Chereads / Before you go / Chapter 3 - [3]

Chapter 3 - [3]

"Kalau aku mengantarmu sampai rumahmu boleh?" tanya Revan. "E-eh? Kok tiba-tiba kau mau mengantar ku sampai rumah?" "kenapa? Nggak boleh? Kalau nggak boleh sih nggak papa aku nggak mau memaksamu, segala hal apapun itu tidak akan menjadi baik jika dipaksakan".

Jessica melihat ke arah Revan dengan tatapan kaget "kau? Kepalamu terbentur sesuatu ya tadi?" "hah? Maksudmu? Kepalaku baik-baik saja" "Tapi entah kenapa kau menjadi bijak bukannya biasanya kau menyebal-" belum selesai gadis itu berbicara, Revan memasukkan sebuah roti coklat ke dalam mulutnya "hei aku sedang berbicara kepadamu!" protes Jessica.

"Oh iyakah? Maafkan aku, aku mendengar suara tapi tidak melihatmu" kata lelaki itu sambil menepuk kepalanya Jessica secara pelan "aku tidak pendek ya! Aku hanya kurang tinggi!" "aku tidak bilang kalau kau pendek ya, kau sendiri yang mengaku" kata Revan sambil tertawa terbahak-bahak.

Karena jengkel dengan ejekannya, Jessica mencubit pinggang Revan hingga membuat lelaki jangkung itu berteriak kesakitan. "Ternyata benar kalimat itu" "hah? Kalimat apa maksudmu?" "kecil-kecil cabe rawit" jawab Revan berlari kecil meninggalkan Jessica di belakangnya.

"Hei tunggu aku! Tadi kau bilang mau mengantar ku kenapa kau malah meninggalkan ku?" teriak gadis itu sembari berlari mengejar Revan. "Eh? Memangnya kau mau aku untuk mengantarmu?" tanya Revan. "Kan tadi kau sendiri yang bilang kalau kau tidak menerima penolakan bodoh" .

Revan hanya bisa bengong sambil mencoba mengingat kembali, sedangkan Jessica menatapnya dengan tidak percaya.

"Ternyata tinggi badan juga mempengaruhi otak ya?" ejek Jessica "apa maksudmu?" "maksudku adalah karena tinggi badan mu itu jadi peredaran darah yang dari jantung ke otak itu agak lambat".

"Jangan sok tau kau Denda" "sudah kubilang nama tengah ku itu Drenda bukan Denda" . "tapi tidak ada penjelasan kalau orang tinggi otaknya lamban" "ya ada sih satu orang dan kau adalah orang itu" kata Jessica sambil tertawa lepas.

Revan yang melihat itu merasakan hatinya hangat karena sebelumnya ia tidak pernah melihat gadis ini tertawa se lepas ini, bahkan ia tidak pernah melihat gadis ini tersenyum sebelumnya.

Ia tidak sadar kalau ia sedang menatap Jessica sambil tersenyum hangat dan berkata "kau cantik kalau tertawa lepas seperti itu, apalagi kalau kau tersenyum lebar. Percayalah semua dunia mungkin akan takjub".

"Jangan sembarang ya kalau berbicara, tapi jika memang seperti itu aku jadi ingin menunjukkan senyumanku pada dunia" kata Jessica sambil tersenyum simpul. "Kau mau berjanji padaku Jess?" "janji apa?" "kalau kau harus selalu tersenyum dan kau juga harus selalu kuat untuk menghadapi semua ini, jangan khawatir kalau kau perlu tempat untuk bersandar aku akan selalu ada untukmu aku janji" kata Revan sambil merangkulnya erat.

Jessica yang dirangkul hanya bisa diam dan pasrah, bukan karena ia memikirkan hal lain akan tetapi ia sedang berusaha mengendalikan jantungnya yang tengah berdegup kencang dan Tangannya yang berkeringat.

"Kenapa kau diam saja? Kau tidak mau berjanji? Astaga kenapa mukamu pucat begitu?" "eh?? Iya kah? A-aku baik-baik sa-saja kok" "mukamu pucat lho eh tapi pipimu merah seperti kepiting rebus, kau demam ya?" tanya Revan sambil menempelkan tangannya ke dahi gadis itu.

