Siapa yang bisa memilih kita akan dilahirkan oleh siapa? Keluarga seperti apa? Kehidupan seperti apa? Lalu aku harus menyalahkan siapa? Tuhan? aku harus mengadukan segala ketidak adilan ini pada siapa jika kau saja juga selalu memandang bahwa aku juga anak siapa? aku harus bersikap seperti apa menghadapi segala macam cemoohan? Sudah biasa memang, tapi aku muak! Muak dengan segala kemunafikan yang kalian bangun dengan embel-embel kasihan, persaudaraan. Itu munafik!
"Naya, makan dulu, nak," kata ibu menyeru lembut seperti biasa. Aku bergegas keluar kamar menyusul ibu. Ayah dan kakak sudah bersiap di meja makan. Seperti biasa, hanya hidangan sederhana hasil dari kebun-kebun tetangga seperti daun singkong, pepaya, bayam duri, krokot, lompong, dan sejenisnya. Tidak ada tempe baret goreng atau sekedar ikan asin murah. Lauk hanya terhidang saat akhir pekan saja, ituun sehari. Aku juga tidak tahu apa alasannya.
"Makan yang banyak, Nay, kamu kurus sekali," ujar bapak akan mencentongkan nasi ke piringku yang selalu aku angkat untuk kusisihkan.
"Ndak usah pak, aku segini aja, bosen makannya ini ini terus," kataku sedikit mengeluarkan keluhanku. Biasanya akhir pekan seperti ini masakan ibu berbeda. Ada seikit lauk untuk menambah cita rasa, tapi hari ini seperti biasa saja, membuatku urung memakan lalapan daun singkong rebus bersama sambal terasi yang terhidang.
"Bapak belum ada uang buat beli lauk, besok kita ke pasar, yuk? Kita belanja sayur, lauk untuk seminggu. Semoga tuan tanah tak datang hari ini," kata bapak dengan mata yang berbinar. Aku percaya padanya.
"Tuan tanah siapa?" tanyaku penasaran. Kak Danu hanya tersenyum kecut lalu melanjutkan makannya. Aku makin resah. Tapi aku tak bisa menebak apa yang terjadi di keluargaku.
Sore hari saat akhir pekan biasanya aku membantu ibu yang membuka jasa setrika di rumah. Sebenarnya untuk pendapatan dari setrika sudah lumayan bagiku, dua puluh ribu cukup untuk uang jajan sekolahku jadi bapak dan ibu jarang memberiku uang jajan karena ini. Aku menyisihkan sedikitnya untuk jaga-jaga, siapa tahu ada buku atau iuran kelas mendadak, wah aku kagum denganku yang baru kelas 6 SD ini bisa mengatur uangku sedemikian rupa. Aku juga ingin seperti mas Alfi, sepupuku yang bisa beli makanan enak dan minum susu, membeli mainan yang sedang buming atau bermain-main dengan hal-hal mahal lainnya. Tapi kami dari keluarga berbeda, mas Alfi, putra kedua pakdhe Daryanto yang seorang PNS di Kabupaten, sementara aku hanya anak dari adik perempuannya pakde yang sial bersuamikan bapak yang hanya seorang buruh.
"Jangan sampai ada yang gosong, hati-hati setrikanya," kata ibu lembut, sekali lagi dengan nada khasnya yang lembut. Aku mengangguk lalu kembali fokus pada pekerjaanku. Menyetrika dengan rapi, wangi, mengepak, lalu kami antar satu-satu menuju rumah-rumah yang biasanya memakai jasa kami. Sepeda butut ibu membawa kami beriring dengan memerahnya langit. Lazuardi yang menjingga seolah juga menghibur dan menyemangatiku, "Kelak, semoga hidupmu lebih baik."
Kami pulang bersamaan dengan suara iqamat dari masjid bersamaan dengan suara gebrakan meja yang tak sengaja kami dengar. Kegaduhan yang sudah lama tak kudengar kali ini mendayu lebih keras. Siapa? kulihat wajah ibu memucat lalu menunduk.
"Ini kan tanahnya bapak, aku yang lebih berhak atas tanah ini. Kamu itu Cuma menantu, nggak usah ikut campur!" seru orang yang di dalam seolah tanpa memerdulikan iqamah. Aku dan ibu masuk rumah dengan salam, kulihat Bapak dan kak Danu sudah siap menuju mesjid jika saja tak ada tamu nanggung seperti ini.
