"Nduk, sudah sarapan belum? Kalau belum, kamu harus makan dulu sebelum berangkat!" Ibu berlalu dan berseru di depan kamarku sembari menyuapi adik-adik yang masih kecil.
Ibu memang biasa memanggilku dengan sebutan Nduk yang dalam bahasa Jawa berarti anak gadis, meski sebenarnya nama panggilanku adalah Hani sejak kecil. Jika ditanya lengkapnya siapa, Anjani Muthia Hanan jawabannya. Nama yang indah itu selalu membuat senyumku merekah. Ibu pernah bilang kalau nama Anjani artinya tekun, Muthia artinya pintar, dan Hanan artinya penuh kasih sayang. Ah, nama yang sederhana namun penuh makna dan bertabur doa.
Oh ya, aku lahir di Malang, 2 Mei 1975. Anak ketiga dari tujuh bersaudara. Jika diurutkan, kelahiran kami dimulai dari Kak Nila, Kak Irwan, aku, Indah, Mita, Yassir, dan Indra.
"Iya, aku sudah makan kok, ini mau berangkat," sahutku.
Aku keluar dari kamar tak lama kemudian. Melangkah dengan lunglai dan tak bergairah. Tubuhku masih terasa lemas karena baru pulih dari operasi sedot cairan paru-paru sepekan yang lalu. Penyakit Pneumonia yang sudah kuderita dua tahun lamanya semakin parah dan jika tidak dilakukan operasi akan semakin fatal nantinya. Namun, walau belum sehat total, mau tidak mau aku tetap harus masuk sekolah karena pekan ospek yang diadakan oleh SMAN 3 Malang akan dimulai hari ini. Lagipula kesehatanku sudah perlahan berangsur membaik meski belum benar-benar pulih.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.14 pagi, yang artinya aku sudah terlalu terlambat untuk datang karena sekolahku berjarak cukup jauh dari rumah. Ditambah aku harus menaiki angkot untuk pergi ke sana.
Tidak ada sepeda motor untuk kugunakan setiap pergi-pulang, apalagi antar jemput mobil pribadi seperti dulu. Sejak kelas 2 SMP, aku harus menaiki becak dan angkot setiap hendak pergi ke luar rumah. Juga dengan tubuh yang tidak fit seperti saat ini, aku tidak bisa berlarian untuk mengejar waktu secepat-cepatnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Setidaknya aku sudah mengusahakan sekuat yang kubisa. Terlambat datang masih lebih baik daripada tidak sama sekali.
Kukenakan sepatu pantofel dengan rapi sebelum pergi. Rambutku yang panjang dan keriting kubiarkan tergerai seperti biasa. Ibu hanya mengantarku pergi sampai ke depan pintu rumah. Kedua lenganku merapatkan kembali kardigan berwarna mocca yang kukenakan di atas balutan seragam agar tubuhku tetap hangat di dalamnya.
"Hani pamit ya, Bu. Assalamu'alaikum," ucapku sembari mencium tangan Ibu. Suaraku terdengar lemah. Tangan Ibu yang satu lagi mengelus pundakku dengan lembut.
"Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan ya, Nduk. Kalau nanti nggak kuat bilang aja ke kakak kelasmu, jangan dipaksakan."
"Iya..." jawabku. "Dah, Ibu."
"Dah."
Kami saling melambaikan tangan. Aku mengulum senyum yang lebar kepada Ibu sebelum benar-benar pergi dari rumah, lantas menghela napas panjang saat menutup pagar.
"Eh, Mbak Hani. Saya kira nggak jadi berangkat, soalnya saya tunggu kok Mbak Hani gak keluar-keluar dari rumah. Berangkat sekarang, ya," sebuah suara yang tak asing menyambutku.
Aku mengangkat kepalaku yang tadinya menunduk. Rupanya Pak Adi––tukang becak yang sudah menjadi langgananku sejak kelas 2 SMP––sudah lama menunggu di depan. Melihatku berjalan semakin mendekat ke becaknya, Pak Adi menegakkan punggung dan bersiap mengantarku menuju halte yang terletak di persimpangan antara gang sempit ini dengan jalan raya seperti biasa. Becak Pak Adi pun melaju pelan.
"Mbak Hani lagi sakit, ya? Kok saya perhatikan mukanya pucet gitu."
