Mereka berdua beristirahat dengan tenang, malam itu tidak ada gangguan yang mengharuskan mereka untuk waspada, namun mereka tidak tahu jika keberadaan mereka telah diketahui oleh beberapa makhluk hijau. Pada malam itu, Balam tidak memejamkan matanya dengan penuh, ia masih setengah sadar, mereka berada di luar dan di dunia yang berbahaya, jauh dari kata aman, apalagi mereka beristirahat dekat dengan sarang para Goblin.
Sudah menjadi hal yang wajar bagi Balam untuk waspada dan setengah tidur, berbeda dengan Pino yang tidur cukup pulas. Menatap Pino dengan tatapan lembut, Balam menghela nafas, "Nak... bagaimana kamu bisa tidur sepulas ini, harusnya kamu lebih waspada dengan daerah di sekitar, jangan sampai tidur sepulas ini."
Balam meregangkan seluruh otot di tubuhnya, sejak awal dia sudah merasakan ada yang mengawasinya namun dia mengabaikannya. Tanpa harus memeriksa siapa yang mengawasinya, Balam sudah mengetahuinya, mereka bermalam di dekat sarang Goblin, wajar bila ada beberapa Goblin yang mengawasinya.
Setelah meregangkan ototnya yang kaku, Balam bangkit berdiri dan segera melompat ke sebuah pohon, dia diam di atas pohon. Matanya menyapu seluruh area sekitar tempat dia bermalam, dia mencari keberadaan para Goblin yang mengawasinya. Meski di malam hari dia mampu melihat dengan jelas dan juga adanya bulan yang bersinar terang membuat pandangannya menjadi jauh lebih jelas.
"Oh... di situ rupanya kalian, membaur dengan semak-semak ya... sungguh licik. Mereka bergerak, Nak... berhati-hatilah, mereka menuju ke arahmu. Bangun... jangan terlelap dalam mimpi indahmu, ada bahaya yang mengancam nyawamu," gumam Balam, dia menemukan keberadaan para Goblin, dan dia melihat Goblin-Goblin tersebut keluar dari tempat persembunyian, mengacungkan belati dan pedang kecil, mereka bersiap untuk menyergap Pino yang tertidur.
Balam tetap berada di atas pohon, dia menyembunyikan keberadaan dan menghilangkan haus darahnya, mengamati pergerakan para Goblin yang semakin dekat dengan Pino. Perasaan cemas dan khawatir mulai menggerogoti benaknya, melihat anak semata wayangnya berada dalam situasi tak menentu, Pino masih tenggelam dalam mimpi indahnya ketika para Goblin semakin dekat dengannya.
Hanya memperhatikan situasi dari kejauhan, Balam tidak turun dan membangunkan ataupun membantu Pino, ia meredam segala perasaan buruk di benaknya, dan melihat seluruh kejadian dengan tenang. Nafasnya yang cepat mulai meredam, niat membunuhnya pun hampir menyeruak keluar dari jeruji di dalam dirinya, beruntung dia mampu menahan semuanya sehingga para Goblin tidak mengetahui keberadaannya.
Goblin semakin dekat dan hanya berjarak beberapa langkah saja dari Pino, lima Goblin mendekati Pino dengan langkah kaki yang pelan, mereka sangat berhati-hati. Setiap Goblin yang mendekati Pino mulai mengeluarkan haus darahnya, begitu kesempatan terbuka dimana Pino menggerakkan tubuhnya ke sisi lain dari tempat Goblin berdiri. Dengan secepat kilat, Goblin-Goblin itu mengayunkan senjatanya.
Brak!!
Salah satu Goblin yang menyerang Pino terbang dan menabrak sebuah pohon dengan sebuah luka sayatan tepat di perutnya. Goblin-Goblin itu bingung mengapa kawannya terbang dan menerima luka sebegitu parahnya, mereka menoleh-noleh untuk mencari tahu asal dari serangan tersebut, ketika mata mereka tertuju pada satu titik, mereka menatap titik tersebut dengan marah.
"Menarik... ternyata begitu, kamu sudah tahu keberadaan mereka namun berpura-pura tidur dan membelakangi para Goblin. Cara yang bagus untuk menipu mereka, sekarang apa yang akan kamu lakukan, Nak? Setelah mereka kehilangan kawannya, mereka akan jauh lebih beringas dari yang kamu kira, kelompok sebelumnya yang telah kau habisi... mereka tidak menunjukkan kekuatan mereka yang nyata karena keberadaanku, sekarang kamu sendiri!" gumam Balam, mengamati pertarungan dari atas pohon membuat Balam mengetahui seberapa besar perkembangan Pino.
