Setelah turun dari angkutan kota hijau bergaris biru di sebuah pertigaan, aku terus berjalan. Di samping kanan sisi jalan terdapat pangkalan ojek terlihat tukang ojek sedang duduk santai menanti penumpang.
Keadaan jalan yang sepi padahal sudah siang hari.
'Mungkin karena mendung, jadi masih terlihat seperti pagi hari.' Batinku.
Karena aku kesiangan aku berjalan setengah lari, melawati jalan yang menanjak dan banyak lubang-lubang kecil-kecil di sana sini yang membuat kaki ku gemetaran lemas dan kehabisan nafas.
"padahal aku setiap hari lewat sini. Tapi, tetap saja jalanan ini sangat menyiksa." gumamku kesal.
Kaki ku berat sekali untuk melangkah. Rasanya sangat sulit, seperti ada batu besar yang terikat di kedua kakiku.
"Akh... padahal Cuma beberapa meter aku berjalan, tapi rasanya seperti berlari sejauh 10 kilometer, nafasku sesak dan kepalaku pusing."
Karena sudah tak kuat untuk berdiri lagi, aku duduk diriku di depan gerbang restoran tempatku bekerja.
Biasanya sudah banyak orang yang berlalu lalang di sekitaran restoran karena terdapat foodtruck yang menjual sarapan pagi seperti bubur ayam dan nasi uduk di seberang restoran disamping sebuah minimarket di perempatan berjarak 2 resto dari restoran tempat ku bekerja.
'Tapi, sekarang masih sangat sepi?'
Dan terlebih parahnya lagi, pagar resto pun belum dibuka.
'Aku juga tidak bisa masuk.' 😖
Aku beberapa kali mengintip ke dalam melalui celah-celah pagar, tapi benar-benar tak ada orang.
"Terserah apa kata orang, aku benar-benar lelah kaki ku sudah gemetaran sekali. Ya allah hari ini benar-benar parah. Kaki ku sakit sekali sampai-sampai mati rasa." grutuku dan kaki ku yang bengkok sulit untuk diluruskan, butuh perjuangan untuk itu.
"Ngapain lu duduk disitu? minggir gue mau buka pagernya." Chandra tiba-tiba ada di depanku. Menendang lututku dengan kaki kanannya, agar aku bangun dan menyikir dari tempat aku duduk.
"Santai donk gak usah nendang juga kali, Bisakan bicara baik-baik? Gak punya perasaan banget sih." Aku berdiri sambil membersihkan celanaku. Untung sepatunya bersih, karena dia pakai motor. Dan sepertinya, sepatunya baru dan mahal seperti anak-anak orang kaya. Dan kaki yah begitu lah tertatih tatih.
'Aku heran banget sama si Es ini dateng dari mana sih? Tau-tau sudah ada di sini aja, gak tau apa orang lagi capek. Dia kan naik motor, mana tau penderitaan orang yang jalan kaki. Seperti abis naik-naik ke puncak gunung, gunung salak tau gak. Egh.. kenapa harus dia sih.... Kenapa bukan orang lain aja? Hari ini benar-benar sial.' Gumam ku dalam hati dengan mengepoutkan bibirku, benar-benar sebal dengan orang yang ada di depan ku. Walau mataku terus melihatnya membuka pintu gerbang resto.
"Lagian lu ngapain duduk di situ kaya gembel tau gak?" Chandra berbicara dengan suara yang membuat telingaku sakit dan memberi penekanan pada kata gembel, sambil terus berusaha membuka pintu gerbang restoran dengan banyak kunci di tangannya.
'Kayanya selain gak punya hati dia juga memang gak punya otak omongannya kasar banget, bikin orang sakit hati. Setiap hari dia makan apa sih? Makan tawon kali ya? Ngegas mulu. Heran deh beda banget sama wajah nya yang ganteng. Emang ya, jangan liat orang dari covernya aja. Ishh amit-amit deh.' Dalam diriku terjadi perang batin.
"Terserah apa kata lu." Aku berjalan masuk area resto dan sengaja aku senggol badan Chandra sekuat mungkin, aku berharap dia tersungkur ke tanah.
BRUKK...
