Bosan. Tak ada yang dapat dilakukan saat ini selain mendengar ocehan seorang pria di depan sana, menjabarkan berbagai materi yang disertai diagram-diagram aneh dari sorotan layar. Dalam waktu dua puluh menit, pria itu sudah mampu mengubah suasana kelas menjadi hawa yang lebih dominan. Tak sedikit dari para siswa yang meletakkan kepala mereka di atas meja dan bermain ponsel, hanya beberapa orang saja yang masih setia menyimak dengan asik.
Tetapi, tidak untuk siswa yang satu ini. Dia lebih memilih untuk menatap kosong ke luar jendela selama pelajaran, memerhatikan dahan-dahan yang melambai karena tertiup angin. Ia bernama Agnus Castus. Seperti yang sudah disebutkan, namanya berasal dari nama sebuah bunga yang memiliki arti penggambaran sikap dingin, cuek dan tidak berperasaan. Ditambah lagi dengan rumor yang sudah lama beredar kalau Agnus sangat benci 'berteman'.
Ya, berteman. Setelah mendapat penindasan selama enam tahun lamanya, dia memutuskan untuk sibuk dengan diri sendiri dan dunianya selepas lulus dari sekolah dasar. Itu semua ia lakukan sejak awal masuk menengah pertama dan terus bertahan hingga sekarang. Bahkan ketika mendapat jadwal pembuatan kelompok kerja, Agnus selalu tidak datang setiap diadakan rapat pembahasan. Dia sangat membenci kerumunan. Dia benci orang-orang yang berusaha mendekatkan diri kepadanya.
Menurutnya, berteman hanyalah akan membawa kesialan, bencana hidup dan penderitaan yang lain. Mereka yang disebut sebagai 'teman' kebanyakan hanya akan berperan sebagai benalu daripada berperan sebagai penolong atau seseorang yang akan menemaninya ketika gundah. Prinsip hidup sendiri memang sudah dipegang erat oleh Agnus belakangan ini, bahkan dengan beranggapan seperti itu, penindasan selama enam tahun di masa lalunya itu sudah terbuang dengan cepat, walaupun sewaktu-waktu akan datang kembali dengan mudah.
Meski Agnus terlihat dingin dan cuek ketika berada di kelas ataupun tempat umum, ia tidak akan menggunakan sikap itu ketika berada di dekat adik perempuan kecilnya. Satu sisi yang tak pernah ia publikasikan kepada orang-orang dan hanya membiarkan keluarga saja yang mengetahuinya. Faktor Agnus menjadi seseorang yang penyendiri sudah termasuk dengan keadaan orang tuanya. Sejak orang tuanya meninggal empat tahun yang lalu, Agnus hanya dapat memendam segala gejolak di hatinya sendirian.
Ketika ia kembali merasakan hal-hal seperti itu, tak ada tempat untuknya selain kamar, taman belakang sekolah, dan ruang BK. Ia juga tidak bisa menceritakannya kepada siapa-siapa, selain memendamnya atau berbincang dengan seorang seorang guru bimbingan konseling di sekolahnya. Baginya, pria itu sudah seperti keluarga. Terlebih lagi, dengan paras yang masih terbilang muda, Agnus lebih menganggapnya sebagai kakak.
Secara pribadi, Agnus menganggap ruang BK sudah seperti rumah kedua dan juga tempat pelarian terbaik. Agnus bahkan sedikit bisa terbuka kalau hanya berdua dengan pria tersebut. Semua ia lakukan setiap hari, setiap saat, dan setiap ia merasa telah diambang batas. Ah, ternyata belum disebutkan namanya. Pria tersebut bernama Alexander Alex atau lebih akrab dengan panggilan Alex. Tidak sesuai parasnya yang masih terlihat muda, Alex berusia cukup tua dari kebanyakan pria yang mengajar di sana.
"Oi, Agnus. Coba kemari sebentar," panggil Alex. Agnus yang sedang berbaring di atas sebuah sofa panjang pun mau tidak mau menghampiri pria tersebut.
"Kenapa, Pak?" tanya Agnus.
"Bukannya bapak sudah bilang ke kamu buat isi resume tentang diri kamu sendiri dengan lengkap? Kenapa ini masih ada yang kosong?" tanya Alex sambil menunjuk sebuah kolom kosong pada kertas dengan pulpennya.
