Chereads / Hikmah Cinta / Chapter 4 - Hijrah

Chapter 4 - Hijrah

____________________________________

Jodoh dinanti bukan dicari

-Reino Al Kafi-

____________________________________

Vasya memandangi kepergian laki-laki itu. Ia menghela nafas berat. Mendadak hatinya merasa bersalah. Pasti laki-laki itu menganggap dirinya orang yang angkuh dan tidak mempunyai sopan santun.

Vasya melambaikan tangan ke arah taksi yang hendak lewat. Taksi itupun berhenti. Vasya memasukinya. Ia hendak pergi ke pusat perbelanjaan. Ada beberapa yang harus ia beli.

***

Ayana masih sibuk di toko kuenya. Mengurus pesanan. Setiap harinya ia disibukkan dengan pesanan kue yang selalu datang. Dalam mengurus toko kuenya, tentu saja Ayana tidak sendiri. Ia mempunyai dua karyawan perempuan yang selalu siap membantunya.

Ayana selalu bersyukur, bisnis kuenya berjalan lancar. Sangat tidak menyangka yang awalnya habya angan-angan untuk memiliki usaha sendiri kini terkabulkan. Ia melirik jam tangan di pergelangan tangan. Pukul empat sore. Ia memutuskan untuk pulang.

***

Vasya menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Pergelangan kakinya terasa pegal, seharian terus berjalan. Di kamarnya dipenuhi paperbag dari hasil belanja tadi.

Vasya memutuskan untuk mandi, lalu menunaikan salat ashar.

"Ya Allah, ampunilah dosa hamba dan semoga hamba selalu berada di jalanmu. Hamba menyesal Ya Allah." Tak terasa air matanya menetes.

Vasya melipat mukenanya. Memasukan ke dalam lemari. Matanya terarah ke beberapa paperbag besar. Ia membuka satu persatu. Dikeluarkannya gamis dengan warna dan model yang bermacam-macam. Mulai dari corak polos hingga bermotif. Tidak hanya gamis yang ia beli, ada jilbab juga.

Vasya memilih gamis berwarna krem dengan jilbab yang senada. Ia memandangi pantulan dirinya di cermin. Penampilannya sangat berbeda. Ia dibuat kaget sendiri. Ia berharap semoga saja ia istiqomah mengenakan hijab.

Vasya hampir lupa dengan gorengan yang dibelinya tadi. Ia keluar dari kamar, menuruni anak tangga satu-persatu. Ujung gamisnya hampir menyentuh lantai.

"Vasya, itu Kamu?" Hisya mendekati Vasya. Wajahnya berbinar dan menatap tak percaya.

Vasya tersenyum. Tentu saja dirinya, kalau bukan dirinya siapa lagi. Dasar, mamanya mulai pikun dengan anaknya sendiri, Vasya menggeleng-gelengkan kepala.

"Vasya memutuskan untuk berjilbab, Ma."

"Beneran?"tanya Hisya yang langsung dibalas anggukan oleh Vasya.

Hisya menciumi pipi Vasya bergantian. Sungguh senang melihat anaknya yang cantik itu mengenakan hijab. Auratnya tertutup. Ia kira Vasya anak yang bandel, susah berubah, namun ia salah. Anaknya berubah dengan sendirinya.

"Vasya?" Ayana ikut terkejut. Ia baru datang. Iaa memperhatikan Vasya dari kepala hingga ujung kaki.

Vasya memutar bola matanya. Apakah dirinya terlihat berbeda sampai mereka terkejut. Segitukah mencoloknya?

"Vasya mutusin untuk berhijab, Ay." Hisya sangat senang.

"Alhamdulillah,"ucap Ayana. Ia membungkam kedua mulutnya. Sudah bertahun-tahun melihat Vasya dengan pakaian terbuka dan kali ini memutuskan untuk berhijab. Masya Allah.

Akhir-akhir ini, Vasya ikut salat berjamaah dengan Hisya dan Ayana di rumah, sementara Tantoro di masjid. Vasya sehabis salat maghrib juga belajar membaca alquran atas bantuan Ayana. Perubahannya meningkat drastis, menjadi lembut, dan jarang emosi.

***

Malam harinya, Tantoro membaca majalah di ruang tengah sambil menikmati secangkir kopi hangat.

"Vasya, sini Nak," panggil Tantoro sambil menepuk sofa sebelahnya, meminta Vasya duduk.

Sampai saat ini, Vasya masih mengenakan hijab. Ia memakai gamis berwarna hitam dengan jilbab berwarna krem. Ia memperbaiki posisi duduknya.

"Ada apa, Pa?"

"Sesuai janji Papa, Papa akan membolehkan Kamu menjadi model, namun Kamu harus tetap berjilbab,"pintanya.

Vasya tersenyum. Satu detik kemudia ia menggeleng. Keinginannya menjadi model tiba-tiba menghilang. Ia ingin menjadi muslimah yang baik. Mengejar akhirat, bukan mengejar kesenangan dunia. Percuma saja berhijrah, berhijab, namun terpotret oleh kamera dan tersebar, lalu dilihat oleh publik.

"Pa, Vasya berubah bukan karena mau jadi model lagi, tapi emang ingin dekat sama Allah. Vasya nggak mau jadi model lagi, Pa." Vasya mengulam senyuman.

"Jadi, Kamu mau kerja apa, Sya?"tanya Tantoro.

Tantoro heran, bukankah saat itu anaknya merengek untuk jadi model. Kenapa mendadak berubah. Ia sedikit tidak mengerti.

"Belum tahu Pa, Vasya pikir-pikir dulu."

Vasya beranjak dari kursi, meninggalkan Tantoro yang menatap keheranan. Berjalan menuju kamar.

