.
Begitu masuk ke apartemennya Meira dikejutkan dengan dua box cupcake tergeletak di sofa ruang tamu, tapi sudah malam begini jelas Trias tak berada di sana. Meira meraih salah satu box dan membuka penutupnya, ia mencari kartu ucapan yang mungkin terselip di dalam, tapi tak ada apa pun. Meira meletakannya lagi dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas, ia menghubungi Trias.
"Hallo, Mbak. Lo tahu nggak siapa yang taruh cupcakes di sofa ruang tamu?" tanya Meira dengan satu tangan berkacak pinggang.
"Itu tadi siang mamanya Mbak Mey datang, tapikan Mbak Mey belum pulang, jadi dia titipin itu ke saya."
Meira berdecak. "Lain kali nggak usah terima barang apa pun dari orang itu, buang aja kalau bisa!" tandas Mey sebelum mengakhiri panggilannya, ia meraih dua box cupcake tersebut dan membawanya ke dapur, tapi bukan untuk disimpan di kulkas—melainkan ia buang begitu saja ke tempat sampah tanpa berpikir panjang lagi.
Tanpa memusingkannya lebih jauh Meira memutuskan untuk membersihkan tubuh di kamar mandi kamarnya seraya membiarkan waktu berjalan seperti seharusnya.
Setelah Meira berbenah di kamar mandi ia keluar mengenakan piyama pendek, rambutnya tampak basah. Dibukanya laci nakas dan mengeluarkan hair dryer dari sana, lantas aktivitas berikutnya adalah mengeringkan rambut.
Laptop yang sempat tergeletak di dekat lampu tidur kini berpindah posisi ke permukaan ranjang, Meira membukanya. Ia teringat sesuatu saat pulang dari kediaman Riska sore tadi.
"Dia kan seorang pendaki, kira-kira lingkungannya kayak gimana," guman Meira yang bersila di permukaan ranjang seraya menatap layar laptop di pangkuannya, ia mengetik sesuatu pada kolom pencarian. "Gue cek Gunung Merbabu dulu coba."
Meira mengerutkan kening saat beberapa sub judul muncul usai Meira mengetik kata kuncinya, yang membuatnya mengernyit adalah tatkala telunjuknya menscroll beberapa sub judul ke bawah dan menemukan sub judul yang cukup membuat bulu kuduknya meremang. Beberapa sub judul tersebut memberi prolog tentang keangkeran Gunung Merbabu dari kisah beberapa pendaki yang mengalaminya.
Meira klik salah satu judul horor di layar laptop dan membaca dalam hati isi kisah dari si pendaki di sekitar tahun 2017 saat ia melakukan hiking dengan rombongan, terutama jika jumlah rombongannya ganjil—cerita yang ditegaskan jauh lebih mengerikan. Maklum saja Mey memang tak tahu apa-apa tentang seluk-beluk mendaki gunung serta cerita apa saja yang biasa terjadi di dalamnya.
"Ini serius sehoror ini kalau mendaki gunung? Bahkan setiap gunung pasti ada penunggunya, lebih dari satu pula. Kok imagenya seseram itu ya, tapi kayaknya Riska biasa aja, dia kan baru mendaki Pangrango belum ada seminggu, tapi udah mau mulai lagi. Dia kuda apa orang sebenarnya, apa malah siluman kuda," gumam Meira terheran-heran, "emangnya dia nggak pernah mengalami kejadian mistis apa?"
Meira membaca lagi kisah pengalaman mistis pendaki yang lain, terlihat salah satu pendaki menjelaskan jika ia pernah hiking sendirian ke Merbabu lewat jalur ilegal yang notabene jarang atau bahkan tak pernah dilalui pendaki lain, belum lagi ia mendaki di malam tahun kabisat. Kesan horor jauh lebih terasa, tapi ia bertemu pendaki lain yang ternyata sudah berada di sana, perempuan. Paginya pendaki laki-laki tersebut tak melihat pendaki perempuan yang sempat mendirikan tenda di samping tendanya, aneh saat tenda masih kokoh berdiri, tapi pemiliknya sudah pergi tanpa membawa satu pun barang.
