Chereads / Secangkir Kopi Senja / Chapter 3 - BAGIAN 2 : AKHIRNYA BERTEMU, WALAU SEMPAT TERPISAH JAUH

Chapter 3 - BAGIAN 2 : AKHIRNYA BERTEMU, WALAU SEMPAT TERPISAH JAUH

"Kutahan rindu ini begitu lamanya. Berjuang. Bekerja keras. Agar suatu hari nanti ketika ku kembali bertemu denganmu, ku telah merasa menjadi pria yang pantas untukmu"-Adrian P.

***

AUTHOR POV

Cukup lama Galuh terlelap dalam tidurnya hingga sebuah guncangan kecil berhasil membangunkan sang putri tidur dari tidur lelapnya. Karena merasa tidurnya mulai terusik, ia pun terbangun. Nampak seorang laki-laki paruh baya tengah tersenyum hangat kepadanya. Setelah mengumpulkan kesadarannya, Galuh membalas senyum pria yang ternyata ayahnya itu kemudian memposisikan diri duduk.

"Udah lama nunggu ayah?"

"Ihh ayah.. kalo Galuh sampe ketiduran udah pasti lama kan?" balas Galuh dengan sedikit menggembungkan pipinya.

"Maafkan ayah nak, tadi ada meeting yang sangat penting." Timpal ayah Galuh.

Setelah mendengar penuturan sang ayah tercinta, Galuh lantas memaafkan sang ayah. Ia memaklumi bahwa ayahnya merupakan orang penting yang sudah pasti akan sangat sibuk dengan berbagai urusan. Ketika ayahnya sudah kembali ke meja kerjanya, Galuh teringat bahwa ia harus menyampaikan kabar bahwa Adrian akan pulang ke Indonesia.

Akhirnya Galuh menyusul ayahnya ke meja kerja untuk mengabarkan hal ini, karena ia tidak ingin bersikap tidak sopan kepada ayahnya sebab berbicara dari jauh. Mengingat ruangan CEO di perusahaan ayahnya yang cukup besar dan luas.

"Ayah, Galuh seneng deh akhirnya Adrian akan pulang ke Indonesia."

"Really? Adrian sahabat kecilmu itu? Wah sudah lama sekali sejak kalian berpisah waktu SMP, akhirnya dia pulang juga. Ayah turut senang mendengarnya." Nampak raut muka ayah Galuh yang ikut senang melihat kegembiraan anaknya.

"Ayah ga tau kalo Adrian mau kesini? Bukannya ayah yang ngasi nomer HP Galuh ke Adrian?"

"Iya ayah yang ngasi, tapi dia ga cerita kalo mau pulang kesini."

Galuh kemudian meminta izin kepada sang ayah untuk dapat menjemput sahabatnya tersebut nanti pukul 21.00. "Ayah, Adrian akan lending ke Jogja pukul 21.00, boleh ya kalau Galuh jemput dia di bandara nanti malam?"

Mendengar pertanyaan sang anak, Bima nampak sedikit berpikir mengingat putrinya akan pergi di waktu yang terbilang cukup malam. "Hmm.. malam juga lendingnya. Tapi, tidak apalah kalo kamu mau menjemput sahabatmu itu. Kamu pasti juga kangen sama dia kan?"

Mendengar jawaban sang ayah tanpa berlama-lama, Galuh lantas memeluk sang ayah dan mengucapkan terima kasih banyak. Ayahnya pun membalas pelukan putrinya sembari membisikkan kata-kata, "Jaga dirimu ya nak. Hati-hati jangan sampai kamu kenapa-napa, oke?"

"Baik ayah." Balas Galuh sembari melepas pelukannya pada sang ayah.

Setelah menemui sang ayah dan meminta izin untuk menjemput sahabat lamanya, Galuh kemudian beranjak pergi meninggalkan kantor sang ayah dan pulang ke rumah.

Sembari menuju parkiran yang berada di basement, ia memikirkan kado yang cocok yang akan ia berikan pada sang sahabat lama. Galuh kemudian mengingat kembali apa yang disukai oleh sahabatnya tersebut. "Apa ya yang disukai Adrian dulu? Duh jangan sampe lupa, masa masih muda udah pikun". Ketika ia tiba di tempat mobilnya berada, ia kemudian mendapat ide untuk memberikan hadiah berupa makanan kesukaan dari sahabatnya tersebut.