"Yang laki-laki silakan keluar menuju masjid, biar aku dan Naya shalat di rumah," kata ibu dengan nada tenang yang terkesan dibuat-buat. Aku tahu itu. Apalagi melihat raut muka kak Danu.
Tanpa banyak kata tamu yang ternyata pakdhe Daryanto keluar disusul bapak dan kak Danu. Kami masih sekolah, bapak hanya buruh dengan pendapatan tidak menentu. Sawah warisan kakek yang dulunya dikerjakan bapak sudah disewakan ke orang lain oleh pakdhe dan semenjak itu bapak hanya mencari atau dimintai tolong membantu mengerjakan sawah seperti mencangkul, membersihkan rumout, babat salak, hingga laden tukang. Aku bukannya tak mengerti kesulitan ekonomi orang tua, aku sudah antisipasi dengan menabung agar tidak terjadi lagi olok-olok temanku saat sepatuku megap-megap saat dipakai. Dan kancing serangam yang tidak sesuai warna.
Mereka kembali berkumpul di ruang tamu dengan cahaya yang hanya temaram. Tersirat wajah pakdhe yang kini kembali tenang. Tak semerah tadi saat aku dan ibu masuk.
"Sejak kapan?" tanya pakdhe dengan suara rendah.
"Setahun yang lalu," jawab ibuku tenang.
"Buat apa kamu merelakan tanah ini dengan uang sebanyak itu, Sri?" tanya pakdhe lagi.
"Biaya masuk STM Danu, sisanya ditabung untuk keperluan sehari-hari," jawab ibu lagi.
"Keperluan yang seperti apa yang kamu maksud, Sri? Aku lihat kamu sering keluar masuk kebun tetangga minta dedaunan untuk kamu masak?" tanya pakdhe lagi.
Ibu diam menimang-nimang melirik bapak yang hanya diam santai menghisap gulungan rokoknya. Begitu juga kak Danu. Aku sama sekali tak paham dengan pembahasan mereka. Aku bocah yang sebentar lagi akan UAN jadi aku beranjak pergi menuju kamar yang sebenarnya tetap akan mendengar percakapan mereka. Bapak masih diam sementara pakdhe sudah tak sabar mendengarkan penjelasan ibu.
"Saya butuh duit untuk sekolah Inayah, kelak, butuh uang jika Danu ujian semester. Uang itu rencananya untuk kebutuhan itu. Dan cuma mas Husen yang mau bantu aku waktu itu, sisanya kan juga buat nutup utang ke mas Dar, mbak Dal, sama Mus. Mas Dar kan tahu saya ada hutang sana sini ditagih sana sini, jadi tawaran mas Husen aku terima, toh masih ada beberap di bank," kata ibu kali ini dengan nada cerewet yang jarang aku dengar.
"Terus Husen itu beli tanah ini? Bukan pinjem setahun lalu? Perjanjiannya bagaimana awalnya kamu jadi bisa punya hutang padahal tanah ini sudah dibelinya?" tanya pakdhe lagi.
"Aku juga ndak mudeng, mas," kata ibu sedikit berteriak," awalnya mas Husen menawariku pinjaman dua puluh lima juta dengan jaminan sertipikat rumah ini. Aku terima karena katanya boleh diangsur kapan saja. Aku ndak tahu tiba-tiba tahun lalu tiba-tiba dia datang sertipikatnya sudah baliknama dan statusnya kita jadi sewa. Jadi setahun ini kita sewa untuk rumah ini 3 juta setahun. Makanya aku hemat, biar bisa bayar sewa, kalau telat bayar nanti dendanya 10%."
"Sekarang masih berapa uangmu di bank?" tanya pakde sedikit gusar.
"Ada kalo cuma 5 juta, soalnya yang 5 juta sudah untuk biaya sekolah Danu," jawab ibu. Aku sebenarnya tak ingin peduli.
Sebodo amat dengan tanah ini? Sebodo amat dengan segala biaya-biaya besar yang aku tak tahu harus darimana carinya. Sehari seratus ribu saja kadang hanya digunakan ibu untuk melunasi hutang-hutangnya di rentenir mulut gurame itu.
Aku tahu semua menyingkir, membiarkan ibu yang pasang badan. Pakde selalu menekankan ini juga tanahnya, bapak tak ada urusannya. Karena memang sifat bapak yang selalu diam diperlakukan seperti apapun di keluarga ibu. Ngrumangsani, katanya. Aku bahkan sakit hati berkali-kali. Aku akan beranjak karena tak kuat lagi dengan kata-kata pakde yang memojokkan.
