Peti harta dengan berbagai ukuran berada tepat di depan matanya, Pino menggosok cincin penyimpanan pemberian ayahnya. Ia mengambil salah satu peti dan mencoba untuk membukanya secara paksa, cukup sulit, namun ia berhasil membukanya.
Cahaya keemasan menyilaukan matanya, dia melihat ratusan koin emas di dalam peti itu, tak mau membuang waktu, ia langsung memasukkan semua peti-peti itu ke dalam cincin penyimpanannya. Sebelum memasukkan ke dalam cincin penyimpanan, dia membuka semua peti dan melihat ratusan koin emas, perak, maupun tembaga.
Selain koin-koin tersebut, dia juga mendapatkan beberapa item yang tidak ia ketahui, meski terlihat seperti aksesoris, Pino merasakan adanya energi sihir yang tidak kecil dari item tersebut.
Setelah memasukkan semua peti, matanya kini beralih ke pedang yang memiliki ukiran naga di gagangnya. Pino sangat tertarik pada senjata itu, seperti ketertarikannya pada katana bergagang hitam beberapa waktu lalu, memasukkan senjata tersebut ke dalam cincin penyimpanannya, dia bergegas meninggalkan tempat itu dan pergi keluar bersama dengan Vivi serta anak-anak lainnya.
Cincin penyimpanan di tangannya sangatlah membantu, sebuah item sihir yang tak ia ketahui bagaimana cara kerjanya, namun dia tahu jika cincin ini dapat menyimpan barang dengan ukuran ruang di dalam cincin itu setara dengan sebuah ruang kecil berukuran 2 x 2 meter.
Saat dia keluar, dia melihat Vivi dan anak-anak lainnya berdiri ketakutan. Vivi melindungi mereka, dan memunggunginya, rasa takut itu datang dari mayat puluhan Goblin, termasuk Goblin Chief yang membuat mereka merasakan rasa sakit setiap waktunya.
"Tidak perlu risau dengan monster itu, mereka tak akan bangkit lagi. Huft... sekarang, situasi menjadi sulit setelah ceritamu tadi Vivi, apa yang ingin kalian lakukan?" tanya Pino, tanpa menanyakan hal ini, dia tidak tahu harus ia apakan mereka.
Membawanya ke Kota Morshore, lalu apa? Meninggalkannya begitu saja? Dia benar-benar dibingungkan oleh hal ini, apalagi rencana awalnya sudah hancur semenjak mendengar cerita dari Vivi yang menceritakan bagaimana tindakan para penduduk di Desa Huem untuk mendapatkan keamanan palsu itu.
"Aku tidak tahu, saat ini aku hanya ingin meninggalkan tempat ini, dan menjauh dari Desa Huem. Tempat itu bukan tempat yang pantas untuk disebut sebagai hunian manusia, mereka yang tinggal di tempat itu jauh lebih buruk dari monster. Aku rasa mengikutimu ke Kota Morshore merupakan pilihan yang paling tepat."
Pino bisa merasakan kemarahan dan ketakutan dari suara yang Vivi keluarkan. Dia benar-benar tidak mengharapkan hal ini, jika Vivi dan anak-anak itu ikut serta dengan dirinya ke Kota Morshore, entah apa yang harus dia lakukan. Menolak mereka itu tidak bisa ia lakukan setelah menolongnya.
Membantu tidak hanya mengeluarkan mereka saja, setelah memilih untuk menolong mereka, paling tidak dia harus meninggalkan mereka dalam kondisi yang jauh lebih baik dari saat dia menemukan dan mengeluarkan mereka.
"Aku masihlah seorang murid dan aku tidak bisa melindungi kalian semua, menyelamatkan kalian di tempat ini hanyalah sebuah kebetulan semata, namun aku akan tetap bertanggung jawab. Jika kalian tetap bersikeras untuk ikut denganku ke Kota Morshore, aku akan membawa kalian, namun sesampainya kita di sana, tugasku selesai. Bagaimana dengan itu, Vivi?"
Pino menawarkannya dengan serius, dia hanya bisa melakukannya sampai di titik tersebut. Melihat Vivi mempertimbangkan tawarannya, dia tahu jika ia berhasil. Segera, setelah itu, dia membawa mereka keluar dari pemukiman Goblin, dan pergi menuju ke Desa Huem.
Mana mungkin dia membiarkan keberadaan tempat semacam itu, meski harus melakukan satu tindakan yang tidak pantas, dia akan melakukannya.
