Akhirnya, Pak Danis pergi dari rumah dua hari bersama dirinya. Ada seutas rasa di dalam dadaku. Saat dia pergi dan benar-benar pergi. Aku merasa sepi.
Aku kehilangan selera makan.
Susu dan Roti milik pak Danis masih ada di lemari pendingin. Aku tak berani menyentuhnya, sesuai perkataannya. Jangan sentuh makananku.
Tapi, roti itu mulai keras. Besok jamur-jamur akan mulai menggerogotinya. Susunya juga sama. Aku ambil dan aku buatkan sesuatu untuk Pak Danis. Besok pagi akan kubawa untuknya.
..
Aku celingukan di ruang guru. Sambil membawa tas bekal. Kosong, pak Danis tak ada di sana. Kuberanikan diri untuk bertanya pada guru yang ada di sana.
"Ada di Lab."
Aku segera mencarinya di sana. Benar saja dia di sana. Duduk sendirian membaca buku.
Tok.
Tok.
"Assalammualaikum... Pak."
Dia hanya diam melihat lurus ke arahku. Sejak kejadian malam itu aku berasa sangat kikuk di depannya.
"Maaf, saya mau kasih ini buat Bapak."
Dia mengriyitkan dahinya.
"Waalaikum salam, apa itu?"
"Susu dan roti yang ada di rumah."
Ku keluarkan sebuah kotak bekal untuknya. Ku buatkan dia puding roti. Lengkap dengan taburan keju di atasnya.
"Maaf kalau tidak enak," ucapku hati-hati. "Maaf juga nggak ijin dulu. Soalnya, ..."
Dia mengambil sendok dan mulai memakannya.
Wajahnya yang datar-datar saja berubah sumringah.
"Nggak enak!"
"Waa?? what? Perasaan saya sudah enak Pak."
"Masa?"
Dia menyendokkan puding roti itu ke mulutku.
Manis, gurih, legit.
Apa yang salah??
Seutas senyuman tergambar jelas di wajahnya. Aku diam menunduk dalam.
"Maaf besok Diah bikin yang baru. Sudah sedikit masam. Diah permisi."
Ku masukkan lagi wadah bekal itu.
"Kamu saja yang makan. Wajahmu sudah seperti mayat idup. Kenapa??? Kamu lagi mogok makan??"
"Ng...ng... iyah ... saya nggak selera makan. Permisi."
Dia menarik tanganku, membawaku ke kantin sekolah. Memesankan makanan dan duduk di depanku.
"Ayo makan!" perintahnya padaku.
"I ii...iyah..."
Dia mengambil kotak bekalku lagi dan membukanya. Memakannya sedikit demi sedikit. Aku memakan makananku pelan.
"Tumben jaim?" ucapnya usil.
Aku hampir tersedak mendengarnya. Kusesap minuman di depanku. Pudding itu tandas setengah. Dia menegakkan pungungnya.
"I'm full."
"sama,"
"Nggak nanyak ,Dee."
Dih jahat banget. Tapi, bertemu dengannya membuatku senang. Walau dia membullyku habis-habisan. Aku masih bisa tenang.Apa jadinya, jika dia benar-benar menjadi imamku?
Apa jadinya hari-hariku?
Mukaku panas, aku senyum sendiri di kamar mandi.
"Girang bener, Dee?"
"Eh... hehehe..."
"Tadi ngapain makan berduaan ama Pak Danis di kantin? Mana semua orang liatin tu. Kalian kenapa? Ada hubungan apa? Kamu pacaran yah??" cecar Dira padaku. Gadis berponi itu menurunkan maskernya.
"Iii...iii ya nggak mungkin lah," aku ketawa ngangkak sendirian. Garing bin jayus.
Gadis berponi itu memegangi kedua pipiku. "Jawab jujur!"
"Itu.. i-.ii"
Alis Dira naik turun menunggu jawabanku. "Kkk ka ka mi.." entah kenapa aku jadi tergagap begini.
"Mo... lama ah." Dira akhirnya melepaskan tangannya dari wajahku.
Aku mendengkus kasar.
"Cepat atau lambat kamu harus kasih tahu ke aku yah? Atau..."
"Atau??"
"Aku akan cari jawabanku sendiri."
Dira berlalu begitu saja.