"Lo yang sabar ya, gue di sini sama papa, buat lo." Rendra berupaya menenangkan adiknya saat ibu jari cowok itu mengusap air hujan yang entah kapan akan kering. Ia duduk di depan Meira yang bersila, wajah pucatnya terlalu memprihatinkan. "Mama di rumah juga cemas banget, dari tadi telepon sama ngechat cuma nanya gimana keadaan lo. Gue bingung, Mey. Kalau kasih tahu ke mama kondisi lo yang kayak gini pasti mama tambah cemas."
"Gue nggak tahu kapan berhenti sedihnya." Meira seperti sudah pasrah oleh bilur-bilur yang mungkin saja siap menghiasi hari-harinya ke depan, bahkan sampai malam menjelang pun tetap belum ada progres positif dari para tim sar dan relawan yang mencari keberadaan Riska. Kalau sudah malam begini juga mereka semua pasti berhenti, apalagi medan yang curam serta gelap dipenuhi jurang, tak memungkinkan mereka melanjutkan penyisiran di area sekitar.