"Kalau ini sih udah jelas perempuan itu pasti setan," komentar Meira, ia begitu antusias membaca cerita horor pengalaman mendaki gunung di laptopnya. "Kok lucu ya, mahasiswi yang ikut Mapala juga lumayan, kapan-kapan gue mau tanya langsung sama Riska."
Meira mengakhiri urusannya membaca cerita horor tersebut, ia beralih menghubungi Selly melalui panggilan video di laptopnya sebab ingin menanyakan sesuatu. Saat terhubung rupanya Selly juga berada di ranjang kamar, tapi wajahnya sudah tertutup masker, hampir saja Meira melompat dari ranjang ketika video call terhubung dan melihat wajah Selly yang sudah mirip Kuntilanak tersebut, apalagi Mey baru selesai membaca cerita horor. Jadi, sisa adrenalinnya masih terasa.
Selly terbahak melihat keterkejutan sekaligus ekspresi takut di wajah Meira. "Lo kenapa, Mey? Kok mukanya begitu banget."
"Lo jam segini udah pakai masker aja, Sell."
"Iya, gue mau tidur cepet, ngantuk banget soalnya. Tumben lo video call gue malem-malem, kangen, ya?" Selly berkedip gemas, membuat Meira merotasikan bola matanya.
"Ada yang mau gue tanyain, ini soal acara ulangtahun lo di ballroom hotel tempo hari."
"Ah iya, gue tadi di kampus juga lupa mau tanya. Kok elo tiba-tiba menghilang sih, kata Jonathan ke toilet, dia nunggu lama, pas dia ke toilet udah nggak ada siapa-siapa. Lo ke mana, Mey?"
Rupanya Selly satu topik seperti yang Meira ingin tanyakan. "Gue juga mau bahas itu, Jonathan cariin gue?" Ia merasa aneh mendengarnya. "Beneran?"
"Ya beneran lah, Mey. Orang Adrian juga bantu cariin kok, sepupu gue itu orangnya bertanggung jawab, kan gue titip elo ke dia, jadi merasa bersalah gitu kan dia. Anehnya lagi nomor lo nggak bisa dihubungi, ke mana, Mey?"
"Gue ... gue." Meira menatap sekitar sebelum kembali pada layar laptop. "Gue pingsan, Sell."
"Pingsan! Lo serius?" Anggukan Meira membuat Selly semakin syok. "Tapi, kenapa lo bisa pingsan, Mey? Kayaknya hari itu lo nggak ada pemotretan, lo juga makan nasi, kan?"
"Gue kayaknya diincer seseorang, Sell. Tapi, sorry ya kalau gue bilang lagi curiga sama sepupu lo, Jonathan."
"Jo?"
"Iya, ya nggak tahu juga sih kenapa. Gue aneh aja, gue tuh habis minum cocktail sama Jonathan terus kepala pening banget, gue keluar dari ballroom terus pingsan, dan bangun gue ada di—" Meira mengatupkan bibir seraya menelan ludah, ia hampir mengatakan semuanya dengan lidah tak bertulang tersebut, satu pun dari ketiga sahabatnya tak tahu hubungan Meira dengan Riska. Jika pun tahu Meira yang akan merasa malu sebab mendapatkan Riska dengan cara mengancam, bukan oleh rasa cinta.
"Di?" Selly ingin tahu kelanjutannya.
"Udah nggak usah bahas yang itu, yang jelas gue keadaannya baik-baik aja kok, gue enggak kenapa-kenapa. Cuma yang tolongin gue bilang katanya bisa aja gue diperkosa sama orang itu di kamar hotel."