Agnus mencondongkan sedikit tubuhnya agar memperjelas penglihatan, setelah itu kembali berdiri tegap diiringi dengan hembusan napas berat. Agnus menatap ke arah sebuah jam dinding yang terus membunyikan suara disetiap detak jarumnya, ia juga menggaruk tengkuk belakangnya yang padahal tidak gatal. Alex yang melihat tingkah aneh Agnus kembali berbicara, "Kenapa diam?" tanyanya.
"Untuk kata-kata yang saya pegang teguh itu cukup dramatis, Pak. Saya takut bapak salah paham sama saya," jawab Agnus.
"Emangnya apa?" tanya Alex yang semakin penasaran.
Agnus mengambil napas yang cukup dalam, "Matilah," ucapnya singkat.
Alex sempat terdiam beberapa saat, "Oke. Sepertinya bapak tahu kenapa kamu selalu dikucilkan oleh teman-teman di kelasmu," sahut Alex yang lanjut merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya.
Agnus yang mendengar kata 'dikucilkan' pun langsung menoleh, kedua alisnya saling menyatu satu sama lain. Kepalanya sedikit dimiringkan, kedua matanya terus menatap Alex yang masih sibuk dengan tumpukan kertas. "Maaf, Pak. Saya tidak dikucilkan tapi, saya yang memilih sendiri untuk menyendiri."
Alex diam, ia lupa kalau Agnus adalah seorang anak dengan prinsip hidup sebagai makhluk anti-sosial. Dia tidak suka bergaul dengan teman-teman seusianya ataupun kerabat dekatnya, meskipun Alex cukup dekat dengannya, terkadang ia harus menggali lebih dalam lagi untuk mengetahui masalah anak tersebut. Merepotkan memang, tetapi itu dijadikan sebuah landasan pacuan menarik baginya.
"Haah~, bapak harus benar-benar melakukannya padamu untuk saat ini. Agnus, kamu sudah bapak masukkan ke dalam club relawan. Selamat bergabung," ucap Alex sambil memijat pelipis matanya.
Terkejut. Tubuh Agnus mematung sempurna. Yang ada di dalam benaknya sekarang hanya satu hal, dia akan bergabung ke dalam club relawan. Kehidupan yang selama ini ia banggakan sebagai seorang penyendiri, perlahan mulai runtuh. Keringat mulai bercucuran deras, kaki Agnus gemetar lemas hingga akhirnya terjatuh tanpa sengaja. Alex yang tak henti-hentinya melempar pandangan ke arah Agnus, terlebih setelah ia terjatuh tanpa sebab seperti itu.
"Kamu kenapa?" tanya Alex yang ikut menunduk.
"Ba-bapak, masukin saya ke-kemana?" tanya balik Agnus tanpa menghiraukan pertanyaan dari Alex sebelumnya.
Alex menghembuskan napasnya berat, pria itu berdiri dari kursinya dan mendekati Agnus secara perlahan-lahan, tak lupa diiringi senyuman manis yang terpasang di wajahnya. Saat sampai di hadapan Agnus, Alex mengulurkan tangan. Tanpa berpikir panjang, Agnus langsung menyambar tangan pria tersebut. Namun sayang, bukannya membantu Agnus berdiri Alex justru semakin menindih siswa itu dengan cara ia duduk di atas tubuh Agnus. Wajah yang semula indah dengan senyuman, kini berubah mengerikan dengan seringih penuh kekejaman menurut Agnus.
"Akan bapak beri tahu satu hal, kita manusia tidak bisa hidup sendiri. Kita—manusia—tidak bisa hidup tanpa manusia lain, paham? Jadi berhentilah seolah kamu itu Tuhan di duniamu sendiri," jelas Alex dengan nada yang sangat rendah. Sedangkan Agnus semakin menjadi-jadi.
Agnus masih saja terdiam, dia hanya menatap wajah mengerikan dari seorang pria bimbingan konseling di sekolahnya yang saat ini sedang menindih dirinya. Tanpa Agnus sadari sebuah air mata menetes pelan, Alex yang awalnya masih menyeringai menyeramkan segera merubah air wajahnya drastis. Ia turun dari atas tubuh Agnus dan membantu siswa itu untuk duduk, "Hei-hei, kau kenapa?" tanya Alex khawatir.
Agnus menyeka air matanya, kemudian menatap Alex. Tetapi tetap saja air matanya kembali keluar tanpa ia minta. "Huaaa, Pak. Bapak telah merekomendasikan saya jalur nerakaa."