KALIMASADA-Petualangan Dua Dimensi

🇮🇩Mark_Andes
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Kisah 1

Pementasan wayang kulit di depan rumah sebagai perayaan pribadi atas kelulusanku dari masa putih abu-abu baru saja usai malam ini. Beberapa asisten dalang mulai membereskan peralatan pentas mulai dari panggung, perangkat gamelan, dan koleksi wayang-wayang kulit berharga. Sebagai putera seorang dalang yang namanya tenar sepenjuru desa, aku pun turut membantu, apalagi ini kan pestaku. Walaupun, yaa ... hanya bersih-bersih.

"Surajenggala! Ke sini, Nak. Tolong bantu Ayah! Pegel-pegel nih sehabis mendalang," teriak Ayah dari dalam rumah.

"Oke, Yah."

"Aku pulang dulu, ya, Sura. Cerita tadi sangat seru, aku tak sabar mendengar cerita pewayangan lainnya. Lain kali kalau ayahmu ingin mendalang, jangan lupa beritahu aku, ya!" Cakra mengucek mata kemerahannya. Tampaknya temanku ini telah diserang kantuk stadium empat meski dua gelas kopi susu telah ia habiskan selama pertunjukan. Kepalaku langsung mengangguk cepat.

Aku pun menghampiri dalang profesional itu di belakang panggung yang terhubung langsung dengan ruang penyimpanan wayang ayahku dengan menggunakan rolling door. Di bawah temaram lampu bohlam, pria paruh baya yang sangat kuhormati itu duduk sambil menikmati liukan asap putih kebiruan yang baru saja ia hembuskan.

Ia memintaku untuk membantu merapikan koleksi wayang yang baru saja dimainkan. Kaki kami lalu beriringan menuju lemari setinggi dua meter yang berbingkai kaca dan terbuat dari kayu cendana penuh corak nan berkilap memantulkan kilauan lampu kamar. Di balik kaca tebal lemari, para wayang kulit dari berbagai tokoh itu tidur tergeletak dan berserakan. Hmm ... memang harus dirapikan kalau seperti ini. Suara berbenah aku dan ayah menambah aura malam yang sejak tadi sudah melantunkan nyanyian jangkrik dan katak, disebarkan bersama lirih angin malam menyusuri desa. Dalam keheningan, sebuah pertanyaan menyeruak dan meluncur begitu saja dari mulutku.

"Tadi, Ayah mengisahkan lakon Petruk Dadi Ratu kan?"

"Iya, memangnya kenapa, Nak?"

"Ada yang sedikit membingungkan, Yah. Kenapa Dewi Mustakaweni mencuri kalimasada? Terus, kenapa pusaka itu jadi rebutan?" tanyaku pada Ayah.

Jujur saja, walaupun aku bukan dalang. Aku paham tentang cerita pewayangan, meski tidak semuanya. Aku suka sekali mendengarkan Ayah mendongeng cerita-cerita wayang dan orang-orang dengan kemampuan sakti mandraguna atau siluman-siluman aneh yang pada akhirnya, aku tahu kalau semuanya hanyalah mitos yang sangat tidak masuk akal dan tak bisa dipercaya, berbeda dengan Ayah yang mempercayai bahwa kisah wayang adalah kisah sejarah yang benar-benar nyata. Lagi pula, ayolah! Sekarang tahun 2020, siluman dan orang-orang kayangan pasti sudah ketinggalan zaman. Walaupun mitos, aku tetap menyukainya meskipun sebenarnya aku lebih suka main ponsel dari pada membaca cerita pewayangan.

"Karena pusaka Kalimasada itu bukan sekedar pusaka biasa, Kalimasada merupakan pusaka Sang Hyang Ismaya yang terkenal kesaktiannya sejagat raya dan diwariskan kepada keluarga Pandawa. Kalimasada berupa lembaran berisi kekuatan yang tiada tara, kalau pusaka tersebut berada dalam genggaman orang berhati ksatria dan mulia sifatnya maka akan membawa keberuntungan. Malah bisa sampai membuat takhta seorang raja Pandawa abadi. Tapi, kalau sudah jatuh ke tangan orang dengan hati jahat dan kebencian...." Lelaki berwajah teduh itu menjeda kalimatnya, diam sejenak lalu melanjutkan kisahnya dengan suara lirih seraya menggelengkan kepala "Dunia, akan hancur berantakan."

"Begitu rupanya. Tapi, kok Kalimasada gampang sekali diambil Petruk? Dan, bagaimana caranya Petruk mengembalikan Kalimasada itu Yah?"