"Tapi sepertinya kau tidak demam" kata Revan terheran "k-kan sudah kubilang tadi kalau aku baik-baik saja"

Revan yang mendengar alasannya hanya bisa terdiam sambil menganggukan kepalanya.

"Oh iya aku lupa, nih ada 2 roti untukmu" kata lelaki itu sambil menyodorkan 2 buah roti isi coklat kepadanya "terus bagaimana denganmu?" tanya Jessica "tenang saja, rotiku masih banyak di rumah" jawab Revan.

"Wah terima kasih banyak ya Revan kau baik sekali" kata Jessica sambil tersenyum dan mengambil kedua roti itu, "aku akan menyimpannya saja supaya dimakan nanti" setelah bilang begitu, Jessica langsung memasukkan kedua roti itu ke dalam tasnya.

"Oh pas sekali, kita sudah sampai di rumahku" "oh ini rumahmu ya? Orang tuamu ada di rumah?" "k-kenapa kau mau b-bertemu dengan orang tuaku?" tanya Jessica sambil mencoba menahan ketakutannya.

"Ya aku mau memberi tau mereka kalau putri mereka di bully di sekolah" jawab Revan dengan santai. "Umm orang tuaku sedang keluar, tadi mereka menghubungi ku saat masih di sekolah" kata Jessica mencoba untuk meyakinkan Revan.

"Oh ya sudah kalau begitu kau masuk saja sana, biar lain kali saja baru aku bertemu dengan orang tuamu, aku pulang dulu ya" kata Revan sambil tersenyum manis kepadanya dan berjalan pergi.

"Syukurlah dia tidak bertemu dengan mereka" gumam gadis itu. Jessica pun membuka pintu dan melihat kedua orang tuanya yang sedang menonton tv bersama, ia berusaha berjalan sepelan mungkin agar kedua orang tuanya tidak menyadari akan kehadirannya.

"Kau kira kami tidak tau kalau kau sudah pulang?" kata ayahnya dengan nada dingin. "A-aku minta maaf ayah ibu, aku sangat lelah hari ini jadi aku mau pergi ke kamarku dan istirahat".

"Enak sekali kau berkata seperti itu, mana makanan kami? Kami sangat lapar kau tau!" bentak ayahnya sambil menarik rambut gadis kecilnya itu. "Tapi aku tidak punya uang untuk membeli makanan" kata Jessica sambil menahan tangisnya.

"Kalau begitu berikan tas mu, aku melihatmu dari jendela tadi kau berjalan sama seorang lelaki dan lelaki itu memberikan mu dua buah roti, jangan bohong kau!" bentak ayahnya sambil merebut tasnya Jessica.

Ayahnya pun membuka ranselnya, ia menemukan dua buah roti dan langsung saja mengambilnya kemudian melempar tasnya ke arah lain.

"Kumohon jangan, itu untuk sarapan ku besok pagi" isak Jessica mencoba membujuk ayahnya untuk memberikan rotinya kembali tapi itu semua percuma saja karena ayahnya langsung memberikan satu roti itu ke istrinya dan mereka berdua langsung menyantap roti itu.

Jessica hanya bisa pasrah dan mengambil ranselnya yang berada di sudut ruangan kemudian ia pergi menuju ke kamarnya, menaruh ranselnya dan mengganti bajunya.

Gadis itu bisa mendengar kedua orang tuanya yang tertawa puas setelah merebut roti pemberian temannya. "Andai saja aku bisa melawan, andai saja aku bisa lebih kuat, andai saja aku lebih hebat. Kenapa aku harus dilahirkan ke dunia jika kehidupan ku akan begini? Andai saja aku tidak dilahirkan ke dunia" gumam Jessica sambil memeluk lututnya dan menangis (lagi).

"Aku tidak tahan lagi akan semua ini, jika saja aku tidak memiliki teman mungkin aku sudah pergi"