Chapter 4 - BAB2

Sebuah sentuhan lembut membangunkan Betari pagi ini. membuat gadis remaja ini terpaksa membuka matanya, ia mengeluarkan kepalanya dari dalam selimut nyamannya

"Nona cantik! Neng Betari sudah pagi! waktunya bangun!" ucap suara itu lembut.

"selamat pagi Bu Ina!" jawab Betari di sela-sela rasa kantuk yang masih menderanya.

Bu Ina merupakan among yang ditunjuk eyang sepuhnya untuk menjaga dan melaporkan setiap kegiatan Betari dari bangun tidur hingga menjelang tidur yang tak terpantau oleh eyang sepuhnya.

Setelah pesta syukuran dengan para warga dan pamong desa semalam suntuk. Membuatnya malas-malasan dan enggan meninggalkan ranjang hangatnya pagi ini yang entah kenapa begitu nyaman bagi tubuh gadis remaja itu.

Betari masih di kediaman eyang sepuhnya, menghabiskan liburan kelulusan, Betari memang lebih menyukai suasana tenang di desa eyangnya, dengan berkeliling desa, sawah, melihat sungai meskipun sudah tak begitu jernih sangat membuatnya tenang dan ingin berlama-lama merasakannya, di temani novel-novel kesukaanya, berbeda dengan teman sekolah dan sahabatnya yang memilih liburan di luar negeri atau pergi ke tempat liburan yang sering orang banyak datang Orang tua Betari sudah kembali ke kota yang jaraknya memang tak terlalu jauh dengan desa eyang sepuhnya, melanjutkan aktifitas mengelola bisnis mereka kembali seperti biasanya.

Sekitar lebih dari satu jam sudah semenjak Bu Ina membangunkannya, Betari tak juga keluar dari dalam selimut tebalnya, sepertinya di dalam selimut itu lebih nyaman dari pada bercengkrama dan melihat kegiatan warga desa di luar sana, seperti yang biasa iaq lakukan bersama eyang sepuhnya. Padahal mentari sudah tak malu-malu memperlihatkan sinarnya di luar sana, bahkan seakan tak hentinya meminta Betari keluar dari selimut tebalnya, tidak seperti biasanya.

Sebenarnya saat ini Betari sedang mencari tahu tentang cincin miliknya melalui ponsel pintarnya, karena semenjak kejadian semalam, ia mulai penasaran dengan cincin itu, ia ingin tahu darimana cincin unik ini berasal, karena cincin itu memiliki bentuk yang berbeda dari pada cincin yang selama ini ia lihat atau miliki di rumah. cincin itu berhiaskan berlian berwarna merah muda, dan ringnya terbuat dari batu mulia lain berbentuk transparan sehingga lebih terlihat seperti kaca. yang menarik cincin itu selalu pas di jarinya dan terasa nyaman saat ia memakainya, padahal saat awal melihat cincin itu begitu sangat kecil, seperti hanya cukup di pakai jari anak umur 6-7 tahunan. Tapi ia tak menemukan informasi atau petunjuk apapun di laman pencarian dari ponsel pintarnya ini.

Sekitar dua jam lebih semenjak Bu Ina membangunkannya, namun baru kali ini selimut beserta ranjangnya mulai terasa tak nyaman lagi bagi dirinya. ia mulai meninggalkan ranjang empuknya dan menaruh ponsel itu diatas nakas setelah selesai merapikan tempat tidur dan selimutnya, ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berencana menanyakan tentang cincin itu ke kedua eyangnya saat menemui mereka nanti. tentu saja setelah ia menyelesaikan mandinya.

Di lantai bawah, kedua eyang sepuh menunggunya untuk mengajak Betari menghabiskan waktu di perkebunan teh milik keluarga Jayadiningrat yang sudah di kelola secara turun temurun oleh keluarganya. Selain bisnis yang dikelola sang ayah perkebunan teh ini juga merupakan salah satu warisan leluhur keluarga besar Jayadiningrat yang sekarang masih dikelola penuh oleh eyang sepuh dan orang kepercayaan eyang sepuhnya. Sebenarnya perkebunan ini dulu dipercayakan kepada ibunda Betari, sebelum mereka pindah ke kota. Namun kemudian kembali di kelola oleh eyang sepuhnya setelah Betari dan keluarganya pindah ke kota.

Setelah menyelesaikan sarapannya ia berencana menemui eyang putrinya untuk menanyakan tentang masalah ini, ternyata eyang putri sedang menemani eyang kakungnya, mereka sedang berada di ruang kerja sang eyang bersama abdi kepercayaan eyang bernama pak Musni, sepertinya ia sedang menyerahkan laporan perkembangan bisnis kebun teh keluarga Jayadiningrat. Betari akhirnya menunggu mereka di teras rumah bersama among dan abdi pribadinya sambil membaca novel dan mendengarkan musik kesukaanya dari ponsel miliknya.

Beberapa saat kemudian mereka keluar, terlihat dari wajah sang eyang sepertinya ada masalah di perkebunan, akhirnya Beti memilih untuk mengurungkan niatnya agar tak mengganggu kegiatan bisnis eyangnya, karena masalahnya begitu sepele di banding bisnis keluarganya itu, ia bisa memaklumi karena dari kecil sudah biasa dengan pemandangan seperti itu, dan iapun juga merasa tak terganggu.

