Awalnya baik-baik saja. Tawa menggelegar yang menenangkan malam, serta nyanyian lembut dari suara halus Mommy. Wanita itu memiliki suara manis yang membuat mulut kecilku tak berhenti menganga.
Hari itu hari ulang tahunku, Daddy membawa kue besar bergambar kartun kereta api thomas. Tujuh lilin yang berdiri tegak di atas kue tersebut seperti tanda jika diriku sudah memasuki usia 7 tahun.
Tapi, saat hujan tiba-tiba datang. Disertai gemuruh guntur serta cercahan petir yang memekikkan telinga, aku tak tahu apa-apa saat beberapa orang bertubuh besar penjaga Daddy datang dengan darah disekujur tubuhnya.
Mommy memelukku, mengabaikan darah yang membasahi bawah sepatuku. Di sana, lebih tepatnya saat bulan Purnama bersinar sembunyi-sembunyi dan gonggongan anjing liar terdengar mengerikan. Peluru panas menembus tepat di dalam kepala mereka. Membuat seluruh darah yang berada di dalam kepala berceceran keluar hingga membasahi kue tart bergambar Thomas itu.
Bola mata hijauku hanya memperhatikan tanpa suara. Telinga seolah tuli saat Mommy menangis bersama Daddy yang tergeletak tak lagi bernyawa. Kepalanya berlubang dan aku tidak tahu karena apa.
Aku benci melihat Mommy menangis.
Dan aku lebih benci lagi melihat nyawa pahlawanku direnggut paksa malam itu juga.