Apa yang terpikirkan saat kamu berada dalam lingkungan yang seharusnya dijauhi. Dengan barang-barang branded, siswa/i berkelas, dan mobil sport yang berjejer rapi di halaman parkir. Sedangkan orang tuamu sendiri adalah penjual mie yang hanya memiliki restoran kecil di pasar.
***
Langit biru menunjukan keagungan Tuhan yang membentang luas. Dijalan yang cukup padat dengan kendaraan, seorang gadis dengan rambut dikepang dua dan kaca mata bulatnya melangkah tergesa melewati trotoar menuju gedung bertingkat empat di sana.
Mulutnya tak berhenti bergeming, menggerundelkan sesuatu. Permen karet rasa jeruk selalu menjadi teman setia di mana pun dirinya berada.
Langkanya semakin dipercepat untuk memburu waktu sebelum gerbang benar-benar ditutup. Sedangkan di depan sana sudah berdiri seorang lelaki paruh baya dengan seragam nila dan tongkat di tangan.
Sudah menjadi kebiasaan Lova yang selalu telat bangun dan akan berimbas pada kelasnya. Entah, sudah berapa kali petugas gerbang menghukumnya. Berlari, berdiri di lapangan, hormat pada bendera bahkan pernah juga gadis itu, dihukum membersihkan WC sekolah bersama yang lain.
Meski begitu dirinya tak pernah jera sebab para guru pembimbing selalu membela dengan alasan prestasi yang ia raih selama ini. Mereka memaklumi dan berpikir bahwa Lova terlalu giat belajar hingga lupa waktu. Meski kenyataan berbeda.
"Tumben nggak telat, Neng?" tanya Malin memukul-mukul tongkat ke tangan. Dengan kumis yang super tebal, beliau cukup disegani dan ditakuti oleh para murid di sekolah ini.
"Ahahaa, Pak Malin tahu aja."Mengusap tengkuk dan sedikit menunduk. Dia berbicara sopan. "Tapi maaf nih, ye, Pak, boleh saya masuk?" Lova melirik gerbang yang hampir tertutup.
"Oh, ya, Bapak lupa, Neng. Soalnya udah kebiasaan sih, lihat Neng Lova telat dan ngemis-ngemis di depan gerbang."
Lova menarik senyum kecut dengan bibir tertutup rapat sambil menarik napas dalam. "Coba deh, Pak Malin daftar di salah satu stasiun TV."
"Kenapa, Neng? Bapak bakal jadi artis gitu, ya?" Malin antusias.
"Eumm, entah, saya kan bukan produser, Pak." Cengiran Lova terlihat mengejek. Malin menggeleng samar. "Ngomong-ngomong udah telat nih, boleh saya masuk, Pak?" tanyanya lagi.
"Sok mangga, Neng." Malin mengusap dadanya. "Astagfirullah, anak jaman sekarang mah beda."
Gerbang dibuka dan untuk pertama kalinya, ia bisa masuk ke kelas tanpa pertanyaan panjang dari guru maupun wali kelas.
Kelas X Bahasa
Tak banyak teman yang menyukai kehadirannya di kelas hanya beberapa orang yang mau dekat karena kebutuhan. Apalagi kalau bukan memanfaatkannya untuk memberi contekan saat ulangan tiba.
Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, jika salah satu murid dikorbankan untuk kepentingan pribadi. Terlebih SMA ini merupakan sekolah elit golongan atas. Terkecuali Lova yang lahir dari keluarga sederhana. Ia mampu masuk ke kalangan konglomerat karena beasiswa.
"Va, Loe ada catatan mapel bahasa inggris kagak?"
"Ihh, Gas, masih pagi juga udah jadi pemalas. Kemana aja loe? Lagian saat Bu Amel terangin pelajaran loe malah enak-enakan ngorok," timpal salah Anjas salah satu teman kelas Lova.
"Berisik banget loe, Jas. Gue bukan tanya ke elu, ya! Mending diem deh, kagak usah banyak bacot." Bagas meradang.
"Segitunya ngerebutin Lova, Cieee." Seorang siswi menambah bumbu-bumbu kegerahan di antara mereka. Dia berjalan mendekati Lova dan meletakkan tangan du pundak Lova juga sedikit membungkuk. "Pasti loe bangga, 'kan, Va, direbutin sama dua cowok ini?"