"Iya, Pak. Hehehe."
"Semoga cepet sembuh, ya, Mbak."
"Aamiin. Makasih, Pak Adi."
"Sama-sama."
Percakapan tak berlanjut. Aku melamun sembari mengatur napasku yang masih terasa berat. Menyemangati diri sendiri yang lukanya belum sembuh baik jiwa maupun raganya. Pikiranku kosong, setiap hari yang kupikirkan selalu tentang Ibu dan nasib kami semua di hari esok. Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Semuanya benar-benar hancur. Cukup panjang untuk diceritakan dan cukup sakit untuk dikenang.
Lamunanku terpecah oleh suara bising kendaraan bermotor yang mulai mengusikku di jalan raya. Sesampai di halte, kulihat masih ada angkot yang tujuannya mengarah ke sekolahku dan menyisakan satu kursi kosong sebelum benar-benar berangkat.
Aku cepat-cepat berterima kasih dan berpamitan pada Pak Adi, segera naik ke dalam angkot dan menduduki tempat kosong itu. Semenit kemudian, angkot ini segera bergabung dengan lautan kendaraan yang bersahut-sahutan di jalan raya.
Sepanjang perjalanan, tentu saja aku melamun lagi. Namun tanpa sengaja, aku mendengar gadis kecil yang ada di sampingku sedang berceloteh lucu kepada ibunya.
"Mama, Mama. Itu apa?"
Sang Mama tersenyum. "Itu namanya pohon."
"Pohon itu apa?"
"Pohon itu... tumbuhan yang bisa menghasilkan udara bersih, jadi Rara bisa bernapas dengan baik seperti sekarang! Pohon itu... salah satu ciptaan Allah. Harus kita sayang dan kita rawat biar pohonnya enggak rusak."
"Ooh, Allah baik banget ya, Mama! Bisa menciptakan banyak hal! Kemarin sore waktu Rara mengaji, Ustadz Ridwan juga cerita banyak tentang Allah."
"Iya dong... Allah itu Maha Baik."
Sang Mama menciumi gemas putri kecil yang ada di pangkuannya itu. Aku tersenyum kecil memperhatikan percakapan mereka. Menggemaskan sekali.
Aku jadi nostalgia dengan masa-masa SMP-ku saat mengaji di Pondok Pesantren Hidayatullah setiap sore. Pun jadi teringat pada Ibu, yang dulu juga suka menceritakan kepadaku mengenai banyak hal. Salah satunya tentang siapa Allah dan bagaimana caraku untuk beribadah kepada-Nya dengan baik.
Bicara tentang Ibu, sejak aku masih kecil beliau selalu mengajarkanku tentang bagaimana seharusnya perilaku seorang wanita muslimah yang baik, yaitu selalu taat kepada Allah dan kedua orangtua, selalu berbuat baik dan menyayangi sesama, juga ikhlas membantu siapapun yang sedang membutuhkan. Gambaran seorang ibu yang ingin anaknya memiliki sifat-sifat terpuji agar memiliki masa depan yang baik.
"Ingat, Nduk, Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Perjalanan hidup kita itu Allah yang mengatur, tidak ada seorang manusia pun yang bisa melawan takdir Allah. Hidup, mati, rezeki, jodoh... Semuanya Allah yang menentukan. Kita ini seperti wayang yang menjalani perannya masing-masing sesuai dengan lakon sang dalang. Baik-buruknya lakon kita yang nanti akan menuntun jalan cerita kita untuk berakhir seperti apa. Karena, apa yang kita alami nantinya adalah hasil dari amal perbuatan kita sendiri. Jadi, kita harus berusaha untuk selalu berbuat baik!" Masih teringat jelas nasihat Ibu di mobil sewaktu dulu menemaniku berangkat mengaji.
Ibu sangat berperan dalam mendidik anak-anaknya agar menguasai ilmu agama. Terutama belajar membaca Alquran sejak sebelum memasuki TK. Banyak orangtua dan guru yang kagum padaku, di saat teman-teman lain masih belajar membaca Iqra' semasa awal memasuki SD, aku justru sudah lancar membaca Alquran hingga khatam dan mulai menghafalkan surat-surat pendek juz 30.