"Kenapa kita pergi ke Desa Huem? Hei!!! Kita akan pergi ke Kota Morshore, kan? Dengarkan aku, Tuan!!! Jangan hanya diam saja!!!" Vivi terus berteriak sepanjang mereka berjalan, namun tak sepatah kata pun keluar dari Pino.
Dia diam karena dia tengah menguatkan hatinya untuk menggunakan kekuatannya dalam menghilangkan benih hitam di Desa Huem. Ada dua pilihan yang kini terngiang-ngiang di pikirannya, kedua pilihan yang tak ingin ia lakukan setelah mengirim para wanita di pemukiman Goblin tadi ke alam lain.
Sepanjang jalan, tangannya berkeringat saat memegang pedang di pinggangnya. Pedang berukirkan naga di gagangnya yang ia dapatkan di pemukiman Goblin. Matanya penuh kebimbangan, memikirkan tindakan yang akan ia lakukan saat tiba di Desa Huem nanti.
Apa yang harus aku lakukan? Menghapus dan menghilangkan keberadaan itu atau meniadakan semua yang ada di sana? Segala tindakan yang akan aku lakukan akan berimbas pada diriku ke depannya, sulit sekali melakukan tindakan yang harusnya mudah ini, pikir Pino.
Dia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri, dia tahu tindakan itu yang terbaik, namun perasaannya mencoba menyangkalnya. Setelah ia mengambil kehidupan para wanita itu, perasaannya terasa terkikis sedikit demi sedikit, seolah-olah ada sebagian dari dirinya yang hilang.
Ia tidak tahu mengapa perasannya bisa sampai seperti ini, perlahan dia merasa berbeda. Seolah-olah dirinya saat ini berbeda dengan dirinya sebelum mengirim para wanita itu pergi ke alam lain. Ia tidak mengerti lagi, di sepanjang jalan dia tidak mendengarkan Vivi yang terus berteriak dan berbicara sampai berbusa-busa.
Pikirannya terus pergi ke sisi lainnya, dia mencoba untuk menguatkan hatinya dengan alasan yang bisa ia pertanggung jawabkan, terus menerus memikirkan alasan itu hingga dia benar-benar memiliki tekad untuk melakukannya.
Selama perjalanan itu pula, dia mengeluarkan raut wajah yang menyeramkan hingga membuat anak-anak tak berani mendekatinya ataupun bertanya padanya, dan raut wajah itu pula yang membuat Vivi terus berbicara tanpa ada henti.
Apa sih yang dipikirkan pria ini? Dari tadi hanya diam, raut wajahnya pun menjadi menyeramkan, sebenarnya apa yang ada di pikirannya? Mungkinkah dia berniat untuk membawaku ke Desa Huem dan menyerahkanku pada mereka? Tidak, dia tidak akan melakukannya kan?
Pikiran Vivi terus melayang-layang, berbagai hal negatif berlarian di kepalanya, ia berharap agar Pino tak melakukan tindakan seperti yang ia pikirkan.
Perjalanan mereka terhenti saat mereka sampai di pintu masuk desa, Pino yang sedari tadi diam pun menatap ke arah pintu desa, matanya yang penuh tekad berubah menjadi dingin. Pandangannya jauh lebih dingin dari pada tatapannya ke arah monster, namun tatapan mata itu juga tampak tak bernyawa seolah-olah bukan dirinya.
Ya, dia mengalihkan pikirannya ke sisi yang berbeda saat memasuki desa itu bersama Vivi dan yang lainnya. Ia sudah meneguhkan hatinya, pikirannya terus mengulang-ulang alasan yang bisa ia pikirkan, dan tak henti-hentinya dia mengucapkan alasan itu di dalam pikirannya.
"Pino kau harus melakukannya!!! Apa kau ingin ada Vivi lainnya, anak-anak lainnya yag mengalami nasib serupa dengan mereka? Tapi, aku sudah membunuh dan menghancurkan pemukiman Goblin, jadi tidak akan mungkin ada tindakan serupa lagi di masa depan. Bodoh, itu hanya pikiranmu sendiri, apa kau pikir hanya monster-monster itu yang ada di sekitar sini? Kau tidak tahu, lebih baik kau potong akar masalahnya. Demi para orang-orang yang akan datang, kau harus menghabisi otak dari semua tindakan di Desa Huem!!!" Pino berbicara dengan dirinya sendiri terus menerus sepanjang perjalanan, maupun saat dia sudah ada di pintu masuk desa.
Begitu mereka masuk, Pino sudah mengambil keputusan dan matanya menjadi lebih dingin dan kosong.