Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

My virgin

Zhee_Lalune
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5k
Views
Synopsis
Aku membuka pintu apartemen, menatap Biru yang berdiri tegap dan melihat ke arahku. Tujuh tahun lamanya kami hidup terpisah. Tujuh tahun lamanya aku mencoba menghabiskan waktu hingga kami berpisah seperti janji yang sudah aku tuliskan. Tujuh tahun dan aku tak tahu apa yang membawa Biru tiba di hadapanku. "Masuk" santai dan mencoba untuk tidak terlihat terlalu gugup. Walau sudah tujuh tahun lamanya, namun malam pertama kami masih dapat kuingat dengan jelas. Pria itu duduk di atas sofa, sementara aku menyajikannya segelas teh hangat aroma melati yang sangat kU sukai. Aku mengambil sehela kertas yang resmi. Surat kebebasanku. "Apa kita tidak bisa bercerai lebih cepat?" Pertanyaan itu membuat Biru menatap ke arahku.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - 1. My destiny

Namanya Nala. Kenala. Gadis periang kecil dan langsing yang punya cita-cita modelling.

Wanita yang punya lesung pipi itu sekarang bukan sibuk berjalan lenggak lenggok di atas panggung melainkan sibuk mengaduk-aduk adonan. Menatap bagaimana tepung yang hancur di tangannya sama seperti mimpinya sekarang.

Hingga kemudian sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Dia mengambil ponsel dari dalam saku celemek menggunakan Tangan sebelah yang bersih dan tak terkena tepung

Saya pulang lusa

Sekejap membuat loyang yang berisi adonan tersebut terdengar tersentak di dapur restoran hotel bintang lima tersebut.

"Kenapa?" Yana menatap sahabatnya itu. Membuat kegiatan di dapur berhenti menatap ke arahnya

"Kepala aku pusing kayaknya kurang enak badan" Nala tertawa getir pelan seperti memaksa.

"Kalau begitu izin saja dulu Nal"

Nala membesarkan matanya mengangguk kemudian cepat-cepat membasuh tangan. Menatap ke arah rekan kerjanya yang lain.

"Tolong selesaikan dessertnya ya"

Setelah itu ia cepat-cepat meninggalkan dapur yang wangi rempah-rempah menuju dunianya.

Dunia sebenarnya.

###

"Kenala ada apa beb?" pria yang kemayu kini berlenggak lenggok sambil membawa meteran di lehernya mengukur kain yang panjang berwarna nude itu.

"Gawat!"

"Gawat apanya yang gawat?"

"Biru mau pulang" nafas Nala tertahan ketika mengucapkan nama Biru dengan sangat hati-hati. Membuat wajah pria kemayu yang sudah lama jadi sahabatnya sejak duduk di bangku SMU itu tertawa pelan.

"Suami pulang kok lo cemas Gitu?"

Kata suami membuat Kenala merinding. Dia menggelengkan kepalanya pelan. Kata suami membuat jantungnya berdegup dengan kencang. Kata suami membuat perutnya mual.

"Nal, lo gak apa-apa kan? Wajah lo pucat begitu, tadi lo nyebut Biru kan? Biru suami lo kan?" Wawan membuyarkan lamunan yang membuat wajah sahabatnya itu pucat pasi. Kenala mengangguk dengan pandangan kosong, susah payah ia menelan ludahnya.

"Ya udah"  ucap Wawan santai.

"Mbak Nala udah nikah ya kak?" Tanya seorang pegawai yang tak sengaja mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Membuat wajah Nala semakin pucat. Jantungnya berdegup dengan kencang pandangannya semakin kabur.

"Hush Diem lo balik kerja sana" Wawan mengusir pegawai tersebut dengan jari-jarinya yang digerakkan lentik.

Wawan mendekati Kenala, membantu gadis itu duduk di sofa dan memberikannya segelas teh. Membantu nya menenangkan jiwa yang seperti terkaget-kaget. Seakan ia mendengar kabar bahwa esok adalah hari kiamat.

"Lo harus bisa hadapi kenyataan Nal, cepat atau lambat lo akan berhadapan sama Biru lagi. Ingat kan lo udah jual Virgin lo sama dia? Ingat dia udah ngontrak rahim lo buat melahirkan Deandra?"

Nala menatap Wawan dengan gemas dan kemudian mencubit pinggang pria itu yang sebagian terdiri atas lemak-lemak jahat. Membuat Wawan meringis kesakitan. Kedua sahabat itu saling tukar pandang sambil menyipitkan mata.

