil di ibu kota. Setelah melakukan transmutasi itu, Siyeon menutup diri dan pergi dari desa. Dalam proses transmutasinya Siyeon ditemukan dengan sosok hitam tanpa wajah yang menunjukkan 'dunia' dan segala isinya. Setengah ilmu dan pengetahuan didunia diterimanya dengan kaki kiri sebagai bayaran. Siyeon sudah pernah melihat neraka sebagai akibat dari pertukaran setara.

Peran semakin melebar. Suku Ishaval sebagai suku terbesar dibagian timur memberontak pada kerajaan. Keputusan Jeno untuk menghabiskan 'seluruh' pemberontak menggunakan alkemis kerajaan menimbulkan bekas mendalam.

Ledakan. Teriakan. Tangis. Alkemis negara dianggap sebagai anjing militer.

Musnahnya suku Ishaval menjadi bekas luka dan piagam pengingat jika Jeno telah gagal dalam tugasnya sebagai seorang Raja.

.

.

.

Siyeon duduk dihadapan seorang laki -laki dengan seragam biru dihadapannya. "Saya tidak tertarik dengan kelar kehormatan atau apapun itu. Lagipula darimana kerajaan bisa menemukan tempat terpencil seperti ini?" Siyeon tinggal dipinggiran hutan perbatasan. Dua tahun lalu, setelah perang sipil selesai dia mencari, mengambil, dan mengurus anak - anak yang dia temukan disekitar perbatasan. Anak - anak tanpa dosa menjadi korban dari keegoisan orang dewasa. Mereka kehilangan orang tua, sahabat, keluarga, juga tempat untuk kembali pulang.

"Pengembara yang kau selamatkan. Dia mengakui kejahatannya dan memberitahu jika ada seorang gadis yang mengurus anak yatim akibat perang sipil, anak - anak itu adalah tanggung jawab kerajaan tapi karena-mu mereka yang luput dari pengawasan bisa selamat hingga sekarang. Karena itu kerajaan memberimu gelar kehormatan dan menyediakan tempat tinggal di ibu kota." Letnan Kolonel Johhny Amstrong duduk dengan tegap. Memberitahu segala kejelasan informasi bagi gadis pahlawan.

"Ah, si pembunuh. Aku merawatnya karena anak - anak polos itu. Mereka masih sulit membedakan orang - orang jahat. Terlalu lugu, bukan ?" Kolonel Amstrong mengangguk. Melihat kearah jendela yang menampilkan anak - anak yang bermain bola dengan riang. Kebanyakan dari mereka adalah anak laki - laki, terlihat puas dengan kehidupan mereka yang sekarang.

"Baiklah, mari bertemu keluarga kerajaan. Aku ingin melihat mereka yang membuat anak - anak itu kehilangan orang tua." saat ini Johnny tahu, ada yang berbeda dari senyum si nona muda.

.

.

.

Siyeon duduk dipinggiran kasur dengan tangan yang menggenggam gelas. Rumah sederhana dengan dua kamar, halaman depan, juga ayunan disebuah batang pohon sesuai keinginannya benar - benar diwujudkan. Dia tidak keluar kamar bahkan setelah kolonel Jhonny Amstrong pulang seepas membersihkan 'hadiah - hadiah' dari tetangga sebagai ucapan selamat datang. Semua orang di Central telah mengetahui alasan kepindahannya dan berlomba - lomba memberikan ucapan terima kasih atas tindakan kemanusiaannya.

Padahal, Siyeon melakukan itu untuk menebus dosa besar. "Orang - orang terlalu cepat menilai." Dia berbaring dan melempar gelas itu ke sembarang arah. Serpihan kaca berserakan dilantai tapi tidak dengan air didalamnya.

Sieyon Arkarta adalah alkemis air. Tidak ada yang tahu hingga sekarang. Dan akan tetap begitu.

Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan.