Lova menoleh dan tak menggubris setelahnya. Dia memilih untuk melanjutkan menulis beberapa tugas yang belum selesai. Mendengarkan bualan mereka membuat otaknya terasa pecah.
"Apaan sih, loe, Lin. Nggak usah ciee-ciee, jijik gue dengernya." Emosi Bagas memuncak.
Ini bukan kali pertama teman sekelas berbuat seperti ini pada Lova. Bukan hal yang aneh jika beberapa dari mereka terlihat dekat. Tahulah, ada udang di balik batu.
"Ini. Saya sudah menyalinnya semalam, tinggal kamu copy untuk yang lain juga." Lova memberi beberapa lembar kertas pada Bagas. Pemuda itu tersenyum girang dan merampasnya. "Lain kali jangan biasakan tidur di kelas. Kasihan kan orang tua kita yang ker---,"
"Ahh, bawel banget loe. Nggak perlu sok ngatur, lagian cuma beginian doang elah, ribet amat lu, Va."
Bagas berlalu tanpa mengucapkan terima kasih seperti biasanya. Dia kembali diabaikan setelah itu.
***
G double O to the D to the J to the OB
Good job, spirit spirit!
Yeah, kamu adalah ksatria hitam
Kamu tak terkalahkan
Kamu adalah kekuatan yang siap menjatuhkan lawan.
Siapa kita? Dark knight.
Fantastic Baby.
Yeah, spirit spirit spirit!
Teriakan meriah dari para cheerleader menyemarakkan suasana di lapangan basket. Semangat antusias yang dikobarkan untuk para pemain basket yang sedang berlatih di sana.
Tentu saja, ini menjadi tontonan apik untuk beberapa anak lelaki yang sedang fokus menonton basket atau hanya sekedar mencari perhatian dari para gadis beekostum minim dengan pom-pom di tangan.
Bulir bening terus mengalir dari pelipis. Mata sipitnya bahkan mampu menembus pertahanan lawan. Surai hitam yang basah ikut memantul seirama dengan gerakan tubuhnya yang gesit.
Kaos merah kebiruan dengan lengan pendek senada dengan warna celana yang memperlihatkan berapa mulusnya kulit pemuda itu. Putih pucat dengan otot kaki yang kuat.
Bahkan teriknya sinar matahari tak mengurungkan niat para cowok yang sedang sibuk merebutkan bola orange di sana. Bisik-bisik dari para gadis sudah menjadi makanan sehari-hari mereka.
Yovie, cowok dengan nomor punggung 7 itu, tak lelah memantulkan bola. Kakinya dengan lincah bergerak ke sana-sini demi menghindari lawan. Tangan berotot itu, terus-menerus menekan bola orange itu.
Dia mengiring bola dan sesekali satu lemparan sukses mencetak skor pada ring lawan.
YO to the VIE to the LOVE to the YOU.
YOVIE, I LOVE YOU.
Tepuk tangan terdengar meriah dan teriakan para cheerleader menambah riuh keadaan. Seseorang dari tim terlihat menghampirinya dan menyenggol pundaknya bangga. Mereka melakukan handshake dengan cara saling memutar tangan, membuat gelombang dan kedua tangan pun bertemu.
"Good job, Bro. Nggak salah memang, Pak Satio milih loe buat jadi kapten kita."
Yovie mengulas senyum tipis. Setipis kumis yang tubuh di antara bibir dan hidungnya. "Ahh, ini juga berkat kerja sama tim kita, Wen. Kalau bukan karena kalian, aku bukanlah siapa-siapa." Dia merendah.
Wendi, teman satu tim-nya sudah kenal bagaimana watak kapten basket itu. Dia selalu terlihat serius dalam setiap waktu. Lalu, segera dirinya menepuk pundak si Yovie.
"Jangan terlalu merendah, Bos." Dia berlari ke arah lain dengan menepuk tangan memberi semangat yang lain. "Yoo, semangat! Semangat! Semangat semuanya. Ayo berjuang sampai titik akhir."
Di sisi lain. Tempatnya taman yang berada tidak jauh dari lapangan terlihat Lova dan Stella yang sedang duduk santai menikmati makan siang.
Ditemani beberapa bungkus keripik, roti dan minuman, mereka berbincang menghabiskan waktu istirahat.
"Va, Loe ada masalah apa sih ama si Jesi?" tanya Stella sahabat Lova yang tidak satu kelas dengannya.