"Gila sih ngeri banget, Mey. Oh ya, tadi lo mikir Jo pelakunya? Gue rasa nggak mungkin dia, Mey. Gue belain Jo bukan karena dia sepupu gue, tapi melihat logisnya keadaan juga. Dia anaknya baik, Mey. Enggak pecicilan, dia juga baru pertama ketemu lo masa langsung jahat begitu sih. Jo itu khawatir banget pas lo nggak ketemu, dia salahin diri sendiri sampai minta maaf berkali-kali ke gue, Mey."
Meira bergeming sejenak, ia menerawang seraya memikirkan perkataan Selly, jika Mey ingat lagi sikap Jonathan terhadapnya memang begitu sopan, sepupu Selly tersebut tampak menjaga jarak juga kenyamanan agar Meira bertahan di sebelahnya lebih lama. Cara Jonathan mengganti topik juga cukup membuat Mey menanggapi seadanya. Lagipula Selly berkata jika Jonathan menunggu sampai mencarinya ke toilet, apa iya Jonathan pelakunya?
"Sell, di ballroom sama lorong hotel pasti ada cctv kan ya," tutur Meira mencoba mencari jalan keluar.
"Pasti ada, Mey. Lo mau coba lihat? Bisa aja sih, tapi kayaknya bakal ribet, kan udah jadi privasi hotel, pasti nanti kita ditanya macam-macam."
"Ya udahlah nggak perlu."
"Kok nggak perlu, sih? Lo nggak mau tahu siapa pelakunya?" Selly memprotes.
"Gue nggak suka yang ribet-ribet, Sell. Penting gue baik-baik aja sekarang, tapi lo nggak usah ceritain soal ini ke Mona sama Tania, ya. Gue nggak mau mereka khawatir juga."
"Oke, Mey. Lo jangan nuduh Jo lagi, ya, Mey. Gue yang bakal tanggung jawab kalau dia nakal sama lo, bakal gue aduin langsung sama Tante Shafa."
"Iya, Sell. Ya udah gue kayaknya mau turun deh, mau beli peppermint tea di bawah, lo juga mau tidur cepat, kan?"
"Iya. Bye, Meira."
"Bye juga, Sell." Video call kini berakhir dan Meira menutup laptop, ia beranjak menghampiri laci nakas, mengeluarkan selembar uang merah dari dompet di sana. Meskipun Meira seringkali meletakan asal uangnya, tapi belum pernah sekalipun ia kehilangan, sebabnya Meira mempercayai Trias sebagai housekeeper apartemen lebih lama.
Meira keluar dari unitnya, ia melangkah pelan saat tangan kanan sibuk bermain ponsel meski sepasang kakinya sudah bergerak, alhasil sesekali Meira menatap layar ponsel bergantian dengan koridor di depannya. Namun, saat melewati pintu apartemen Luna yang kebetulan sedikit terbuka, langkah Meira refleks terhenti, entah mengapa ia selalu kepo dengan urusan Luna di dalam sana jika pintu utama unitnya sedikit terbuka dan memperdengarkan suara-suara dari dalam.
Meira menyimpan ponselnya ke saku celana piyama, kini ia mendekat ke sisi pintu dan mendengarkan suara apa pun dari dalam sana.
"Thanks for the present, Dad. I'd also love to hear the news to see my sister soon, it's gonna be great." Suara Luna terdengar jelas, mungkin ia berbicara di ruang tamu.
"Yeah, of course I did. She will love you like a mother who loves you, so you can live together in peace, it's like a fairy tale, isn't it?" Lantas terdengar tawa dari keduanya.
"I really want to meet the day after tomorrow, have a nice dream tonight, Dad."
Oh, jadi Luna emang lagi bicara sama ayahnya, batin Meira. Ia kembali melanjutkan langkahnya menghampiri lift dan turun ke bawah untuk membeli peppermint tea tanpa memusingkan urusan pribadi keluarga Luna.
***