"ADUH.." Teriak Chandra saat terjatuh ke tanah, wajahnya yang tampan itu hampir menyentuh tanah. Untung tangannya masih bisa wajahnya agar tak mencium tanah, menahan seperti orang yang sedang push up. "Gila badak lewat." Chandra berdiri membersihkan tangan dan lututnya Sambil melotot kearah ku.
"Ouh.. Masih untung cuma BADAK yang lewat, apa lagi kalau MACAN yang lewat abis loe. Ngaung.." aku berbalik ke arahnya dan melototkan mataku selebar-lebarnya. Bergaya seperti macan yang mau menyantap memangsanya.
'Rasanya benar-benar ingin aku makan orang itu mentah-mentah, biar gak ada lagi orang kaya gitu di dunia ini. Sabar Naina masih pagi, jangan emosi.'
Aku mengatur nafas berulang kali supaya amarahku mereda.
Aku terus berjalan, membuka pintu karyawan dengan kunci yang ku ambil saat aku menyenggol badan Chandra.
Kalau bukan karyawan, mungkin itu seperti jendela biasa yang di hiasi banyak pepohonan yang hampir menutupi depan pintu khusus karyawan. Pintu rahasia.
Sebenarnya aku dan Chandra bukan musuh tapi dia selalu cari gara-gara denganku, aku heran apa sih maunya? Sampai sedetik pun dia gak mau berhenti menggangguku.
'Sebenarnya aku ingin menjadi sahabat, ekh..... Enggak deh teman aja, punya sahabat kaya gitu bikin sakit hati dan sakit kepala bawaannya emosi aja, lama-lama punya penyakit setrok lagi.' aku bergidik ngeri
"Gara-gara Chandra aku jadi lupa sesuatu. Apa ya? Akh.. sudahlah, bikin kesal saja. Fokus kerjaaa.. semaangaat Naina." Aku menyemangati diri sendiri.
Aku bergegas ke arah kasir, menghidupkan komputer kasir untuk absen harian dan memeriksa buku laporan keuangan kemarin.
Aku seorang kepala kasir jadi wajar kalau aku melihat catatan keuangan setiap hari, karena itu tugasku.
Karena terlalu fokus dengan note kemarin aku lupa absen.
"HAAH...??" aku benar-benar kaget ketika melihat jam dilayar monitor. "Jam tujuh? Padahal tadi aku berangkat dari rumah jam tujuh tapi kok?" Aku tertegun mengingingat-ingat lagi apa yang sebenarnya terjadi.
"HEH.. BANGUN WOY." Suara keras Chandra membuatku tersentak. Dia yang berdiri tepat di belakang ku dan wajah Chandra berada di sebelah pundakku.
PLAAKK....
Tanganku reflek aku memukul Chandra, lebih tepatnya menamparnya pas di pipinya.
"A..aa..aa.. so..sorry, g..ak sengaja. Sumpah lu bikin gue kaget duluan sih, jadi kan gue reflek nampar muka lu. Maafin gue ya... Maaf banget.." aku panik melihat pipi Chandra memerah ke ungu-unguan sepertinya tamparanku sangat kencang sampai-sampai cap tanganku menempel indah dipipinya.
"AKH.. BENER-BENER GILA LOE YA, PANAS TAU GAK PIPI GUA.." Chandra melotot kearahku suara Chandra semakin kencang dan keras, membuatku sangat ketakutan dan dia benar-benar marah, tangannya terus memegangi pipinya.
Sedangkan tanganku sendiri masih terasa panas apa lagi pipinya, aku terus menunduk takut dengan tatapan matanya mataku terpejam mendengar semua teriakan sumpah serampahya. Aku benar-benar takut.
"sebentar lu duduk dulu di sini, gue ambilin es batu buat kompres pipi lu. Sebentar." Aku memberanikan diri, mendudukannya di kursi kasir dan bergegas berlari ke dapur.
Aku mencari handuk kecil baru. Tapi tidak ada, semua sudah terpakai. Aku segera berlari ke arah samping gudang penyimpanan bahan makanan resto terdapat sebuah lemari kecil bertingkat 5, berwarna coklat tua bergaris seperti serat kayu jati dan masih nampak gagah, dikiri menggantung alat kebersihan dan keran air untuk mencuci kain pel dan beberapa peralatan besar, di setiap tingkat berisi berbagai jenis barang. Di sebelah kanan terdapat tangga menuju ruang staff dan ruang bos yang berada di sebelah kanannya.