"Dasar perempuan tega, sakit Kenala" ungkap Wawan dengan nada penuh kekesalan namun justru berimbas tawa dari wanita yang kini tengah memasuki usia 27 tahun itu.

Kenala tertawa sambil memegang perutnya. Sementara Wawan meninggalkan Kenala yang sibuk diam. Perempuan bertubuh mungil itu mulai kembali pada masa lalunya. Waktu-waktu yang tak bisa dia ulangi. Waktu-waktu suram dan satu malam yang indah dengan Biru. Rayhandra

###

Tujuh tahun yang lalu

Namaku Kenala. Hanya Kenala, kata Bapak dan Ibu nama Kenala nama yang bagus, lagi pula sampai mati kita akan dipanggil dengan satu nama, untuk apa repot-repot punya nama yang panjang? Kalau menurut peribahasa. 'Apalah arti sebuah nama'

Kira-kira seperti itu. Aku punya mimpi menjadi modeling profesional dan kemudian membangun toko kue, karena aku suka memasak, adonan kue tepung dan aroma kayu manis serta wangi kocokan telur dicampur ekstrak vanili membuat aku merasa nyaman. Membuat hal-hal yang nikmat dan manis membaut orang lain bahagia akan karyaku sendiri adalah mimpiku.

Dan kini aku baru mulai merajut mimpiku, mendaki gununga yang tinggi bersama teman seperjuangan kU Maya. Gadis asal Bali yang juga cantik dan menyukai dengan dunia modeling sama seperitku. Hingga kemudian malam itu, demi menggapai mimpinya Maya menjatuhkan kU . Mendorong kU keras dari curahnya tebing yang sedang kami panjat berdua.

Aku hanya diam di atas catwalk, tersandung dengan gaun yang ini robek membuatku hanya tersenyum kecut. Perlombaan yang harusnya kue menangkan kini menyisakan malu yang akan kuingat seumur hidup.

Sepatuku patah. Sepatu yang kU beli dengan gaji sebagai SPG sebuah ponsel kini patah. Aku tak menangis, kata ayah menangis bukanlah solusi. Lagi pula aku bisa mengulang perlombaan ini tahun depan.

Apa kalian tahu? Untuk dunia yang dikelilingi kemiskinan seperitku rasa malu tak bisa membuatku berhenti berjuang. Hingga kemudian ketika aku sibuk menikmati rasa sakit hati akibat perlakuan Maya sebuah telepon masuk. Membuyarkan semua lamunanku. Memporak-porandakan hatiku.

"Halo BU?"

"Nal, bapakmu kecelakaan, becaknya ditabrak truk, sekarang ibu lagi di rumah sakit, bapakmu harus dioperasi" kabar itu membuat air mataku perlahan-lahan menetes, nafasku mulai sesak dan rasanya aku mulai menyalahkan nasib ang begitu sial hari ini.

Jika aku tidak dapat terlahir dengan semua kemudahan, setidaknya aku mohon pada Tuhan jangan mempersulit hidupku.

Aku mengganti pakaianku,membuang gaun yang kU beli dengan harga lima juta menghabiskan seluruh tabunganku dan hanya membawa sepatu hak tinggi berwarna hitam yang kini tengah patah.

Aku menghampiri ibu yang kini duduk dengan pandangan yang kosong.

"Bapak dimana BU? Sudah dioperasi?" Pertanyaanku membuat ibu menggeleng kepala pelan.

"Loh? Kenapa?"

"Butuh duit Nal"

"Berapa? Tiga ratus juta"

"Operasi apa semahal itu BU?"

"Katanya kepala bapakmu terbentur Nal, ada pendarahan di bagian kepalanya"

Ibu memandangi jauh dan sangat jauh. Dia seperti kehilangan jiwanya dan kemudian berbisik pelan.

"Mungkin sebaiknya kita harus merelakan bapakmu pergi"

Aroma kemiskinan yang membuatku menjerit. Hari itu aku tak berniat menangis, tapi airmatamu tumpah sudah.

"Nala yang akan bayar biayanya. Bapak harus dioperasi!" Tegas dan Toer dengar penuh kepastian. Aku yang berusia dua puluh tahun menandatangani surat jaminan dan kemudian aku meninggalkan ibu di ruang UGD sendirian. Paman dan bibi yang juga lepas tangan serta sanak saudara yang kami kenal seakan tak mengenal kami. Tak ada yang datang membantu, karena mereka pun sendiri sedang butuh bantuan.