***

"Kamu mau nikah kapan, Rei?"tanya Nafisa setengahnya makan, mama angkatnya Reino.

"Kapan-kapan Ma,"jawab Reino asal.

Nafisa menghembuskan napas kecewa. Bukan jawaban seperti itu yang ia harapkan dari mulut anaknya.

"Lah, Kamu udah nemu pasangan belum?"tanya Nafisa.

"Belum."

Nafisa menghela nafas kecewa untuk kedua kalinya. Ia heran, kenapa Reino yang begitu tampan belum mempunyai pasangan. Anak itu sepertinya tidak mempunyai niat untuk menikah. Padahal umurnya sudah patut untuk menikah.

"Udahlah, Ma. Biar Reino fokus sama urusan kantor dulu." Dirga menengahi.

"Reino kan udah dewasa, Pa. Waktunya untuk menikah. Rei, kalau gitu Mama jodohin Kamu aja, gimana?"tanya Nafisa dengan ekspresi penuh harap.

"Memang Mama mau jodohin Rei sama siapa?" Dirga menatap penuh selidik.

Reino hanya menyimak sambil menyantap makan malamnya. Tidak tertarik dengan topik pembicaraan orangtuanya. Ia heran kenapa mamanya sibuk memikirkan kapan ia menikah, padahal jodohkan tidak dicari tapi dinanti. Allah telah mempersiapkannya, tinggal kita menunggu.

"Navasya, Pa. Anaknya Hisya,"ucap Nafisa yang membuat Reino tersedak.

Nafisa dan Dirga menoleh. Dengan sigap, Nafisa menuangkan air putih ke gelasnya Reino. Reino menerima gelas itu, lalu meminumnya.

"Reino nggak mau, Ma."

Nafisa mengerutkan dahi." Kamu kan belum tahu Vasya orangnya kaya gimana."

Reino belum bercerita kepada Nafisa dan Dirga jika sebelumnya telah bertemu dengan Vasya. Ia tidak mau dijodohkan dengan perempuan seperti itu. Yang ia harapkan adalah perempuan yang baik-baik dan dapat menjadi istri yang sholehah.

"Dia bukan tipe Reino, Ma."

"Siapa tahu jodoh. Lagian Mama sama Papa udah kenal sama orangtuanya." Nafisa tersenyum menggoda.

"Udahlah Ma. Kalau Reino nggak mau, nggak usah dipaksa." Dirga menghentikan celotehan Nafisa yang membuat wanita berhijab merah itu mengerucutkan bibir.

Dirga menggeleng. Daritadi istrinya terus berbicara, hingga makanan di piringnya belum disentuh. Sudah dimakan setan pasti.

***

Pagi harinya, Vasya pergi menuju masjid yang terakhir ia datangi. Dirinya sudah lama tidak mengunjungi Fatima. Langit ibukota terlihat cerah, biru bersih. Tidak ada saputan awan putih yang menghiasinya. Seperti biasa jalanan ibukota sangat ramai. Suara klakson kendaraan terngiang di telinganya.

Vasya telah berada di depan masjid. Ia mengedarkan pandangannya. Mencari-cari sosok yang selalu mengaji di dalam masjid. Fatima. Tidak ada. Ia hanya mendapati penjaga masjid yang sedang menyapu halaman masjid.

Vasya mendekati penjaga masjid itu. Hendak bertanya. Mungkin saja tahu.

"Assalamu'alaikum, Pak." Vasya menelungkupkan kedua telapak tangan di depan dada.

Laki-laki paruh baya itu menghentikan aktivitasnya." Wa'alaikumussalam. Ada apa, mbak?"

"Saya mau tanya, Pak. Perempuan bercadar yang bernama Fatima rumahnya dimana ya Pak?"tanya Vasya.

Laki-laki paruh baya itu berpikir sejenak. Mencari nama Fatima di kamus pikirannya.

"Oh... mbak Fatima."

Vasya memasang wajah ceria. Syukurlah kalau bapak itu kenal dengan Fatima.

"Rumahnya ada di sebelah sana, Mbak." Bapak itu menunjuk rumah yang berada di sebelah kanan masjid, hanya terpisahkan lima rumah.

Vasya mengangguk. Ia mengucap salam, lalu melangkahkan kaki.

"Eh... Mbaknya mau kemana?"tanya Bapak itu yang membuat Vasya menghentikan langkahnya. Menoleh.

"Ke rumah Fatima Pak," jawab Vasya bingung.

"Percuma kalau Mbak kesana. Nggak ada orang."

Vasya mengerutkan dahi. Melirik rumah itu. Benar saja, ia lihat dari kejauhan pintu rumah itu tertutup. Terlihat sangat sepi.

"Emang kemana, Pak?"

Mendengar pertanyaan Vasya, bapak itu menghela nafas berat.

"Mbak Fatima sakit. Dia dirawat di rumah sakit, Mbak. Keluarga menemaninya disana."

Vasya tersontak. Fatima sakit? Sakit apa? Kenapa bisa? Rasa khawatir menyerbunya.

"S... sakit apa, Pak?" Vasya tergugup.

"Kanker kelenjar pangkreas, mbak."

"Innalillahi." Vasya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Matanya seketika berkaca-kaca.

"Sej... sejak kapan dia sakit, Pak?"

"Waduh, saya kurang tahu. Yang saya tahu udah lama, mbak."

Vasya tidak bisa berkata-kata. Bibirnya terasa kelu. Jadi saat ia bertemu dengan Fatima dulu, dia sakit?tanganya gemetaran.

Jangan lupa mampir di akun wattpadku yaitu = Thimzyou

banyak cerita yang aku publish di sana