"Kalau aku ambil lap bersih ini? Tapi, kain lap ini bekas staff. Yang ada aku kena marah lagi. Pakai sapu tangan aja kali ya? Dari pada dia tambah marah." Aku mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku celanaku.
Aku membawa baskom berisi air es dan es batu berlari menuju kasir. Keadaan restoran yang masih sepi karena baru aku dan Chandra yang datang.
Detak jantungku terus bergemuruh. Khawatir menyelimutiku sampai-sampai tanganku gemetaran.
Chandra yang ternyata masih duduk terdiam di bangku kasir, sambil melihat pipinya di cermin yang ada di meja kasir.
"Maafin gue Chan, gue gak sengaja abis gue lagi ngelamun lu dateng-dateng ngagetin gue. Kan gue reflek." Aku mengambil sapu tanganku yang sudah ada dalam baskom yang berisi air dingin dan es batu didalamnya, aku memeras sapu tanganku dan mengompres pipi Chandra.
"Lu pake tenaga kuli, kenceng banget tau gak? panas banget nih, kompres yang bener." Chandra mendongak kepalanya tapi matanya saat itu tak menatapku dia memalingkan pandangannya kearah lain.
"Iya sorry." Aku mengulang lagi mencelupkan sapu tanganku ke dalam baskom berisi air dingin dan es batu memeras sapu tangan dan mengompres pipi Chandra perlahan lahan.
'Kalau dilihat dari dekat wajahnya tampan, kulitnya putih lembut, tak seperti kulit laki-laki pada umumnya apa dia melakukan perawatanya ya? Bahkan kulitnya lebih lembut dari kulitku. Kalau dilihat dari dekat sepertinya wajahnya tak asing, apa aku pernah melihatnya selain di sini, tapi dimana ya?' batinku mengingat yang tak dapat ku ingat atau mungkin itu tak pernah terjadi.
"Wait.. ada apa nih pagi-pagi mesra bener?" Dimas Masuk dari balik pintu Kasir dari arah ruang produksi dengan senyum manis, orangnya yang hitam manis dan kepribadian yang manis juga lembut tutur katanya sopan kalau dibandingkan 180 derajat dengan Chandra.
"Mesra apanya? lu gak liat pipi gue yang bengep abis ditampar nih, sama si boncel." Chandra berdiri sambil menunjukan pipinya kepada Dimas yang berjalan kearah kami dan menunjuk-nunjuk ke arah muka ku dengan jarinya.
"Ya abis dianya yang ngagetin aku, aku kan reflek. Jadi aku tampar deh." Aku yang semula berani jadi ciut dan menundukan kepalaku, karena takut dengan tatapan Chandra sepertinya ia ingin memakan ku. Tapi tangan ku terus mengompres pipi Chandra.
"Wah.. Enak donk, pagi-pagi sudah sarapan yang panas-panas ya. Tapi Naina mau tanggung jawab loh, tuh tangannya aja masih terus mengompres pipi lu kan Chan." Dimas tersenyum sedikit tertawa sambil mengisi absen di computer kasir.
"Sini biar gue aja, lu absenin gue.." Chandra mengambil sapu tangan ku dengan wajah cemberut, menganbil baskom berisi air dan batu es dan berjalan pergi kearah ruang staff yang berada di lantai 2.
"Haha.. Chandra.. Chandra.. malu-malu dia, aku ke atas duluan ya Nha.." Dimas tertawa sambil mengeleng-gelengkan kepalanya dan berlari menyusul Chandra dan merangkul bahu Chandra sambil tertawa.
"Iya Mas." Aku melihat mereka dari meja kasir hanya bisa tersenyum, dengan kedekatan mereka.
'Andai saja, kalau Chandra punya sedikit aja kepribadian seperti Dimas pasti sangat bagus kan? Tapi dilihat darimana pun Chandra gak akan pernah bisa seperti Dimas kan?' Batinku.
Bersambung..