Tangan Ayah mendadak berhenti merapikan wayang sementara ia menatapku penuh tanda tanya. Sepertinya pertanyaanku tadi mengejutkannya. Sebenarnya aku pun tak tahu mengapa bisa muncul pertanyaan semacam itu dalam benakku. Aku hanya merasa aneh dan ada yang ganjil saat mendengar Ayah mengisahkan lakon Petruk Dadi Ratu yang menceritakan tentang dicurinya pusaka Kalimasada oleh Dewi Mustakaweni, seorang ratu dari kerajaan Imantaka. Tak lama kemudian pusakan andalan itu berhasil diambil alih oleh Petruk, seorang Punakawan. Karena kesaktian Kalimasada, Petruk pun menjadi sangat superpower dan sombong, ia berhasil menjadi raja di sebuah daerah yang ia namai dengan kerajaan Lojitengara. Namun, Petruk berhasil disadarkan saudaranya, Nala Gareng. Mereka pun mengembalikan Kalimasada kepada Pandawa. Begitulah kira-kira ringkasan yang kutahu mengenai kisah Petruk Dadi Ratu.

Kulihat Ayah semakin gelisah dan berpikir keras, air muka yang biasanya teduh pun kini tampak tegang, sampai akhirnya ia mendesah lirih sambil mengusap kepala yang sepertinya harus diadakan reboisasi untuk mengembalikan rambut hitamnya.

"Seharusnya aku memang tidak perlu berbohong padanya," gumam Ayah lirih sekali, hampir tidak terdengar.

"Apa, Yah?"

"Eh, tidak, tidak apa-apa. Sebenarnya cerita itu...." Mulutnya kembali tertutup, tampak takut ada kalimat yang nakal mencoba kabur dari lidahnya.

"Cerita itu kenapa, Yah? Ayolah Yah, ceritakanlah!" ucapku gemas tidak sabar bercampur penasaran. Ayah sendiri berdecak lidah dan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, lalu menghempaskan nafas pelan.

"Sebenarnya, sampai saat ini...." Tatapan mata menenangkannya lantas mengkunci mataku. "Memang, dalam kisahnya, Petruk telah mengembalikan Kalimasada kepada Pandawa. Namun sebenarnya sampai saat ini, Kalimasada tidak pernah sampai ke tangan Pandawa." Lirih suaranya cukup mengagetkanku, seolah jawaban Ayah tadi mengeluarkan petir yang membungkam ramainya malam. Hingga hanya detak jantungku dan bisikan angin malam yang terdengar pilu. Tentu saja aku berbuat demikian agar ayah percaya.

"Loh! Lalu, ceritanya?"

"Itu cerita yang diciptakan oleh dalang terdahulu dan diturunkan dari generasi ke generasi. Sampai saat ini Ayah pun tak tahu ke mana hilangnya Kalimasada."

Saat berkata begitu, wajahnya mulai redup bak lilin yang kehabisan sumbu. Seperti kataku tadi, Ayah begitu percaya tentang kisah semacam itu. Sebetulnya saat ini aku ingin bilang "Jangan khawatir, Yah! Itu kan hanya mitos. Tak perlu dipercaya." Tapi, berhubung dulu aku sudah pernah bilang begitu dengan hasil tangan sang pengendali wayang itu mendarat di pipiku dan disusul dengan gelegar ceramahnya yang luar biasa panjang sampai kuping memerah panas, membuatku tak mau berkata seperti itu lagi di depan Ayah.

Dalam lingkup keheningan yang menaungi malam, ponsel Ayah tiba-tiba berdering dari kamarnya. Sambil berjalan ke kamar, Ayah memintaku menunggunya sambil terus membereskan wayang yang sangat komplit. Mulai dari para Pandawa, Kurawa, sampai Punakawan. Hingga pada barisan terakhir yaitu barisan Punakawan, saat aku mendirikan wayang Petruk yang tergeletak, aku dikagetkan dengan apa yang terlihat di bawah wayang itu. Sebuah cincin batu tergeletak di sana, berbatu pancawarna yang didominasi warna biru laut, ikatannya berlingkar indah, motif mawarnya terbuat dari tembaga, pada tembaga yang mengikat batu terdapat tulisan aksara yang tak kupahami. Seingatku, aku tak pernah melihat siapa pun memakai cincin ini.