Semua pun bertanya kepada Ibu, bagaimana mungkin gadis seusiaku sudah bisa membaca dan menghafalkan Alquran dengan sangat baik? Kalau sudah begitu Ibu akan tersenyum bangga dan cuma bilang, "Yang saya lakukan setiap hari di rumah adalah mengajak anak-anak rajin shalat dan mengaji." Begitu singkat Ibu memberitahukan rahasianya dalam mendidik anak kepada mereka.
Ibu memang sangat disiplin dalam membiasakan anak-anaknya menjalankan ibadah shalat dan mengaji. Bahkan ketika puasa Ramadhan, aku sudah mengikuti Ibu untuk puasa penuh saat baru saja masuk SD. Itulah sebabnya mengapa putra putri beliau sangat taat dan menghormatinya. Karena, Ibu seperti malaikat bagi kami, menjadi panutan dalam melakukan kebaikan.
Sedangkan Ayah, beliau adalah seorang kepala hakim di pengadilan tempatnya bekerja. Jarang sekali pulang dan berkumpul dengan keluarga di rumah. Ayah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk pekerjaan, hingga kami sudah terbiasa menikmati hari-hari di rumah tanpanya.
Ayah adalah orang yang baik, penyayang, tanggung jawab, dan lucu bila sedang bergurau atau mengajak keluarganya berlibur. Tapi, terkadang Ayah mempunyai sifat buruk yang sangat kubenci. Ayah memiliki sifat pemarah dan terlalu keras dalam mendidik anak. Beliau selalu menghukum dengan kekerasan bila anak dan istrinya melakukan kesalahan. Tidak hanya dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya, tapi juga dengan pukulan yang menyakiti tubuh kami menggunakan tangan, sapu, atau benda apapun yang berada di dekatnya.
Pernah aku menangis meminta ampun, tapi pukulan itu terus kurasakan menyakitiku sampai Ibu datang menyelamatkanku. Padahal hanya karena kenakalan seorang anak kecil yang bertengkar akibat berebut mainan dengan sang adik hingga membuatnya berteriak. Namun, dengan emosinya Ayah memukuliku hingga meninggalkan luka memar.
Ada satu hal yang membuat rasa cintaku kepada Ayah seketika berubah menjadi benci: pengkhianatan. Sudah setahun berlalu sejak Ayah pergi begitu saja meninggalkan kami. Menelantarkan kami. Ia lebih memilih bersama dengan perempuan lain daripada keluarga yang masih membutuhkan kasih sayangnya.
Saat itu, aku masih menginjak kelas 2 SMP. Mita dan Yassir masih sebaya balita berusia dua dan satu setengah tahun. Bahkan Indra, masih menjadi jabang bayi yang belum lahir dan tak sempat merasakan pelukan hangat seorang ayah. Belum lagi dengan Kak Nila yang sudah menikah dan boyong jauh ke Pulau Madura, tak lagi terdengar kabarnya sejak tinggal bersama suaminya di sana. Juga Kak Irwan yang mulai jarang berada di rumah dan entah masih tak jelas pekerjaannya apa.
Sudah bisa tertebak kelanjutan ceritanya kemudian: keadaan memposisikan aku sebagai kakak tertua di antara adik-adik yang masih kecil saat itu. Mau tak mau, aku harus membantu Ibu mencari uang dan menyekolahkan adik-adik.
Angkot yang kunaiki mulai melewati kompleks Pondok Blimbing Indah, salah satu kompleks perumahan elite di Malang yang dulu pernah kami tempati sebagai keluarga bahagia. Sebelum semuanya hancur berantakan seperti sekarang. Sebelum akhirnya Ibu harus menjual rumah dan banyak barang milik kami demi bertahan hidup hingga sekarang.
Sejak dua minggu setelah pernikahan kedua itu, Ayah mulai jarang menafkahi kami. Ia justru pergi jauh dan tinggal di Jakarta besama istrinya yang baru. Pensiun dini dari pekerjaannya dan membuka bisnis di Jakarta. Dan, ya, kami akhirnya pindah ke rumah yang amat sangat sederhana dan terletak di sepanjang gang sempit itu. Rumah yang kami tempati saat ini.
Sungguh kenangan buruk yang membuatku semakin merasa benci kala mengingat Ayah. Hatiku semakin teriris karena harus mengenang masa-masa menyakitkan itu lagi.