Berdasarkan ingatan Galuh, Adrian itu sangat suka dengan makanan Bakpia. Bakpia sendiri merupakan jajanan khas dari Yogykarta berupa kue yang berbentuk bulat pipih dan berukuran kecil. Di dalamnya berisi campuran dari tumbukan kacang hijau dan gula, namun bisa juga berisi isian yang lain. Karena telah mengingat makanan kesukaan dari sahabatnya tersebut, ia kemudian mulai mengendarai mobilnya menuju toko Bakpia langganannya.

Sesampainya di toko Bakpia, Galuh kemudian melihat-lihat Bakpia mana yang akan ia jadikan ucapan selamat datang kepada sahabatnya. Cukup lama melihat-lihat akhirnya ia membeli 2 kotak Bakpia dengan rasa kacang hijau dan keju. Setelah berkutat dengan kado sambutan untuk sahabatnya, Galuh kemudian memilih untuk pulang ke rumah untuk membersihkan diri dan bersiap.

Langit masih menampilkan sedikit semburat merah jingga yang mencolok disana, tandanya petang telah beranjak mempersilahkan sang gulita malam untuk menggantikan tempatnya. Masih cukup lama waktu untuk menuju pukul 9 malam. Sembari menunggu, Galuh kembali melihat deretan foto yang berhasil diambilnya pagi tadi. Semuanya terlihat indah. Hanya perlu sedikit menambahkan sentuhan editing agar hasilnya semakin memuaskan dan siap untuk dikirim pada orang yang meminta.

Galuh selama ini memang tidak terlihat mondar-mandir di kantor ataupun melakukan pekerjaan formal lainnya. Hal ini dikarenakan Galuh masih ingin merasakan kebebasan dalam menjalani masa mudanya, karena ia tahu bahwa ia akan menggantikan posisi sang ayah suatu hari nanti. Untuk bisa menghasilkan pundi-pundi uang untuk keperluannya, ia bekerja sebagai freelancer dalam bidang fotografi. Karena kemampuan fotografinya yang mumpuni membuatnya seringkali mendapat tawaran memotret untuk majalah maupun perusahaan tertentu.

Galuh POV

Alunan jam mulai mengalun indah di dalam kamarku, membuyarkan konsentrasiku akan berbagai hasil foto yang kudapat. Seketika aku teringat akan janjiku yang akan menjemput sahabat lamaku malam ini di bandara. Ku tengok jam yang bertanggar indah di dinding tersebut, dan angka 8 lah yang tertunjuk disitu. Segera kurapikan kembali semua pekerjaanku dan mulai untuk bersiap untuk menjemput sahabatku.

Tak sabar hati ini bertemu sahabat lama. Bukan hanya untuk sekedar kembali mengejar momen-momen yang terlewatkan, tetapi juga untuk bersama menghabiskan waktu dengan canda dan gurauan. Tak perlu berlama-lama aku telah siap dibalik kemudi, berdandan sederhana namun terlihat hambar bila dipandang tak lupa juga dengan kado yang akan kuberikan. Kulajukan mobilku membelah ramainya jalanan di Kota Jogja malam itu. Aku berharap, aku tidakakan terlambat dan membuatnya lama menantiku.

Kala menanti hijaunya lampu lalu lintas, terlihat sebuah pesan masuk di ponselku. Kulihat sepintas sepertinya dari Adrian. Berhubung lampu yang masih berdurasi 60 detik, ku buka pesan itu.

Adrian Pramana

Hei Ningrum sayang, aku sudah sampai. Kau dimana?

Mataku terkejut membaca pesan tersebut, diluar dugaanku ternyata dia sampai lebih awal. Padahal aku telah memperkirakan waktu tempuh agar bisa tiba disana tepat waktu. Tapi tak kupungkiri, jalanan Jogja malam ini entah mengapa begitu sangat ramai. Membuat pengguna mobil sepertiku menjadi sulit untuk bergerak dengan leluasa.

Lampu yang tiba-tiba hijau membuatku lantas menginjak pedal gas, tanpa sadar aku melupakan untuk membalas pesan Adrian. Aku lantas memutuskan membalas pesannya ketika sampai di bandara. Tidak membutuhkan waktu lama, aku telah sampai di bandara. Walupun aku harus sedikit melajukan mobilku tidak seperti biasanya.

Selesai ku parkirkan mobilku, aku kemudian meraih kado yang telah ku siapkan dibagian kusi belakang. Ku raih ponselku sembari mengetik balasan atas pesan Adrian dengan cepat.

Galuh C. N.

Maaf aku baru membalas, aku sudah sampai.