"Apaan sih, Stel, Jesi yang mana lagi?" Menggigit roti isi selai nanas. Lova mengecap menikmati asam manis bercampur lembut makanan itu.
"Masak loe lupa sih, Va. Itu loh, anak kelas satu yang suka pakai lipstik tebal itu."
"Oh, si anak cantik itu toh." Stella mengangguk pasti. Tampaknya dia mulai penasaran dengan cerita di balik itu. Terlihat dari tatapannya yang tak lepas dari Lova. "Males ahh, bahas masalah nggak penting. Mending lihat cogan di yutub."
"Ugh, lagian banyak bener masalah loe di sekolah ini. Puyeng gue lihatnya, sumpah deh." Menepuk-nepuk keningnya. "Tahu nggak sih, si Jesi itu primadonanya anak cowok di sekolah. Eh, nggak deng, masih ada Rara." Dia mengurungkan ucapan.
"Mending jangan sampai ada masalah sama anak-anak kek mereka. Apa itu geng-geng nggak penting. Lagian sekolah cuma dijadiin tempat gaya-gayaan doang."
Lova menoleh sambil memakan keripik singkong yang dibeli di kantin tadi. "Bodo ahh, gue kagak kenal sama mereka. Plankton lagi boker, i dont care."
Lirikan Stella cukup tajam, tetapi dengan santai Lova tersenyum dan menarik pipi sahabatnya, gemas.
"Nggak perlu khawatir, Stel. Mau dia anak pejabat, pengusaha, pengacara bahkan anak presiden pun, kalau salah, ya tetap salah." Tak lama pukulan mendarat di kening. Stella memicingkan mata dengan bersungut-sungut di depannya. "Kebiasaan banget sih, sakit tahu."
"Sakit? Pfftt, terus kalau kena tonjok berasa dipijet gitu?" Stella memukul lagi, tetapi ini lebih bertenaga. Sontak membuat Lova mengaduh. Dia tak peduli. "Ckckck, loe pikir dengan memanjat pagar dan berantem sama anak cowok itu nggak salah? Mana anak geng loe ganjen lagi. Si Aldo contohnya, iuhhh."
"Gue heran juga ama loe, Va. Kenapa sih harus nyamar-nyamar kek gini? Apa ini?" Memegang rambut kepang Lova dan mengibaskan. " Loe itu cantik, pinter ya, walaupun nggak sepinter gue sih."
Dalam keadaan seperti ini, Lova selalu bersikap tak acuh. Bahkan sengaja tak mendengar ocehan sahabatnya. Ia akan mengangguk-angguk seolah menyimak semua ucapan Stella.
"Ngapain juga bikin drama kek gini, lagi shooting film Mission: Impossible loe? Segitunya mendalami peran."
Lova terkekeh. Dirinya dengan santai menanggapi keluhan sahabatnya itu. Tangannya meraih minuman di samping, ia kehausan sambil melirik pada kerumunan orang di lapangan.
"Kali aja 'Kan, gue bakal diundang jadi pemeran utama sebagai istri Akang Tom Cruise," balas Lova yang tak bisa menahan gelak tawa yang menggelitik perut.
"Ngarep banget sih, loe."
Setelah itu kedua tertawa tanpa memperdulikan orang-orang yang lewat di sekitar taman sekolah.
***
Di ujung sana, tepatnya di gang sempit yang dipenuhi barang-barang bekas koran, tumpukan kardus dan sampah lainnnya. Terdapat dua kubu saling berhadapan dengan tatapan menusuk.
Satu kelompok terdiri dari enam anak cowok berseragam abu-abu menenteng tangan di pinggang, sedangkan kelompok lainnya yang terdiri dari lima pemuda dan satu perempuan dengan rambut terurai berseragam senada siap menyambut mereka.
Masing-masing memegang benda sebagai perlindungan diri. Tongkat baseball, balok bahkan rantai motor. Hanya satu orang yang tak membawa apa pun, yaitu si gadis cantik yang terlihat santai berada di tempat itu.
"Wehhh, ada awewek neh."
"Yoi, pesta dong, kita malam, Bos."
"Bagi-bagi, woii, cantik dan sekseh gile."
Seringai terlihat dari sang ketua menatap rendah kelompok yang diketuai oleh perempuan di sana. Sedangkan anak buah di belakangnya menyangga tongkat dan balok. Berlagak bak preman di film.