Dulu, seorang Anjani Muthia Hanan sungguh gambaran seorang gadis yang menyenangkan. Semua yang kumiliki terlihat begitu sempurna. Dulu aku benar-benar menikmati hidup karena aku mempunyai segalanya.
Kehidupan yang diimpikan banyak orang. Kaya raya, terlihat bahagia, dan mempunyai banyak prestasi yang membanggakan. Keluarga yang terhormat. Sekolah favorit. Fasilitas hidup yang lengkap dan memuaskan. Temanku juga sangat banyak, terutama dari kalangan orang-orang kaya.
Semua itu begitu sempurna hingga suatu ketika, aku tidak sengaja mendengar pertengkaran hebat antara Ibu dan Ayah ketika baru saja pulang dari sekolah. Entah masalah apa yang sedang terjadi, namun tiba-tiba aku merasa bagai disambar petir di siang bolong mendengar Ibu menangis sedih dan memohon kepada Ayah agar mengurungkan niatnya untuk menikah lagi. Ibu tidak mau dipoligami. Lebih baik bercerai jika Ayah tetap memaksa menduakannya.
"Tanpa izinmu, aku akan tetap menikah dengan Nara. Terserah apapun keputusanmu, aku tidak akan menolak. Tapi, pikirkan baik-baik kalau kamu minta kuceraikan! Kamu akan kehilangan segalanya. Siapapun yang minta cerai harus pergi dari rumah ini tanpa membawa apapun!" bentak Ayah yang tetap bersikukuh pada pilihannya.
Ya Allah, Gustiku yang Maha Agung... Apa yang sedang terjadi? Aku tak sanggup membayangkan hari-hari berikutnya jika keluargaku hancur berantakan. Mengapa Ayah tega menyakiti Ibu? Apa salah Ibu hingga Ayah berpaling hati kepada perempuan lain? Padahal yang aku tahu, Ayah adalah seorang yang baik dan sangat menyayangi keluarganya. Mengapa tiba-tiba Ayah berubah?, pikirku.
Saat itu, kehebatan dan kebaikan Ayah yang selama ini aku kagumi seketika runtuh, membuatku merasa kecewa dan sangat membencinya. Sejak kutahu bahwa Ayah telah selingkuh, aku menilai Ayah jahat dan berkhianat.
Pernyataan Ayah kepada Ibu siang itu membuat air mataku berjatuhan tak terkira. Aku menjerit sedih dalam hati. Mengapa ini harus terjadi? Keadaan dan suasana rumah yang semula indah kini berubah panas seperti neraka. Karena sejak saat itu, kedua orangtuaku jadi lebih sering bertengkar dari biasanya.
Aku tak tahan mendengar Ibu menangis. Aku ingin marah kepada Ayah tapi aku tak sanggup untuk bicara. Aku hanya bisa menangisi kesedihan ini dalam dekapan sunyi. Seakan aku belum siap menyaksikan kebahagiaan keluargaku yang harus berhenti sampai di sini. Aku masih ingin lebih lama lagi menikmati kasih sayang kedua orangtuaku. Aku tak mau keluargaku hancur berantakan.
Sejak Ayah menikah lagi, Ibu jadi sering mengurung diri di dalam kamar. Tak peduli lagi denganku dan anaknya yang lain. Tidak perhatian lagi seperti dulu. Kami seperti hidup sendiri tanpa Ayah dan Ibu, karena Ayah semakin jarang pulang dan Ibu lebih asyik menangis tersedu kala menyendiri.
Kami hanya ditemani para pembantu yang melayani kebutuhan kami. Tak ada lagi kasih sayang dari kedua orangtua kami. Bahkan perlahan-lahan, Ibu terpaksa memberhentikan supir pribadi dan para pembantu rumah tangga karena tak mampu lagi memberikan upah kepada mereka. Kami semakin kesepian dan hilang arah tanpa pengawasan.
Aku yang dulunya menjadi murid berprestasi di sekolah, tak lagi menggaet peringkat satu di setiap semesternya. Paling kuat hanya mampu menempati peringkat dua hingga lulus dari sekolah. Semangatku hancur. Tujuan hidupku mulai kabur tak menentu. Fokusku terpecah karena aku harus membantu Ibu berjualan es lilin setiap hari sebagai satu-satunya pemasukan uang di keluarga kami.
