AIRIN ANASYA
Bersekolah karena mendapatkan beasisiwa bukanlah perkara yang mudah, namun demi membanggakan kedua orang tuaku aku rela bersekolah di sekolah yang menurutku bagaikan neraka.
TIO ADITYA PRATAMA
Airin adalah gadis manis yang mampu membuatku tergila-gila karena kesederhanaannya.
***
Tio pov
Kring-kring-kring.
Bel istirahat pertama telah bunyi.
"Oke. Gue udah mantapin buat nembak Airin. Maaa doain ya semoga anak ema di terima.. Amin."ucapku menguatkan.
Aku langsung berdiri dari dudukku dan berjalan di koridor sekolah melewati siswa-siswi yang sudah berada di luar kelas.
Baru mau masuk kelas A-1 yaitu kelas Airin, tanpa sengaja aku melihat pemandangan yang menurutku sangat memilukan.
"Eh anak kampung nih kerjain tugas yang tadi Bu Anggun kasih."ucap perempuan yang beralis tebal.
"ck berani banget tuh cewe nyuruh calon pacar gue. Mana alisnya gede banget, udah kaya kapal selam aja."gerutuku.
Aku Langsung masuk kedalam.
Dan langsung ku tarik buku yang di genggaman Airin.
"Kenapa mau aja di suruh-suruh?"tanyaku pada Airin.
Diam. Hanya diam yang Airin lakukan sekarang.
Aku sangat tahu bahwa Airin takut sama perempuan beralis tebal itu.
"Ya iyalah harus mau, karena dia itu anak beasiswa alias miskin."ucap perempuan beralis tebal.
"Jaga tuh ya mulut. Dia dapat beasiswa karena dia cerdas. Emang elo, bodoh."ucapku tajam.
"Berani banget lo ya sama gue. Lo gak tau siapa gue hah,"
"Lah bodo amat. Mau lo siapa ke gue gak perduli."
"Wah songong nih anak."ucap teman si alis tebal yang bibirnya merah seperti habis makan anak ayam.
"Heran gue sama lo pada. Lo kesekolahan mau belajar apa mau nyinden si?"ucapku bertanya.
"Sembarangan aja lo ngomong".ucap si bibir merah.
"Loh gue berbicara fakta ya. Coba deh lo ngaca, tuh lo apa'in alis, ampe kaya kapal selam gitu."Ucapku sambil menunjuk perempuan beralis tebal.
"Dan lo kaya habis makan anak ayam tahu gak. Bibir udah kaya apa kali merah banget."tunjukku pada si bibir merah.
"Lo itu harus di kasih pelajaran ya."ancam si alis tebal.
"Lo pikir gue takut."ucapku sambil menarik tangan Airin keluar kelasnya.
Ku bawa dia ke taman yang ada di sekolahan ini.
Lagi-lagi hanya diam yang Airin lakukan.
"Kenapa si kamu gak ngelawan tuh cewe-cewe centil?"tanyaku penasaran.
"Aku tahu siapa mereka dan aku juga tahu diri tidak mungkin aku melawan mereka."ucapnya sambil menahan tangis.
"Memangnya mereka siapa?"tanyaku.
Walaupun aku bukan murid pindahan tapi aku sama sekali tidak tahu apa-apa.
Menurutku sangat tidak penting mengetahui indentitas mereka.
"Yang tadi kamu bilang si alis tebal, dia adalah Sonia yang punya kekuasan di sekolah ini karena Ayahnya pemilik sekolah ini. Dan yang si bibir merah, dia adalah anak dari kepala sekolah kita namanya Ririn".jelasnya sambil menatap kearahku.
Ditatap seperti itu membuat jantungku berdetak tak karuan.
"Hmmm gitu ya."
Kenapa jadi salting gini.batin ku bicara.
"Tio?"
Dia memanggilku. Hanya dia menyebut namaku sudah membuat terbang melayang.
"I-iya Airin."ucapku gugup.
"Makasih."ucapnya singkat.
"Makasih buat apa?"tanyaku dengan menaikan alis tanda bingung.
"Makasih karena kamu udah mau nolongin aku."ucapnya sambil tersenyum.
"Ah biasa aja ko."
Senyumannya benar-benar membuatku ingin menjadikannya pacar.
Manis dan lucu.
"Sebentar lagi jam istirahat akan habis, aku duluan ya kekelas, takut gurunya udah datang."ucapnya.
Ku pandangi punggung Airin yang kian menjauh.
Benar-benar gadis impian.
Tutur bahasanya santun dan ramah.
Pantas saja Airin pintar, dia tidak mau guru masuk sebelum dia masuk duluan.
Akupun pergi kekelas.
