"Bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apa kau datang kemari untuk menyelamatkan kami?"
Pertanyaan tiba-tiba dari gadis remaja itu tidan terduga, bukannya senang telah diselamatkan, dia tampak waspada dengan keberadaan Pino.
Mendesah pelan, Pino tidak mengerti lagi dengan keadaan di depannya ini, dia sudah mengatakan niatnya sejak awal, namun tak diperhatikan oleh gadis itu. Segera dia melihatnya cukup lama dan mengukurnya dari bawah hingga ke atas.
"Kau berbeda dari yang lain. Mereka sama sekali tak memiliki keinginan untuk beranjak dari tempat busuk ini, namun kau memiliki keinginan itu dan jauh lebih dari itu, kau cukup waspada pada penolongmu. Apa yang kau alami di sini, nona?"
Meski kesal mendapatkan respon yang tak bersahabat dari gadis itu, Pino tetap memamerkan senyum hangatnya, meski tatapan matanya agak berbeda dari beberapa waktu lalu. Dia melihat para wanita paruh baya yang perutnya membesar, dia tidak akan membiarkan mereka keluar dari sini, dan dia juga sudah melihat keputusasaan dari mereka.
Ia mendengarkan gadis remaja bernama Vivi itu dengan cermat, dia hanya bisa memendam amarah setelah mendengar semuanya. Pendengarannya masih jelas, namun dia meragukan cerita yang dikatakan oleh Vivi, berulang kali dia mencoba untuk menepis cerita itu. Akan tetapi, berulang kali juga dia mendapatkan tamparan keras dari cerita itu, terlebih lagi situasi yang ada di tempat ini benar-benar tak masuk akal.
"Keparat!!! Mereka, bagaimana mereka berani melakukan semua itu? Apa yang mereka pikirkan, mengorbankan kalian semua demi keamanan desa, dari mana mereka mendapatkan pemikiran separah ini?" Aura di tubuhnya meledak keluar, ia sama sekali tak menahannya, dan membuat para wanita gemetar hingga memeluk lututnya.
Awalnya dia ingin membawa mereka yang selamat dan memiliki keinginan untuk hidup selayaknya orang biasa ke Desa Huem, namun setelah mendengar cerita Vivi, dia tidak tahu harus berbuat apa.
Kecelakaan? Bagaimana bisa kejadian itu disebut sebagai kecelakaan, malahan kejadian itu lebih pantas disebut sebagai pemberian tumbal. Para wanita ini merupakan pelancong yang datang dari luar Desa Huem, mereka beristirahat di Desa Huem, namun apa yang mereka dapatkan bukanlah kenyamanan malahan penderitaan tiada tara.
Dihadapkan dengan sebuah cerita yang kebenarannya masih patut dipertanyakan, dia bingung. Tanpa kejelasan namun ada bukti nyata, apa dia akan tetap diam, dan mengabaikan semua itu?
Aku tidak tahu harus bagaimana dengan situasi ini, bagaimana bisa mereka melakukan tindakan tak rasional, mengabaikan rasa kemanusiaan, dan mengorbankan seseorang hanya untuk keamanan semu semata? pikir Pino berulang-ulang, dia tak pernah berhenti memikirkan hal itu.
"Tenanglah, Vivi. Mereka akan mendapatkan balasannya, aku pastikan itu." Kepalan tangan dan genggaman pedangnya semakin menguat saat dia mengatakan hal tersebut.
"Penderitaan yang kalian alami pastilah berat, huft... aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi di luar sana. Maka dari itu, aku ingin tahu apa yang akan kalian pilih, tetap hidup sebagai orang biasa dan melupakan semua kejadian di tempat ini, atau menghapus semua ingatan ini sekaligus menghilang?"
Dia tak bisa membuang waktu untuk tetap berada di tempat itu. Dia membawa Vivi beserta anak-anak yang ingin pergi bersamanya, dan meninggalkan sisanya.
"Vivi bawa mereka keluar dari tempat ini dan tunggu aku di luar sana. Masih ada yang harus aku selesaikan," ucap Pino, ia tersenyum dan suaranya lebih lembut.