Kondisi tubuhku juga tidak memungkinkan, kian hari semakin melemah karena terlalu kelelahan. Membuatku mulai sering tak masuk sekolah dan banyak tertinggal pelajaran.
Awalnya, aku hampir terhanyut seperti Kak Irwan yang dulunya berakhlak baik namun kini berubah menjadi pecinta kebebasan dan suka keluyuran ke luar rumah entah ke mana. Juga mulai suka memberontak dan menyulitkan Ibu akibat narkoba dan dunia malamnya.
Sampai akhirnya aku tersadar, aku harus bangkit dan menyibukkan diri ke dalam kegiatan yang positif agar tak larut pada hal-hal negatif seperti narkoba, rokok, dunia malam, dan lain-lain.
Aku tidak boleh menyerah dengan keadaan. Anjani Muthia Hanan harus kuat, tak boleh semakin membuat Ibu bersedih lebih jauh lagi. Aku harus ada di sisi Ibu selamanya. Menjadi bunga yang menghapuskan kesedihannya dan membuatnya kembali tersenyum dengan bangga.
Meski tak lagi mampu mengejar peringkat pertama di kelas, aku harus tetap mampu masuk ke SMAN favorit karena hanya di sanalah satu-satunya tempat yang tidak terlalu merogoh kocek untuk biaya sekolah. Kelak di sana pun aku bertekad untuk kembali bersemangat mengejar banyak prestasi.
Jadwal sehari-hariku akhirnya menjadi lebih sibuk. Sejak Ibu harus berjualan es lilin setiap hari, aku harus bangun sebelum subuh dan berangkat pagi-pagi kala matahari baru terbit, membawa dua termos besar berisikan es lilin yang nantinya kutitipkan di kantin sekolah.
Sepulang sekolah tepat di pukul 2 siang, aku harus bergegas mengganti baju dan mengisi waktu kosong sebagai relawan guru mengaji di sebuah TPQ hingga pukul 4 sore, lalu bersiap menuju Pondok Pesantren Hidayatullah untuk mengkaji Alquran dan kitab kuning hingga pukul 9 malam.
Setelah akhirnya pulang ke rumah, aku harus segera mandi, makan malam, belajar, dan menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Lantas yang terakhir, aku akan membantu Ibu membungkus es lilin yang hendak dijual besok hingga pukul 2 pagi. Barulah aku sempat tidur malam itu.
Kegiatan-kegiatan yang menyibukkan hariku itu terus berlangsung hingga saat ini. Bedanya, kini aku tidak lagi mengajar anak-anak kecil mengaji di TPQ, namun menjadi pengajar bimbel murid-murid SMP seputar pelajaran Matematika dan IPA. Meski begitu, terkadang masih ada beberapa wali murid yang ingin agar aku tetap melanjutkan bimbingan mengaji anaknya di rumah.
Rutinitas sepadat itulah yang membuatku akhirnya mengidap penyakit Pneumonia cukup parah karena kurang tidur dan terlalu sering terkena udara malam yang dingin berembun.
Namun syukurlah, di sisi lain, berkat mengendalikan diri sendiri dan menyibukkan diri dalam kegiatan yang positif, di sinilah aku sekarang bersekolah, SMAN 3 Malang yang merupakan SMAN favorit nomor satu di Malang. Aku berhasil masuk ke sana melalui jalur undangan karena berhasil mendapatkan nilai UN tertinggi di sekolah.
Ya, semenderita itulah hidupku semenjak Ayah pergi begitu jauh. Kutatap langit-langit angkot untuk menahan air mata yang mulai merebak. Mulai besok, aku tidak akan sudi menoleh ke perumahan itu lagi setiap berangkat ke sekolah.
"Kiri, Pak," ujarku setelah menyadari bahwa angkot ini sudah hampir sampai di depan sekolah.
Setelah membayar ongkos naik, aku menghampiri seorang guru yang berjaga di dekat pagar dan mengutarakan alasan keterlambatanku yaitu karena sakit. Beliau membukakan pagar dan mempersilakanku untuk langsung menemui panitia osis yang kini sedang berada di lapangan.