Ingin iseng sedikit, kucoba memakainya di jari manis. Awalnya kukira akan longgar karena lubang cincinnya lumayan besar walaupun batunya hanya seukuran kuku kelingking. Tapi, saat cincin itu sudah masuk, aku sontak kaget dan hampir menjerit. Lubang cincin itu tiba-tiba mengecil dan menjadi pas di jari manis. Kucoba untuk melepasnya tapi sia-sia saja, malah tembaga itu seakan menyatu dengan kulit. Aku tarik dan melepasnya berkali-kali, tetapi malah semakin rapat dan mustahil untuk melepasnya. Masih tenggelam dalam kepanikan yang membuat keringat dingin merembes keluar, tiba-tiba saja batu pancawarna di jariku memancarkan semburat cahaya menyilaukan. Awalnya biru yang sungguh teramat terang menerangi seluruh rumah hingga malam ini tampak seperti siang hari, lalu berganti menjadi kuning, merah, ungu, dan terakhir putih. Yang putih ini lebih terang dari yang lainnya, terang benderang tiada tanding sampai-sampai aku tidak bisa melihat apapun selain cahaya, bahkan ketika kupejamkan mataku karena silau, cahaya itu tetap bersinar terang menembus kelopak mataku.

Dalam terang cahaya aku melihat gambaran aneh nan menyeramkan. Seorang manusia atau lebih tepatnya seekor siluman bersayap lebar, badannya seperti bersisik dan ia memiliki semacam gading yang menghunus panjang. Ia berdiri di puncak gedung tertinggi di Kota Utama sambil mengaum ganas, terdengar seperti gabungan suara gajah, elang dan singa. Sementara di bawahnya manusia berserakan dengan kondisi tak bernyawa. Ada yang kepalanya terputus dan hilang entah kemana. Ada yang ususnya terburai keluar, ada yang tubuhnya dipenuhi tusukan taring besar. Hatiku gentar, bulu kudukku langsung berdiri.

Setelah sepuluh detik berlalu, barulah cahaya itu reda dan surut kembali ke dalam cincin. Kakiku gemetar, persendianku serasa lenyap, keringat bertaburan di dahi, sementara wajahku pucat pasi. Sungguh tidak bisa dipercaya yang barusan itu.

"Sura! Sura!! Ada apa, Nak? Tadi Ayah lihat ada pancaran cahaya dari ruangan ini. Apa yang terjadi barusan?" tanya Ayah sambil berteriak dan berlari panik ke arahku. Begitu sampai, ia langsung mendekap dengan erat, penuh kehangatan, dan berhasil meredam detak jantungku yang begitu liar. Badan lunglaiku langsung tersungkur jatuh dalam pelukan Ayah, semua tenaga dan ototku terasa lenyap dan terhisap oleh cahaya itu.

"In ... ini, Yah. Tad ... tadi...." Suaraku terputus-putus dalam gemetar.

"Tahan sebentar, Nak!" Ayah bergegas pergi ke dapur, tak lama kemudian kembali dengan segelas air di tangan.

"Tenang, Nak! Santai. Tenangkan hatimu, otak tidak akan bisa berpikir jernih jika hati tidak tenang. Kalau sudah tenang, ceritakanlah perlahan!" ucap Ayah sambil meminumkan air padaku.

Setelah beberapa air mengaliri tenggorokan, menyumbat aliran keringat dingin, dan menjinakkan detak jantung yang sedari tadi meraung-raung, barulah ketenangan mulai merasuki hati. Membuat gemetar bibir berangsur reda dan mengisi kembali tenaga di persendian. Huh! Aku benar-benar kaget tadi.

Kusapukan pandangan ke seluruh ruangan, mencari-cari jejak lima cahaya tadi yang terangnya minta ampun. Tapi, tidak ada apapun selain bohlam redup sedang menerangi ruangan tempat koleksi wayang ini, beserta perabotan dan lukisan penghias dinding.

"Nak, apa kau baik-baik saja? Kok malah melamun?" Ayah membuatku tersadar. Segera aku duduk tegak dan mulai bercerita tentang kejadian tadi.

"Jadi gini, Yah, tadi saat merapikan barisan wayang Punakawan. Aku menemukan ini." Kuacungkan cincin yang melekat di jari manis. "Di bawah wayang Petruk. Sebelum kupakai lubangnya longgar, saat kupakai tiba-tiba saja...."

BRAKK!!

Pecahan kayu pintu bermentalan, engselnya copot berdentangan di lantai. Sekonyong-konyong seorang lelaki ceking berusia sekitar tiga puluhan, menerobos masuk seraya menodongkan pistol kepadaku.

"Berikan cincin itu. Cepat!" bentaknya kasar. "Kalau kau tidak menuruti perintahku...." Seringainya melebar, menunjukkan gigi tonggosnya. "Hal yang sangat, sangat, dan amat sangat buruk akan terjadi padamu," lanjutnya bersama suara kokangan pistol terdengar mengintimidasi.

Bersambung