Sejak tadi yang dilakukan Axel hanya berdiam diri didepan ruang periksa. Entah kenapa pemeriksaan Valerie tak kunjung selesai. Padahal kata suster yang berjaga tadi penanganannya tak sampai memakan waktu 30 menit. Sesekali Axel melirik kearah jam tangan yang melingkar ditangannya. Waktu bahkan sudah berlalu hingga 2 jam lamanya.
"Apa dia sudah selesai?" Tanya Axel sembari mengintip dari kaca yang ada di pintu.
Tiba - tiba saja dia dikejutkan dengan seseorang yang berlari kencang menuju kearahnya. Langkah kaki itu bahkan menyeruak disepanjang lorong.
'Aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat... mungkinkah di rumah sakit saat aku mengunjungi Roey waktu itu?? Apa dia seorang dokter?' Batin Roey
Awalnya Axel menggeser langkahnya agar pria itu bisa mendapatkan jalan yang lebih longgar. Bisa jadi pasien yang dirawat diujung lorong ini sedang terjadi apa apa bukan? Tapi anehnya pria itu justru memasuki ruangan yang sedang ditempati oleh Valerie.
'A-apa dia sekarat?' Pikir Axel
Tanpa basa basi lagi, aku langsung membuka pintu yang sama dengan cara yang sama, membantingnya dengan sangat keras. Mataku menelisik kepenjuru ruangan dan melihatnya sedang berbaring dikasur ditemani oleh pria yang baru saja masuk tadi. Tak jauh dari tempat mereka, ada pula seorang dokter yang sedang duduk dikursi miliknya.
"A-axel?" Panggilnya pelan
Semua orang memandangku dengan tatapan aneh. Apa aku bertingkah terlalu berlebihan?
"K-kau baik baik saja?" Tanyaku kikuk
Dia menganggukkan kepalanya. "Sebentar lagi aku selesai" ucapnya
"Benarkah? Akan kutunggu kau diluar" kataku kemudian langsung menutup kembali pintu ini.
Malu? Tentu saja aku malu. Aku tak pernah melakukan hal hal seperti kni pada siapapun. Maksudku aku tak pernah mencemaskan seseorang, aku tak pernah menunggu seseorang hingga berjam jam, pembawaanku juga selalu tenang dan berwibawa. Lalu kenapa jadi berubah seperti ini?
Aish!! Sadarlah Axel!! Kau harus kembali menjadi dirimu yang biasanya. Kejam dan dingin. Itulah dirimu. Bahkan saat bersama Alice pun aku tak pernah begini, meskipun pernah hanya satu atau dua kali aku melakukannya. Tapi kenapa jika bersama dengan gadis ini pikiranku selalu tidak tenang? Rasanya selalu ada yang harus dicemaskan. Keinginan untuk menjaganya sepanjang waktu padahal aku tidak terlalu mengenalnya. Apa ini perasaan yang wajar?
* * *
"Siapa dia?" Tanya Dokter David padaku.
"T-temanku?" Jawabku asal.
"Kau punya teman??" Sahutnya terkejut.
"Tentu saja.. memangnya kenapa kalau aku punya teman, huh? Kau iri padaku ya?" Kataku dengan nada yang keras. Entah kenapa aku sedikit sensitif jika ngobrol bersama Dokter yang satu ini.
"Kau punya teman yang aneh" cibir Dokter David
Cih.. kau pikir kau sendiri tidak aneh? Batinku.
"Temanmu terlihat tidak asing. Apa aku mengenalnya?" Kini giliran Dokter Liam yang menyahuti
Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus kujelaskan pada Dokter Liam?
"Kau tidak perlu tau dokter... yang jelas dia temanku, dan dia orang yang baik. Baiklah.. pemeriksaan ini sudah selesaikan? Biarkan aku pulang, oke??"
Perlahan aku menurunkan kakiku dari atas kasur. Berjalan mengambil tas ku yang berada di atas meja milik Dokter David, kemudian pergi.
"Oh iya, hampir saja lupa.. dokter Liam, kejadian ini tolong jangan beritahukan ini pada Bryan ya?" Ucapku sebelum benar - benar pergi dari ruangan ini.
Dokter Liam mengangguk sebagai pernyataan setuju atas apa yang aku bicarakan. Uh lihat tampang polosnya, sangat imut. Kenapa ya dia tidak menikah saja dengan suster Anna? Mereka kan sangat cocok.
Diluar, Axel langsung berdiri dari duduknya dan menghampiriku. "Kau baik baik saja?" Tanya nya.
"Ya" jawabku
"Apakah ada yang terluka?" Dia kembali bertanya.
Aku pun menunjukkan tanganku yang dibalut dengan kain putih ini. "Pergelangan tanganku retak"
"Oh shit! Dasar si brengsek itu" ia menggerutu pelan, tapi aku masih bisa mendengar suaranya dengan jelas.