Tok tok tok

"Permisi apa ada orang?" Air yang melayang disisinya mulai bergerak sebagian, keluar menghampiri pintu utama dan berada tepat dilubang pintu. Sedangkan sisanya membentuk bola transparan yang menampilkan seorang remaja dengan keranjang apel ditangannya. Lagi - lagi tetangga baru, batinnya.

Pintu itu terbuka, Siyeon berdiri dengan senyum indahnya. "Halo adik kecil, ada yang bisa kubantu?" tanyanya. Anak laki - laki itu mendengus, "Aku bukan anak kecil lagi! Ini, seorang pria bertopi memberiku ini. Dia bilang harus memberikannya padamu." keranjang rotan berisi apel itu diserahkannya. Tapi siapa pria bertopi yang dimaksud ?

"Apa yang dia berikan padamu hingga kau mau melakukan sesuatu untuk orang asing?" tanya Siyeon. "Lima keping koin emas." anak itu langsung berlari setelah mengatakannya. Enggan ditanya kebih banyak oleh orang asing yang kini menjadi tetangga barunya. Mama bilang dia sedikit aneh, tapi pria asing yang dia temui memberikan imbalan yang pantas itu tidak apa, kan?

Siyeon masuk dan membiarkan pintu itu tertutup sendiri, menaruh keranjang apel itu diatas meja ruang depan. Diantara kumpulan buah merah, ada sebuah kertas berpita biru dengan jam perak terikat diantaranya. Jam itu adalah lambang pengenal kemeliteran, kemungkinan besar pria bertopi yang anak itu maksud memiliki pangkat tinggi.

Jam perak itu tidak bisa dibuka. Disegel dengan alkemi. Siyeon tersentak, apa orang ini mengetahui jika dia seorang alkemis ? Tapi itu tidak mungkin, Siyeon tidak pernah lagi menggunakan kekuatannya setelah tiga tahun lalu. Tidak hanya jam, pita itu juga mengikat sebuah kertas pesan.

'Kami mengundang anda secara resmi, terimalah hadiah kecil dari Raja. Persiapkan dirimu untuk hari esok, nona'

"Orang - orang ini selalu mementingkan diri mereka, mengambil keputusan atas diriku, heh?"

Siyeon tidak akan datang.

.

.

.

Siyeon datang.

Seorang perempuan datang pagi sekali dan menariknya dari kasur. Memaksanya memakai gaun berwarna putih dengan lipatan dibagian pinggang, sebuah gaun tanpa lengan yang mencetak dengan jelas lambang dibahu kanannya. Sebuah lingkaran merah dengan tga segitiga ditengahnya, lambang yang diberikan 'ayah' padanya.

"Sudah siap?" Letnan dua Somi Eve Ross menunduk hormat kala Siyeon keluar dari kamar. Lambang tiga segitaga itu terkenal di kemeliteran, lambang dari keluarga kerajaan yang telah lama hilang. Kabarnya, hanya tersisa satu keturunan dari raja Arkarta , jika gadis didepannya memiliki lambang itu sudah jelas jika dia putri yang hilang.

"Yang mulia putri Arkarta, apa itu kau?"

Siyeon mengernyit, bingung. Namun sedetik kemudian menyeringai ketia mengingat tentang statusnya. "Jadi, keluarga kerajaan masih mengingat tanda ini?" tanya nya. Dengan tegas Somi menjawab iya, menjelaskan jika selama ini ada tim khusus untuk menyelidiki keberadaan penerus kerajaan.

"Baiklah, kalau begitu ayo berangkat. Aku ingin melihat bagaimana Raja menyambut teman lama."

Kerta kuda itu bergerak cepat melintasi jalan ibu kota. Prajurit pengawal membungkuk gugup ketia melihat tanda merah dilengan tamu kerajaan. Setelah sekian lama mencari, sang putri datang dengan sendirinya lewat takdir benang merah.