"Hati-hati, kami menunggumu di luar." Vivi beserta tiga anak kecil keluar, mereka berlari cukup cepat, melirik sekilas Pino bergegas kembali masuk ke ruangan, tempat ia menemukan Vivi dan yang lainnya.
Tidak peduli berapa kali dia melihat para wanita ini, perasaannya kacau, jika mereka hanya korban biasa, dia tak akan sekacau ini. Sayangnya, mereka bukan korban biasa, tidak hanya mendapati siksaan dan pelecehan dari para Goblin, mereka disudutkan oleh manusia.
Mereka dikorbankan oleh para penduduk Desa Huem. Sulit bagi Pino memahami rangkaian kejadian ini, setelah ia pikir-pikir kembali, kepercayaan diri pria tua yang ia temui di Desa Huem memang tak biasa. Akan tetapi, apa mungkin manusia akan mengorbankan sesama untuk keselamatannya sendiri? Pino tak bisa mempercayainya.
"Ayah, tindakanmu waktu itu, aku rasa aku harus melakukannya juga."
Menguatkan perasaannya yang gelisah, Pino mengayunkan pedangnya, dia menebas para wanita yang memilih untuk pergi bersama dengan kenangan pahit itu ke alam lain, ia memberikan kematian cepat dan tak menyakitkan dengan memenggal mereka semua.
"Ini... aku... kenapa begitu menyakitkan, aku benar-benar merenggut nyawa manusia!!! Apa ini perasaan yang Ayah rasakan? Begitu menyakitkan dan tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata." Pino memegang dadanya, dia merenggut nyawa sesama, seperti yang dilakukan oleh penduduk Desa Huem.
Perasaannya kacau, begitu sesak hingga ia ingin menangis namun tak ada air mata yang menetes dari matanya, dia hanya diam, menundukkan kepalanya. Saat dia melihat ke lantai, genangan darah mendekati dirinya, darah yang berasal dari mayat para wanita itu mendekati tubuhnya.
Dia mencoba menenangkan perasaannya yang kacau balau, semua terasa begitu menyakitkan, dan tak bisa ia ungkap lewat kata-kata. Rasa sakit itu lebih menyakitkan daripada luka yang ia terima beberapa saat lalu yang membuat dia tak sadarkan diri.
Tangannya menyentuh darah para wanita, tak lama berselang Grimoire di dalam tubuhnya bergerak dengan sangat cepat, berputar lalu terbuka, dan dengan cepat berganti dari satu halaman ke halaman lainnya. Ada beberapa sihir yang tercatat di dalamnya, sihir-sihir yang sudah ia kuasai.
Ketika berada di halaman kosong, muncul sebuah tulisan berwarna merah darah, tidak hitam seperti yang lainnya, tertulis sebuah kata Alteration of Blood. Tertulis dengan besar dan ada penjelasan di dalamnya, begitu ia mengetahui hal ini, Pino tak bisa berkata-kata.
"Gila!!! Sihir macam apa ini? Mengubah darah menjadi mana, aku bisa mengisi, dan memperbanyak mana-ku dengan menyerap darah lawanku?"
Ia bingung dengan apa yang ia rasakan, senang atau sedih? Benar-benar menggelikan, di kala dia sedang dilanda kecemasan setelah menghabisi wanita-wanita itu, dia malah mendapatkan sebuah sihir baru. Aneh sekali, sangat tidak masuk akal, akan tetapi begitu matanya melihat kembali ke genangan darah di lantai, ia terkejut setengah mati.
Genangan darah di lantai menghilang, lenyap tak bersisa, seolah-olah darah yang tadinya ada di lantai hanyalah sebuah ilusi semata. Ia sangat bimbang, pada saat itulah, dia merasakan adanya kekuatan yang berbeda masuk ke dalam tubuhnya, mengalir cukup deras memasuki inti sihirnya.
Perasaan yang begitu mengerikan membuat tubuhnya bergidik tak karuan, setelah itu dia meninggalkan ruangan secepat mungkin, dia tidak ingin tinggal di tempat itu lama-lama. Akan tetapi, dia akan kembali lagi untuk menguburkan wanita-wanita yang ia bunuh.
Bukannya keluar dan membawa pergi Vivi serta anak kecil lainnya, ia kembali ke tempat peti-peti harta dan pedang dengan ukiran naga di gagangnya.