***
Aku menghampiri gerombolan panitia osis beralmamater merah marun yang kini memandangiku dari kepala hingga kaki dengan tatapan sinis. Namun, mataku tak sengaja beradu tatap dengan salah satu dari mereka yang memasang ekspresi paling berbeda. Cuma cowok itu yang tersenyum dan memandangku dengan tatapan penuh kelembutan. Aku sempat merasa salah tingkah dan membuang pandangan ke arah lain.
"Wah wah, ada yang baru dateng nih. Sudah jam berapa ini?! Kenapa baru dateng kamu, hah? Kesiangan?!" sentak salah seorang yang paling menonjol di antara mereka. Aku terkejut dan memalingkan tatapanku kepadanya. Dia cowok yang tinggi, dan dari nametag yang ada di almamaternya aku mengetahui bahwa ia bernama Reza.
Aku hanya terdiam menelan ludah sendiri ketika ia menudingkan jemari pada jam di tangannya yang menunjukkan pukul 8.03.
"Udah jam 8, woi! Gak punya jam ya, di rumah?!" cecarnya lagi.
"M-maaf, Kak."
Kak Reza mendengus kasar. "Maaf? MAAF KAMU BILANG?"
Seorang yang lain, perempuan dengan rambut panjang dikuncir kuda yang duduk tak jauh di belakangnya, mengomporinya dengan nada angkuh dan penuh provokasi. "Hukum, Rez, hukum! Jangan kasih ampun! Kita-kita dari sebelum Subuh udah repot-repot dateng buat nyiapin semuanya, eh dia enak banget tiba-tiba dateng jam segini!"
Kubaca sekilas namanya. Alika. Tubuhku berkeringat dingin karena ketakutan, khawatir mendapatkan hukuman yang terlalu berat mengingat aku sedang dalam proses pemulihan.
"Anu, Kak... S-sebenarnya, saya datang terlambat... k-karena sedang sakit. Saya minta maaf," ujarku terbata-bata, memohon pada Kak Reza dengan tatapan memelas.
Kak Alika terkekeh. "Halaaah, alasan tuh! Paling cuma pura-pura sakit biar ga kita hukum!"
Aku mematung dan menundukkan kepala. Berharap Kak Reza memberikan keringanan padaku, namun nyatanya yang terjadi adalah sebaliknya.
Kak Reza menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Saya sebagai ketua osis tidak bisa menerima keterlambatanmu dengan alasan apapun itu! Apalagi kalau alasannya cuma pura-pura!"
"Tapi, Kak—"
"Sudah! Sekarang saya mau kamu lari muterin lapangan ini tiga kali kalau kamu pengen gabung sama temenmu yang lain! Gak ada tapi-tapian!" perintah Kak Reza dengan memasang tampang galak.
Aku menghela napas dengan pasrah. Kuletakkan sembarang tasku di dekat salah satu pohon dan mulai berlari dengan sangat terengah-engah. Aku sempat berlalu di depan senior cowok yang tadi beradu tatap sepersekian detik denganku.
Setengah putaran, langkahku mulai memelan dan memilih untuk berjalan biasa demi menenangkan napasku yang sudah kacau tak karuan. Benar-benar sesak rasanya di dalam sana. Dadaku berdenyut sakit, membuatku meringis kesakitan dan mengelus bekas jahitan di kanan-kiri tulang rusuk secara perlahan.
"Heh! Lari macem apaan, tuh? Yang bener! Gak boleh jalan!" teriak Kak Alika yang mengawasi dari jauh.
Aku menahan tangis. Kulanjutkan lagi derap langkahku agar kembali berlari. Kuatkan dirimu, Hani, kuatkan saja... gumamku dalam hati.
Namun, baru sampai di satu putaran, dadaku semakin sakit. Napasku benar-benar sesak. Darah segar tiba-tiba mengalir keluar dari kedua lubang hidung dan bekas jahitanku hingga membuat seragam putih yang kukenakan ternodai bercak-bercak merah.
Kini langkahku benar-benar terhenti karena tak kuat lagi melanjutkan hukumannya. Pandanganku seketika berpendar-pendar ungu dan kemudian hitam gelap. Kepalaku juga terasa sangat sakit. Tubuhku menyusul ambruk seketika. Yang terakhir kudengar hanya teriakan panik seorang laki-laki yang berlarian cepat seraya memanggil Kak Reza dan kawan-kawannya.
"REZA! DIA PINGSAN!"
Sedetik kemudian, aku tak mampu mengingat apa-apa lagi.