Empat Goblin mengepung Pino, mereka menyerang Pino silih berganti dari satu serangan berlanjut ke serangan lainnya. Pedang Pino berayun tanpa henti, dia menghalau setiap serangan yang mengarah ke dirinya, langkah kakinya begitu gesit meski tangannya terus sibuk mengayunkan pedang, dia menghindari setiap serangan, meski begitu dia terdorong dan tertekan.
"Apa kamu hanya akan menghindar terus, Nak? Gunakan kakimu... serang mereka, incar salah satu dari mereka dan fokus untuk menghabisinya, kamu memiliki kekuatan yang lebih dari ini, sayang... pengalamanmu masihlah minim, jangan hanya mengandalkan pedangmu untuk menumbangkan mereka," gumam Balam, dia khawatir dengan kondisi Pino yang tidak bisa keluar dari kepungan para Goblin.
Meskipun Pino memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada Goblin, dia masih kurang dalam pertarungan nyata, hanya berlatih tanpa merasakan situasi antara hidup dan mati, tidak akan membuatnya berkembang. Balam sudah menggenggam kuat senjatanya, dia melihat para Goblin sebagai mayat, ketika dia hendak turun dan menyelamatkan Pino yang terdesak dan terus terdorong, dia melihat sebuah gerakan yang cepat dan tak terduga dari Pino. Sebuah tendangan yang kuat menghantam leher salah satu Goblin hingga membuat Goblin itu terlempar dan menabrak sebuah pohon.
Tersisa tiga Goblin, Pino mengayunkan pedangnya secepat kilat, jalur pedangnya bergerak seperti angin, melesat cepat memotong dua Goblin, menyisakan satu Goblin. Pino mendekati Goblin yang jatuh terduduk di tanah, ia menyeret pedangnya hingga membuat tanah terbelah menciptakan sebuah garis lurus, begitu Pino dekat dengan Goblin tersebut, dia mendorong pedangnya kuat-kuat ke langit dan membuat Goblin itu terbelah menjadi dua.
Adegan itu berdarah, organ tubuh Goblin berceceran dan bau anyir nan menyengat merebak memaksa masuk ke indra penciuman Pino. Balam mengamati seluruh kejadian dan dia memiliki senyum cerah di wajahnya, dia tidak langsung turun ke bawah melainkan tetap di atas pohon, dia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan Pino dengan Goblin yang masih bernafas, dari kelima Goblin masih ada Goblin yang hidup.
"Pilihan yang bagus, Nak. Jangan meninggalkan bibit masalah, tak peduli mereka manusia ataupun monster... siapapun yang mengancam kehidupanmu, mereka harus menanggung akibatnya. Membunuh dua Goblin yang sudah sekarat merupakan ampunan yang tepat... tidak hanya menghapus masalah, kamu juga meringankan rasa sakit yang mereka rasakan," gumam Balam.
Pino mengayunkan pedangnya untuk membersihkan sisa darah dari Goblin yang ia bunuh. Dia tampak berbeda dari beberapa waktu lalu, dia tidak lagi mual dan wajah serta matanya memiliki ketegasan tertentu. Dia tampak berbeda, dan aura yang keluar dari tubuhnya pun mulai mengalami perubahan. Menoleh dan melihat mayat para Goblin, ada jejak ketidaksenangan di matanya, namun itu hanya sekejap, dia merasa tidak nyaman.
"Membunuh... seperti ini rasanya... ini sangat berbeda ketika aku membunuh hewan. Perasaan itu benar-benar mengerikan, apa Ayah melarangku belajar sihir karena ini? Apa keputusanku untuk mempelajari sihir itu benar? Sihir jauh lebih mengerikan dari ini, itu dapat membunuh mereka seperti menginjak seekor semut, Hah... aku sudah memutuskan untuk belajar sihir, jadi aku akan menggunakannya dengan baik, dan tidak mengecewakan Ayah," gumam Pino.
Dia sering mendengar kisah kepahlawanan seorang penyihir tingkat 8 yang menjadi legenda, dimana dia mampu meruntuhkan sebuah gunung hanya dengan satu mantra semata. Mendengar kisah itu dari Balam setiap kali ia menanyakan tentang sihir, Pino selalu bersemangat ketika mendengarnya, dia sangat ingin menjadi penyihir semenjak kecil, namun saat ini dia agak bimbang dengan keputusannya karena apa yang telah ia perbuat, yakni membunuh monster.
Penyihir tidak hanya melawan monster terkadang mereka akan melawan sesama, dimana itu menjadi satu hal yang pasti, apalagi ia pernah mendengar Balam berkata tentang organisasi sihir yang berjalan ke arah menyimpang bukannya melawan monster, mereka malah melawan manusia dan menginginkan kehancuran, sayangnya dia hanya mengingatnya samar-samar.