'Padahal tuan Nick tidak harus seperti itu. Membuatku merasa tidak enak' batinnya
"Tapi kau sangat menggiurkan.." ucap Valerie dengan mata terfokus memandang makanan didepannya. Brownis cokelat dengan lapisan whipcream ditambah chocochip dan juga cherry sebagai hiasannya.
Baru saja ia mau menyantap makanan itu, seseorang menghentikan aktivitasnya.
Seorang wanita dengan pakaian casual berdiri tepat didepannya.
"Ada yang bisa kubantu?" Tawar Valerie
"Semua meja penuh. Apakah aku boleh bergabung disini, nona?" Katanya
"B-bergabung? Tentu, silahkan duduk. . ."
"Ngomong ngomong, Apa kau sendirian nona?" Tanya Valerie kikuk. Kalau orang ini datang bersama teman temannya dan bergabung dimeja ini bersama, bukankah justru Valerie yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka?
"Aku sedang menunggu seseorang. Dia sedang ada urusan pekerjaan disana. Aku tidak mungkin ikut bergabung bersama mereka bukan? Itu terasa canggung" ucapnya
"Ya, kau benar. Itu akan sangat canggung"
Di sisi lain, Axel berjalan secepat mungkin menuju ruangannya. Ia sudah terlalu lama membuat Damian menunggu karena urusannya tadi.
"Maaf membuatmu menunggu" ucap Axel melihat Damian tengah duduk santai sembari minum kopi disana.
"Ini dokumen yang kau minta kemarin"
Damian mengambil dokumen tersebut dan membacanya sesaat. "Baiklah, akan aku baca selengkapnya nanti dirumah" katanya sembari merapihkan kembali kertas tersebut.
"Kudengar kau bikin kekacauan kemarin?"
Axel mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Kekacauan? Kau berlebihan, sobat. Aku lebih senang menyebutnya dengan kata pertunjukkan" balas Axel. Tak peduli darimana Damian mengetahui hal itu, tapi desas desus menyebar sangat cepat.
"Jadi, bagaimana kelanjutannya? Kudengar kau menyewa seorang perempuan dari club"
Axel memincingkan matanya.
"Tidak sama sekali. Aku tak pernah menyewa siapapun. Kau dengar berita itu dari mana?"
"Kudengar dari mata - matamu, Juliant. Alice menceritakan semua padanya" balas Damian polos.
"Apa saja yang dia katakan?"
"Emm.. kau mengacaukan makan malam sambil membawa seorang wanita murahan yang kau sewa dari club, lalu kau membatalkan pertunangan kalian. Hanya itu point yang kudapat"
"Dia mengatakan hal seperti itu?? Tapi mengapa dia malah memberitahumu?"
Damian mengangkat bahunya, "mungkin karena kau mematikan smartphonemu selama 5 hari terakhir"
Ah benar. Saat ini aku hanya memegang handphone perusahaan saja. Sejak kejadian itu aku selalu menghindari Alice.
Damian berdiri, berjalan kearahku dan menepuk bahuku pelan. "Maaf aku tidak memberitahumu sejak awal. Sebenarnya aku mengenal pria bernama Robert Woods itu. Dia teman ayahku, bahkan aku sudah menganggapnya sebagai pamanku sendiri. Sejak awal aku ingin memberitahumu, tapi situasi selalu tidak pas" ucapnya padaku.
"Maaf aku sudah membohongimu. . . . . Kalau kau penasaran, kau boleh datang ke kantorku lusa. Mungkin orang itu juga akan berada disana" lanjutnya.
"Tidak. Tidak masalah buatku jika kau mengenalnya. Lagipula aku memang ingin mengakhiri hubungan sepihak ini" balasku seadanya.
Dia tersenyum kearahku. "Kalau begitu aku pergi dulu. Pasti Aneth sudah menungguku dibawah" katanya meninggalkanku sendirian diruangan ini.
Aku memang tidak mempunyai masalah apapun dengan hubungan Damian dengan Robert. Yang kupikirkan saat ini adalah Alice.
Aku tadi sempat mendengar pembicaraan antara ibuku dan juga Valerie. Dia bilang Alice juga mendatanginya dan menceritakan hal itu kan?
Apa cerita yang disampaikan Alice pada ibuku dan Juliant sama?
Alice bahkan secara terang terangan bilang pada ibuku jika dia ingin memulai semuanya dari nol bersamaku. Berani sekali dia. Sebenarnya apa yang dia rencanakan?
* *
"Benarkah?? Ahahaha" Valerie tertawa sekeras mungkin sampai sampai beberapa pengunjung ikut menoleh kearah mejanya.
"Ya, dia menggebrak meja sambil berkata 'SIAPA YANG MELAKUKAN INI?' Dengan sangat keras. Bahkan seisi kelas tak berani menatap matanya ahahaha"
Meski baru beberapa saat ia bertemu dengan wanita tadi, kini mereka terlihat sangat akrab satu dengan yang lain. Bahkan mereka tak sungkan untuk bercerita tentang pengalaman pribadi masing masing.