Kau masih di ruang tunggu?

Adrian Pramana

Tentu saja Ningrum-ku, baiklah kau ku maafkan.

Sekarang jemput aku.

Apa kau tega melihatku seperti anak hilang di kerumunan?

Galuh C. N.

Sekali lagi maafkan aku Adrian.

Haha.. bisa saja kau, baiklah aku akan segera kesana.

Tunggu.

Jangan kabur, aku membawa hadiah spesial.

Adrian Pratama

Wah.. hadiah? Asik..

Love you Ningrum <3

Menyusuri lorong-lorong bandara, akhirnya aku sampai di ruang tunggu kedatangan penumpang. Banyaknya penumpang kala itu membuatku kesulitan untuk mencari keberadaan Adrian. Mataku tak henti untuk menelisik ke setiap sudut ruang tunggu bandara. Hingga terlihat ada seorang pria yang terlihat seumuran denganku melambaikan tangan.

"NINGRUM!!"

Ku tengokkan kepalaku ke arah sumber suara yang memanggil namaku. Dari jauh tak begitu nampak mukanya, kemudian pria tersebut berjalan mendekat. Setelah kira-kira jarak kami 5 meter, barulah aku sadar itu Adrian. Aku berlari memecah kerumunan kemudian memeluknya. Aku benar-benar rindu padanya. Dia pun tak berbeda denganku, memelukku dengan erat. Mungkin bagi beberapa orang yang melihat, kami selayaknya pasangan kekasih yang tengah melepas rindu setelah lama tak bersua.

"Selamat datang kembali di Jogja. Bagaimana perjalananmu?" tanyaku pada Adrian.

"Perjalananku sangat lancar, tapi aku tak henti-hentinya memikirkan dirimu Rum." Jawabnya yang langsung kuhadiahi sikutan kecil di perutnya hingga dia meng-aduh sakit.

"Kau masih saja memanggilku Ningrum sejak dulu, memang lain."

"Memangnya tidak boleh hmm?" tanyanya sambil mecubit pipiku gemas.

"Terserah."

"Kan berbeda dari yang lain, anggep aja itu panggilan sayang aku buatmu"

"Terserah apa maumu lah."

Aku kemudian teringat akan kado yang sengaja kubawa untuk kuberikan pada Adrian. Pada kali ini, aku akan memberikannya sedikit kejutan.

"Ardian aku ada kado, tapi kamu merem dulu dan ga boleh ngintip. Kalo ngintip aku tinggal kamu di bandara."

"Dih, ribet banget sih mau kasih kado aja. Iya deh kalo gitu."

Adrian kemudian menutup matanya. Aku pun lantas mengambil sebuah bakpia rasa kacang hijau dari dalam dusnya kemudian menyuapkannya ke mulut Adrian.

"Adrian, ayo buka mulut dulu."

"Buat apa sih Rum-Rum sayang?"

"Udah deh buka mulut aja sih, atau aku tinggal?"

Adrian lalu membuka mulutnya dan aku lantas menyuapinya bakpia tadi. Dilihat dari ekspresi wajahnya dia sangat terkejut. Dia lantas membuka matanya dan melanjutkan menikmati potongan bakpia yang kusuapkan tadi.

"Wah! Bakpia, kau masih ingat saja dengan makanan kesukaanku. Terimakasih Galuh." Adrian kemudian kembali memelukku. Kubalas pelukan Adrian dengan pelukan hangat.

"Adrian, sebaiknya kita segera pulang. Hari sudah semakin malam dan pasti kau sangat lelah dan aku juga harus pulang karena ayahku pasti khawatir." Kataku pada Adrian agar kami segera berlalu dari bandara ini.

Kami lantas memutuskan untuk segera pulang. Adrian berencana untuk menemui ayahku terlebih dahulu sebelum ia pulang kerumahnya. Namun ku tolak karena jam yang telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Aku memintanya untuk datang saja ke rumah besok dan ia pun menyetujuinya.

Selepas aku mengantar Adrian ke rumahnya, aku lantas bergegas untuk pulang ke rumah. Aku yakin pasti ayah sudah sangat mencemaskanku kali ini. Lima belas menit berlalu aku telah sampai di halaman rumahku. Terlihat beberapa lampu rumah yang sudah padam menandakan ayah telah tertidur. Ku langkahkan kakiku menuju kamarku yang di lantai dua. Karena hari sudah cukup larut, aku memutuskan untuk membersihkan diri dan tidur.