Inilah aroma kemiskinan.

Aku berjalan menelepon seseorang yang kukenal dengan baik, pria kemayu yang kujadikan sahabat yang sangat menjagaku.

"Wawan lo dimana?"

"Lagi di luar ada bisnis"

"Sama siapa?"

"Rudi"

"Ngapain itu gigolo sama lo malam-malam begini?"

"Tau dia nih, kenapa?"

"SMS alamat lo, gue kesana"

"Oke beb"

Aku menatap alamat sebuah hotel yang terdengar akrab ditelinga dan kemudian segera meleset kesana. Hotel itu memang selalu kU sebutkan tapi tak berani kU datangi. Untuk apa kesana? Menghabiskan uang dtiga jutaan untuk satu malam bukan porsiku sebagai orang kecil.

Aku masuk ke lobi dan langsung menuju restoran dengan Jeans ketat sobek serta kaos oblong hitam. Menghampiri dua orang yang sedang berbicara akrab. Rudi adalah sepupu Wawan. Dunia gelap yang ingin dihindari Wawan, ia tak ingin jadi sama seperti saudara-saudaranya yang punya titel preman dan gigolo. Wawan ingin menjadi seorang Designer

Aku duduk disamping Rudi yang menatapku dari atas sampai ke bawah. Menilai penampilanku dan menatap lekat-lekat rambutku yang jatuh terjuntai lemas di pundak.

"WOi, jaga mata, gak usah Latin Nala begindang gue tusuk baru tau rasa" ucap Wawan menarik tanganku yang kini duduk Disampingnya.

"Bantuin gue Wan, gue punya hutang ke dia. Kalau gak ada malam ini habis gue, lagian dia bakalan bayar berapa pun kok" Rudi pria yang memiliki tato di tangan kiri kanannya itu kini mengepalkan jemarinya di atas meja.

"Minta tolong apa Wan?" Tanyaku pada Wawan yang membuang muka dan melipat tangan di dada.

"Itu kak Rudi punya hutang sama pengusaha, terus si pengusaha mau nyari perempuan buat dijadiin istri sementara"

"Maksudnya gimana?"

"Jadi dia mau kawin dan minta itu perempuan lahirkan anaknya, pokoknya begitu deh"

"Terus langsung cerai?" Tanyaku dengan nada penuh harap.

"Enggak, dia bakalan biayai istri sama anak di Indonesia sementara dia bakalan tinggal di Singapura. Selama tujuh tahun kemudian bakalan cerai. Setelah itu perempuan itu bebas. Kira-kira seperti itu" jawab Rudi.

"Dia kaya?"

"Searah aja di internet Biru Rhenadra, pria keturunan keraton yang sekarang stay di Singapura. Punya usaha di Jepang sama luar negeri begitu lah"

"Gue mau!"

Hari itu Wawan memukul kepalaku, membuatku sadar dan menatap mata ku yang kini mengemis.

"Mata lo Kenala! Jangan Liatin gue kayak gitu! Lo kayak orang miskin" Setengah berteriak Wawan pria yang kukenal sejak duduk di bangku SMP itu mengetuk-getuk meja dengan keras.

"Kita emang miskin Wan"

"Tapi kita bukan pengemis, lo mau apa dari itu pengusaha?! Lo tau apa akibatnya?! Lo bisa dipetik cowok tajir dengan cara baik-baik, dan kita masih dua puluh tahun"

"Gue butuh duit Wan, bokap gue harus dioperasi, dia ditabrak truk waktu naik becak. Bapak gue Wan"

Wawan tak setuju namun melihatku yang mirip seperti pengemis membuat hatinya luluh, jemarinya tergerak lurus ke depan sambil mengangguk.

"Lo tau kan apa sebutan buat orang yang jual virginnya?" Tanya Wawan padaku namun tak menatap ke arahku, ia memilih menatap ke arah kasir.

"Gue tahu, tapi kita masih sahabatan kan?" Pertanyaan yang menegaskan bahwa aku keberatan harus kehilangan sahabatku.

"Selamanya Nala. Lo sahabat gue" Wawan tersenyum sambil mengangguk dan menyeruput segelas jus jeruk sambil memejamkan mata membiarkan Rudi sepupunya itu membawa Kenala.