"Ahahaha.. kenapa kau terlihat kesal begitu?" Tanyaku sambil tertawa ringan.
Ini pertama kalinya aku melihat Axel memasang wajah seperti itu. Dia lucu, terlihat seperti bocah. Tampilan luarnya saja yang terlihat dewasa, sok sokan pasang wajah datar dan acuh tak acuh pada semua orang. Aslinya, dia begitu perhatian dan hangat. Dia memang tak menunjukkannya didepanku atau orang lain tapi aku bisa melihatnya.
Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan berbagai macam tatapan orang. Hanya dengan tatapan mereka saja aku bisa mengetahui isi hati dan pikiran mereka. Mengasihani, bersimpati, prihatin, bahkan kesal. Kebanyakan dari mereka memikirkan itu ketika mengetahui jika aku punya penyakit mematikan ini. Itulah alasan aku tidak suka jika bryan atau siapapun mengumbarnya. Mereka akan mengasihaniku dan aku tidak suka itu. Aku tak perlu dikasihani oleh siapapun, toh mereka hanya membicarakannya sampai mulut, dalam hati mereka pasti berbeda.
Saat aku melihat Axel, aku sudah tau jika dia adalah seseorang yang baik. Aku sudah bisa membaca isi hatinya sejak pertama kali bertemu. Itulah kenapa aku langsung menerima permintaannya tanpa alasan apapun. Hanya saja, ada sesuatu yang membuatnya berubah dan aku tidak tahu apa itu.
Aku tidak mungkin bertanya langsung padanya karena itu mungkin melanggar hak privasinya kan? Aku pun juga tak begitu suka mencampuri urusan orang lain.
"Kenapa kau tertawa?" Ucapnya tak suka
"Benar juga.. kenapa aku tertawa ya? Hahaha" sahutku berpura pura
"Kuantar kau pulang" setelah mengatakan itu, dia langsung berjalan kedepan, meninggalkanku seperti biasa.
"Kita tidak jadi bertemu dengan ayahmu?" Tanyaku sambil berlari mengejar langkahnya
"Kita lakukan besok saat kau sudah sembuh"
"Baiklah"
* * * * *
Hari berganti. Malam yang panjang pun terlewati seperti biasa. Dikasurnya, Valerie merengkuh panjang sembari meregangkan otot ototnya. Matanya perlahan terbuka dan memandangi area di sekitar kamarnya.
"Selamat pagi" , hal yang biasa diucapkan setiap hari setelah bangun tidur.
Perlahan ia turun dari kasur dan berjalan kearah balkon. "Emm... Kenapa mataharinya sudah berada di atas. Apa aku kesiangan?" Pikirnya
Sekilas ia menatap jam dinding di kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang. "Oh sial!!" Pekiknya
Segera ia berlari menuruni tangga dan menuju ruang makan. Tapi setelah sampai ke lantai bawah, suasana begitu hening.
Kemana perginya semua orang?
"Nona sudah bangun?" Ucap Bibi May yang muncul dari balik tembok
"Kemana perginya semua orang, bi?"
"Papa dan mama nona sedang pergi keluar kota, perjalanan bisnis. Mereka menelpon tengah malam, saat nona sudah tidur" jawab bibi May
"Perjalanan bisnis?? Emm lalu yang lain?"
Bibi May hanya tersenyum. "Siapa lagi yang nona cari? Penghuni rumah ini kan hanya ada itu" jawabnya
"Ah benar.. maaf aku lupa hahaha. Kalau para pegawai yang lain??"
"Kemarin tuan Bryan datang dan dia meliburkan sebagian pegawai yang bekerja. Aku masih ingat ketika dia bilang pada kami jika kami harus memikirkan rumah dan keluarga, waktu sangat berharga.. tak semuanya harus dihabiskan dengan bekerja hahaha" sahut bibi May
"Oh iya, silahkan duduk dan sarapan nona.. semuanya sudah bibi sediakan diatas meja" lanjutnya
"Ishh.. sudahku bilang aku tidak suka panggilan nona, bi.. aku lebih suka jika bibi May memanggilku dengan sebutan Val atau Valey. Itu lebih nyaman didengar. Lagi pula bibi sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri tau"
"Eii.. mana boleh begitu" pekik bibi May
"Tentu saja boleh bi.. padahal aku sudah bilang berkali kali pada bibi.."
"Maaf, bibi lupa haha. Mulai sekarang bibi akan memanggilmu dengan sebutan Val" ucap bibi May sembari tersenyum
Valerie pun ikut tersenyum. Ia kemudian duduk dimeja makan dan memakan sarapannya. Sedangkan bibi May kembali kepekerjaannya.
"sudah agak menindingan" ucapnya sambil memandangi pergelangan tangannya yang masih terbalut.
Tapi tiba tiba saja Valerie jadi teringat dengan bibi penjual yang waktu itu. mungkinkah orang itu sungguh seorang peramal?