"Berarti jatahmu udah habis, bahkan aku saja tak dapat bagian, kamu boleh pergi dari sini. Biar sejengkal tanah tuan Husen ini aku yang urus. Kau pergi saja dengan keluarga bodohmu itu, bahkan suamimu tak becus membiayai sekolah anaknya? Lalu kau jual tanah seenak jidat tanpa persetujuan yang lain? Mimpi kamu!" kata pakde mencemooh. Hati sakit sekali mendengarnya. Lalu segera kukemas baju-baju yang sebagian juga pakde yang membelikan. Buku-buku lusuh serta tas sekolah.
"Beri kami waktu sampai besok mas, kamu kan tahu ini sudah malam. Danu lelah, Naya juga lelah. Biarkan sampai mereka sekolah jangan sampai ia ikutan bodoh seperti bapaknya ini, ya mas?" Bapak mencoba bernegosiasi. Tanpa kami sadari salah satu anggota dari kami pergi, tanpa pamit. Ia hanya langsung melenggang pergi tanpa peduli dengan teriakn bapak dan ibu. Aku juga bertekad pergi, namun kemana aku harus pergi? Aku hanya mempunyai bekal 20 ribu rupiah dari hasil setrika hari ini. Oh iya, aku masih ada tabungan di bank yang berhasil aku kumpulkan jika sisa atau pakde Dar iku memberikan uang jajan. Aku harus pergi. Namun bersamaan barang-barang dilempar keluar disusul tangis ibu yang pecah. Bapak hanya bergeming memeluk ibu sambil terus menyerukan maaf.Sejuta maaf yang selalu aku dengar, bukan lagi alasan.
Sejengkal tanah warisan yang kini menjadi tanah tuan telah menghancurkan kehidupan kami? Sejangkal warisan sebesar dua puluh juta yang bisa melupakan hubungan darah? Aku kecewa sekali lagi. Kecewa yang kian memupuk subur benih-benih dendam dalam jiwa. Sakit hati yang kian terpatri makin menghujam jantungku. Atau dalam pandangan mereka hartalah yang menjadi hal utama?
"Ayo pergi kemana yang bisa ditempati, rumah kosong berhantupun Naya tak takut. Biar besok Naya yang bayar beserata bunga-bunganya, tapi sebelumnya aku bersumpah! Keluarga pakde pakde nggak berkah!" aku beranjak dengan hati sangat sakit. Ibu masih menangis bukan lagi sesenggukan lagi. Tangisan yang menurutku memuakan. Aku menoleh sekilas melihat rumah itu, lamat-lamat kulihat pakde Dar berkelahi dengan pakde Husen.
"Naya bisa berhenti sekolah sebentar?" tanya bapak menunduk. Aku menggeleng tegas.
"Biar Naya ikut kerja, gantiin bang Danu. Naya sanggup kok kerja kasar," kataku mantap yang hanya dijawbi dengan gelengan kepala.
"Jangan Nay, maafin bapak ya? Bapak bodoh, nggak bisa kasih kalian pendidikan yang layak, palah minta berhenti," ujar bapak lagi
Kami hanya terus berjalan tanpa arah, menyisakan sedih tanpa tahu kemana kaki akan melangkah. Aku Naya. Bertekad untuk tak menyerah dan akan membuktikan bahwa aku bisa membayar semua sakit hati ini.
Tatapanku sedikit heran ketika seorang perempuan menyambut kami pada sebuah rumah kecil. Gubug bambu yang reyot.
"Perkenalkan, ini ibu sambungku. Bapak beristri emapat dan ini salah satunya. Kita numpang dahulu disini untuk sementara waktu. Simbok Nur ini istri pertamanya dan dia sangat menyayangiku dulu," kata bapak.
Aku dan ibu hanya mengangguk dalam diam lalu menyalaminya. Kami masuk kedalam rumah reyot yang sangat memprihatikan. Ruangan tamu yang besar dipenuhi amben yang juga luas mempersempit gerak. Bahkan sepeda kamipun tak muat. Hanya ada tiga ruangan disini. Bahkan kamar mandi berada di luar rumah berdekatan dengan sumur.
"Kalian santai saja, ini bukan tanah tuan itu. Ini tanah mbok Nur yang rajin ngaji. Besok kau tetap bisa menyetrika seperti biasa. Mbok Nur biasanya membuat growol dan cenil untuk dijajakan di pasar," kata bapak menjelaskan.