Tragedi Adalah Doa Bagi Mereka P.1
Sekitar pukul 9 malam pulang dari rumah saudara. Sepeda yang ku kayuh terasa semakin berat. Ku berhenti sebentar memeriksa ban siapa tau kempes. Di pinggir jalan sepi hanya ada satu warung, pemiliknya melambai ke arahku memberi isyarat untuk menghampirinya.
Ku tuntun sepedaku dan kemudian bersalaman dengan si pemilik warung. Pak Sukir namanya. Sudah puluhan tahun tinggal tak jauh dari warung miliknya. Pak Sukir menawariku es teh manis gratis, kemudian menyuruhku duduk sebentar.
Ku minum setengah gelas es teh manis dan bertanya kenapa Pak Sukir memanggilku. Pak Sukir yang awalnya tersenyum ramah menjadi ketakutan. Mimik wajahnya seolah berkata ada yang tidak beres. Dahiku mengkerut memperhatikan wajah Pak Sukir.
Pak Sukir kemudian duduk disebelahku. Dengan pelan seperti berbisik Pak Sukir berkata untuk berputar arah ke jalan raya saja. Aku masih bingung dengan ucapan Pak Sukir. Pak Sukir seperti paham gelagatku kemudian menjelaskan bahwa jalan pintas yang akan ku lewati tidak aman untuk dilewati sendirian di jam malam seperti ini.
Kata Pak Sukir, jembatan yang ada di ujung jalan merupakan jembatan keramat. Aku melihat ke sekeliling jalan dan melihat jembatan kecil diseberang jalan. Terlihat kokoh berdiri dan juga banyak penerangan disana.
Pak Sukir kembali berbicara. Beliau berkata untuk jangan coba-coba melewati jembatan itu sendirian di tengah malam. Karena sudah banyak korban berjatuhan di jembatan tersebut. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Ku minum es teh tadi sampai habis kemudian berpamitan pada Pak Sukir.
Kembali ku cek ban sepedaku. Ternyata memang kempes. Aku berbalik bertanya kepada Pak Sukir tempat tambal ban terdekat. Sejenak Pak Sukir diam kemudian berkata kalo tempat tambal ban ada di seberang jembatan itu. Pak Sukir kembali menyarankan untuk menuntun sepeda sampai ke jalan raya untuk menemukan tukang tambal ban lain. Kemudian Pak Sukir pamit pulang mendorong gerobaknya ke gang kecil.
Ku perhatikan lagi jembatan keramat itu, tak terlihat menakutkan dari kejauhan. Kemudian kuputuskan untuk melewati jembatan itu dengan menuntun sepedaku di samping kanan.
Samar terdengar suara lirih meminta tolong. Ku mencari sumber suara namun jalanan terlihat sepi. Ku lanjutkan berjalan ke arah jembatan. Perlahan rasanya suhu disekitarku naik dan terasa gerah dan panas. Sepeda yang ku tuntun terasa semakin berat. Kuberanikan diri untuk menatap lurus ke depan dan mempercepat langkah kakiku. Keringatku mulai terasa di bagian dahi dan tiba-tiba seperti ada yang meniup telingaku bagian kiri.
Sontak aku kaget dan berteriak. Ku lafalkan istighfar berkali-kali dan tetap menatap lurus kedepan sampai akhirnya kulewati jembatan keramat itu. Kulihat bengkel tambal ban masih ramai orang-orang yang nongkrong dan bermain kartu. Ku hampiri bengkel tersebut.
Sembari menunggu ban ditembel aku membeli beberapa gorengan dan es teh. Salah satu orang tua yang bermain kartu menegurku, memuji keberanianku melewati jembatan keramat itu sendirian. Beberapa dari mereka bersautan berkata untuk berhati-hati jika ada penghuni jembatan yang ikut pulang bersamaku sambil tertawa. Aku hanya tersenyum dan duduk di bangku rawung sebelah bengkel itu.
Setengah jam menunggu akhirnya sepedaku selesai dikerjakan. Ku berpamitan kepada para bapak yang bermain kartu dan membayar cemilan, es teh dan jasa tambal ban. Kemudian aku kembali bersepeda menuju jalan pulang...