Betari memilih berkeliling desa bersama among dan abdinya sekarang, dan membiarkan kedua eyang sepuhnya menyelesaikan urusan bisnisnya keluarga itu, Kini mereka sedang asik bermain di dekat sawah, mencari bunga liar di tepi jalan, Betari memang berbeda dari remaja pada umumnya yang lebih memilih bermain gawai di manapun dari pada berpanas-panasan di jalanan, pasti teman-teman sebayanya mengira dia aneh atau apalah. karena memang begitu dia, ia hanya bermain gawai saat bangun tidur hingga ia keluar kamar, atau saat ia kesepian. tapi begitu ada teman atau dengan keluarga ia tak akan menyentuh gawai itu, begitu juga keluarganya karena tak ingin kehilangan momen bersama keluarga. sebisa mungkin jika di rumh semua akan di serahkan ke abdi kepercayaan mereka.

Betari sekarang menghabiskan waktu di saung untuk merangkai bunga bersama amongnya di saung tengah sawah milik warga, ia memang masih suka bermain seperti anak kecil, merangkai bunga liar menjadi mahkota dan lainnya sambil mengobrol dengan Bu Ina amongnya.

"Bu Ina lihat nih udah cantik belum?" kata betari manja.

"Neng Betari selalu cantik meskipun tanpa mahkota bunga itu!" jawab Bu Ina.

"Oh ya bu Ina, Bu Ina tahu tentang cincin yang Betari pakai ini?" tanya betari tiba-tiba.

"Cincin mana sih Nona cantik? cincin bunga buatan neng? kan njenengan neng yang buat!" kata Bu Ina bingung.

Betari terkejut dan terdiam, ia merasa aneh karena ia mengira amongnya tak melihat cincin indah yang ia pakai, ia pun mencoba menanyakan lagi untuk memastikan

"Bukan Bu, ini lho yang di jari tengah Betari, masak njenegan nggak lihat?" ucap Betari

Bu Ina hanya menggeleng bingung karena memang ia tak melihat benda itu di jari Betari. Akhirnya Betari tk melanjutkan permasalahan itu. dan kembali merangkai bunganya bersama Bu Ina lagi.

Hari sudah menjelang sore saat Betari menghabiskan waktunya membuat rangakaian bunga itu bersama amongnya, Bu Inah kemudian mengajak Betari pulang. Sesampainya di rumah eyangnya sudah pulang dari kebun teh. Betari segera berlari menuju eyang sepuhnya untuk memberikan rangkaian bunga pada mereka, lalu kemudian berbalik menuju kamarnya untuk mandi dan bersiap makan malam bersama-sama dengan eyang, among dan para abdi. mereka tak pernah membeda-bedakan status sosial, mereka selalu mengajak semua makan jika saat waktunya makan, itu juga yang membuat para abdi senang bekerja di keluarga Jayadiningrat ini.

Makan malam hari ini begitu ramai dengan celotehan kocak salah satu abdi yang suka banyol, semua terlihat seperti keluarga besar, bukan antara majikan dan abdinya, antara atasan dan bawahan. Selesai sudah makan malam hari ini, setelah itu Betari bercengkrama dengan kedua eyangnya diikuti amongnya.

"Hari ini ndoro Betari hanya bermain di saung merangkai bunga yang di berikan ke ndiri sepuh!" lapor Bu Ina di sela-sela kegiatan eyang dan cucunya ini, karena eyang putri Betari yang memintanya.

"Terimakasih Bu Ina laporan hari ini! apakah masih ada yang lain yang mau disampaikan?" tanya eyang putri Betari.

"Anu ndoro Harum, tadi Neng Betari tanya soal cincin yang ia pakai di.jari tengahnya sebelah kiri, tapi saya tidak.melihat ada cincin disana! mungkin ndoro Sastro tahu tentang hal ini!" kata Bu Ina ragu.

Betari yng mendengar perkataan Bu Ina kaget dan langsung menengok ke arah kedua eyang sepuhnya, kedua eyang sepuhnya melihat ke arah Betari penuh tanya. Betari yng menyadari hal itu langsung mengerti dan ingin menjelaskan, namun tiba-tiba ada suara laki-laki seperti yang ia dengar kemarin malam.

"Betari jangan bicara apapun tentang cincin ini, aku tak mau jika kamu menghilang lagi! Jadi rahasiakan cincin kamu!" kata suara pria dalam cincin yang hanya bisa di dengar oleh Betari.

Betaripun menuruti perkataan pria itu, mungkin ia tahu tentang cincin itu, dan berencana untuk menanyakannya pada "jin" penunggu cincin itu nantinya. Betari pun beralasan pada kedua eyangnya.

"Aku hanya bercanda tadi Bu Ina, ngetes Bu Ina aja!" ucap Betari beralasan.

setelah itu Bu Ina undur diri meninggalkan ketiga majikannya yang mengobrol seperti semula lagi.

Para biyada sudah selesai menyelesaikan pekerjaannya, Betari dan kedua eyangnya jug sudah berada di kamar masing-masing, semua sudah bersiap untuk tidur kecuali Betari yang sedang asik mengobrol dengn cincin miliknya.

"kamu beneran tahu tentang cincinku ini?" tanya Betari.

"Tentu saja, ayahku yang memberikannya kepadamu dulu, waktu kamu main ketempatku!" jawab suara itu.

Betari mencoba mengingat ingat lagi suara siapa yang ia dengar ini, mungkin salah satu teman sekolahnya, namun tak pernah ada suara temannya yang seperti ia dengar sekarang, tapi diingat sampai ia pusingpun tak pernah mendengar suara teman sekolah pria yang terdengar seperti ia dengar sekarang

" Tapi kapan aku pernah bertemu denganmu dan main ketempatmu?" tanya Betari pada suara itu.

"sekitar delapan tahun lalu! saat kamu masih kecil!" jawab suara itu.

Betari mencoba mengingat lagi saat ia berumur tujuh tahun pernah memiliki teman pria di desa ini, namun tetap saja ia tak bisa mengingatnya.

Mereka mengobrol semalaman hingga Betari mengantuk, lalu ia berpamitan untuk tidur ke suara lelaki di lain dunia itu.