Itulah wanita. Tak peduli kenal atau tidak, jika mereka mempunyai cerita yang sama maka mereka akan saling terhubung.
Tringg tringg tringg
Bunyi ponsel wanita itu mengalihkan perhatian mereka sejenak. Ia terlihat sedang membaca pesan dan mulai merapihkan barang bawaannya.
"Maaf, sepertinya aku harus pergi. Lain kali mari kita jalan jalan bersama, oke?" Katanya
"Ya tentu"
"Ah, tunggu~ ....kita sudah berbincang bincang sejak tadi tapi kita sama sekali belum berkenalan" kata Valerie menahan kepergiannya
Dia tersenyum. "Namaku Anathasia Amstrong, tapi teman temanku memanggilku dengan nama Aneth" dia mengulurkan tangannya.
"Aku Valerie. . . Senang berkenalan dan menghabiskan waktu denganmu, Aneth" Valerie menerima uluran tangannya.
"Ya, aku juga"
"Baiklah, aku akan pergi. Sampai jumpa Valerie" sahutnya menyudahi.
'Dia orang baik. Orang yang mendapatkannya pasti sangat beruntung' batin Valerie sambil menatap Aneth hingga orang itu sudah tak terlihat lagi.
Sudah lama aku tidak mempunyai teman. Orang - orang selalu menghindariku dengan alasan yang bermacam - macam. Alasan yang paling sering kudengar dari mereka adalah mereka tidak ingin menghabiskan waktu denganku karena sifatku yang masih seperti anak anak. Memangnya ada masalah ya? Menjadi dewasa itukan tidak enak.
Aku menghela nafas gusar. Mungkin memang nasibku begini.
Ku alihkan sesaat pandanganku kearah kolam renang yang berada disamping restaurant. Kolam renang yang sangat besar.
Air begitu jernih meski banyak orang yang menenuhi kolam. Siang bolong begini memang enak jika bermain basah basahan. Badan terasa lebih segar dan juga pikiran lebih plong.
Tak terasa kakiku sudah membawaku sampai kesini. Percikan air mengenai kakiku meski aku berada jauh dari kolam. Ingin sekali rasanya menceburkan diri kedalam sana. Tapi sayangnya aku tidak pandai berenang.
Perlahan aku duduk dan bersandar di kursi yang sudah disediakan, tepatnya di sisi tepi kolam. Aku menutup mataku dan merilekskan semuanya. Menikmati fasilitas yang ada. Rasa kantuk mulai menjalar, apalagi aku baru saja selesai makan. Tidur sejenak tidak akan dapat masalah kan?
Ya, hidup memang harus selalu santai seperti ini.
Srettt
Tiba tiba saja sebuah kain mengenai permukaan kulit kakiku. Aku sedikit tersentak. Saat aku membuka mata, ternyata Axel sudah berada disampingku.
"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku
Dia tak bergeming dan hanya fokus menutupi paha dan kakiku yang sedikit terekspos dengan jas hitam miliknya itu. Aku pun hanya pasrah mengingat aku saat ini sedang memakai rok pendek meski tidak terlalu pendek.
Dia terlihat manis dan menawan jika seperti ini.
"Apa kau lihat lihat" ucapnya padaku terdengar seperti desisan.
Ugh!
Aku hanya memutar kedua bola mataku. Ku cabut ucapanku tadi. Axel tetaplah Axel.
"Kenapa kau melakukannya?" Tanyaku
Dia kemudian mengambil posisi yang sama denganku dikursi sebelah. Menumpukan tangannya sebagai bantal. Tak lupa ia menggulung kedua lengannya hingga ke siku, dan sedikit melonggarkan dasinya.
"Memangnya aku melakukan apa?"
"Menutupi tubuhku seperti ini" protesku sembari menyingkap kain itu
Sontak dia langsung terbangun dan membenahi itu seperti semula. "Hey!! Tutupi ini!" Pekiknya
"Kenapa?!"
"Aku tidak ingin berbagi pada siapapun" ucapnya menatapku tajam, seperti biasa
Aku menyeritkan dahiku. Tak paham dengan ucapannya.
"Berbagi apa?" Tanyaku polos
"Sudahlah. Kau takkan paham. Pokoknya tutupi saja tubuhmu dengan kain itu" ucapnya kembali bersandar dikursi.
Aku hanya menggerutu melihat kelakuannya. Dia itu memang seperti ini ya sifatnya? Tidak jelas dan semaunya sendiri.
"Kau sudah selesai dengan urusanmu?" Tanyaku
Perlahan aku juga turut bersandar dikursi. Namun kali ini pandanganku menuju kearah Axel sepenuhnya.
"Hn"
"Lalu mau sampai kapan kita disini?" Tanyaku pelan
"Aku mau tidur sebentar" sahutnya.
Mungkin dia terlalu lelah dengan pekerjaannya. Wajahnya begitu tenang ketika ia menutup mata seperti itu. Dia lebih mirip seperti bayi.
'Aku suka melihatnya' pikirku