"Bacot loe. Mana Topan---bos loe?" Aldo kelompok si perempuan bertanya. "Gaya-gayaan loe pada. Nggak nyesel nih, nggak ngajak Topan ke sini?"
"Pfftt, loe lagi ngelawanngelawak, Bro?" Mereka tertawa meremehkan. "Sayangi hidup loe sebelum menyayangi usus loe," balas cowok berambut cepak dari tim lawan.
"Cihh, belum tahu dia." Aldo menyenggol bahu Diego. "Ya, nggak, Go?"
"Yoi, Bro."
Cukup lama mereka beradu mulut. Merebut kekuasaan dan membicarakan siapa yang lebih kuat. Cek-cok pun terjadi. Setelah itu, barulah terjadi perkelahian yang tak terelakkan.
Tongkat di tangan segera mengayun memukul lawan. Kaki yang dibalut sepatu tak segan-segan menendang hingga sang lawan tumbang.
Black Angel, nama kelompok yang diketuai oleh perempuan yang mereka sebut DD. Dia bagai jelmaan peri yang merubah diri menjadi malaikat pembunuh. Dalam satu tendangan bisa menumbangkan musuh yang berbadan lebih besar darinya.
Brugh!
Lelaki dengan seragam lengkap terlempar dan menimpa drum bekas minyak. Ia meringis kesakitan setelah si gadis menyerangnya tanpa ampun dan melemparkannnya seperti kertas.
"Bren**k, sejak kapan SMA Shakti punya preman macam loe?" Mengusap bibir yang pecah dengan ibu jari.
Seringai terlihat di bibir gadis cantik berambut panjang. Dia terkekeh dengan mengibarkan surai hitamnya di udara. "Sejak kapan?" Dia membalikkan pertanyaan membuat sang lawan meradang. "Tuh, loe tanya aja ke mereka." Tunjuk semut merah yang berjalan di dinding.
"Wahh, sugoi, kirain mau nangkap paus ternyata cuma teri Medan. Kagak seru ahh."
"Bener tuh, Sep, gue kira si Topan yang bakal dateng, ehh, tenyata cuma cecunguk ini," timpal Diego tangan kanan Black Angel.
"Diem loe, BABAT KAMBING!" Dia berdiri tergopoh. Tatapannya cukup nanar dan dalam penuh kebencian. "Di mana bos loe?"
"Nih, ada si sini." Asep menunjuk satu-satunya perempuan di tempat itu.
"Gila loe, ya! Gue tahu dia jago bela diri. Gue akui itu." Matanya memicing benci. "Loe kata ini ketoprak, hah!"
"Enak dong," Asep menyahut.
Kelompok mereka tertawa seketika tak berlebihan si gadis yang kembali menyeringai.
"Bang**t! Gue nggak akan lupa sama perlakuan kalian ini."
Kelompok lawan tumbang dan bergegas pergi. Banyak luka memar bahkan seragam yang dikenakan susah bewarna coklat keabuan. Kumal dan robek di beberapa bagian.
***
Latihan kemarin siang cukup membuat pegal pada beberapa sendi di bagian lutut dan tangan. Bahkan kepalanya sempat terkena oporan bola yang cukup keras.
Yovie berjalan menuju taman belakang. Seperti biasanya, dia akan menyendiri saat jam kosong. Duduk di bawah pohon dengan mendengar lagu lewat earphone.
Ketenangan seperti inilah yang ia butuhkan saat sedang mengalami stres berat. Entah itu dari pelajaran, basket atau keluarga. Ia akan menyendiri tanpa mau diusik oleh siapa pun.
Akan tetapi, tidak untuk siang ini.
Brugh!
Dia berdiri dan segera mencari arah suara benda jatuh itu berasal. Matanya lekas memicing setelah mendapati seseorang gadis sedang merapikan rok di sana.
Ia dapat menebak bahwa perempuan itu baru saja keluar dari sekolah untuk bolos. Kepalanya menggeleng samar. Tak pernah sebelumnya, ia merasa penasaran dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Namun, pemandangan ini cukup membuat otaknya dilanda berbagai pertanyaan.
Apalagi saat si gadis yang terlihat mengendap-endap masuk ke toilet.
Siapa dia dan apa yang dia lakukan di sana?