Gugur sudah niat awalku untuk menjadikannya pacar.
"Bro bagaimana hasilnya? Di terima gak?"tanya Rama saat aku sudah duduk dikursiku.
"Boro-boro di terima, nembak aja belum."
"Lah kenapa belum, niat awal lo nyamperin dia kan mau jadiin dia pacar."terang Rama.
"Dia gadis baik-baik Ram, mana mungkin dia mau pacaran."ucapku lesu.
"Terus lo mau nyerah gitu?"tanyanya kepadaku.
"Gua mau jadiin dia istri gua."ucapku final.
"Kebanyakan ngehayal lo. Jadiin Airin pacar aja lo kagak berani, apalagi jadiin dia isrti."ledeknya tidak percaya.
"Terserah lo mau percaya atau kagak."ucapku.
***
Airin pov
Syukurlah Sonia dan Ririn tidak menjailiku sampai waktu pulang tiba.
Aku benar-benar berterima kasih pada Tio yang sudah menolongku dari ejekan Sonia dan Ririn.
Sebernarnya aku sudah tidak tahan bersekolah disini. Lebih baik aku bersekolah di sekolahan yang tidak ellite dari pada harus di sekolah ellite namun sungguh seperti neraka.
Jika aku tidak ingin membanggakan kedua orang tuaku mungkin saja aku lebih memilih tidak bersekolah.
Sudah satu jam aku menunggu angkutan umum namun belum juga datang.
Tin tin tin
Akupun menoleh kearah suara klakson motor.
Seseorang turun dari motor ninja hitam lalu menghampiriku tanpa melepas helmnya.
Aku menyernyitkan keningku bingung.
"Lagi nunggu angkutan umum ya?"
Kebingunganku sirna saat seseorang mengajukan pertanyaan itu.
Aku sangat mengenal suara itu. Itu adalah suara Tio.
"Iya. Aku lagi menunggu angkutan umum."jawabku.
"Biasanya sih kalau jam segini angkutan umum sudah tidak ada."jelasnya kepadaku.
Bayangan akan berjalan kaki kerumah yang jaraknya cukup jauh melayang-layang dikepalaku.
Saat kelas sepuluh aku pernah berjalan kaki karena tidak ada angkutan umum yang lewat dengan sangat terpaksa aku berjalan kaki hingga rumah.
Keesokan harinya kaki ku amat sangat sakit karena berjalan kaki sehingga aku mengirim surat sakit kesekolah.
"Hey.. kenapa jadi melamun."
Akupun tersentak kaget hingga aku tersadar kembali dari lamunanku.
"Eh iya maaf."
"Kamu gak usah takut. Ayo bareng aku pulangnya."ucap Tio sambil menarikku kemotornya.
"Tio. Kamu benerankan mau ngantar aku pulang."ucap ku was-was.
Bukan tidak mungkin kan kalau terjadi sesuatu.
"Kamu tenang saja. Aku akan mengantarmu dengan selamat sampai rumahmu."jelasnya.
Akupun menarik napas lega.
"Baiklah."
Dari pada harus berjalan lagi lebih baik aku ikut dengan Tio.
Diperjalanan hanya ada keheningan.
Tio fokus mengendari dan akupun fokus pada pikiranku sendiri.
Ini kali pertama aku dibonceng Tio.
Waktu itu Tio pernah mengajakku pulang bareng tapi dengan lembut aku menolaknya karena aku belum yakin kepadanya.
Karena tadi Tio menolongku, aku jadi yakin jika Tio orang yang baik.
"Setelah ini belok ke kanan apa ke kiri?"tanyanya saat mau melewati perapatan.
"Ke kekiri."jawabku.
"Oke."
"Di dekat warung ada gang kecil. Nanti berhenti di situ aja."ucapku.
"Loh kenapa. Aku bakal anterin kamu sampai depan rumah."ucapnya.
"Tidak usah Tio."larangku.
"Memangnya kenapa?"tanyanya.
Aku tidak menjawab pertanyaannya takut jika Tio akan menertawaiku dan mengejekku setelah melihat rumahku.
"Airin?"panggilnya di depan warung yang ku maksud tadi.
"I-iya."jawabku.
"Sudah sampai."ucapnya.
Akupun turun dari motornya.
"Emmm makasih ya Tio."ucapku berterima kasih.
"Iya sama-sama."ucapnya.
"Kalo gitu aku pulang ya."ucapnya.
"Iya."
Tio pun pergi. Setelah kepergiannya aku berjalan ke dalam gang kecil itu.
"Assalamu'alaikum.."
Sesampai dirumah aku langsung mengucapkan salam dan menyalami kedua orang tuaku.
"Walaikum salam.."jawab mereka bebarengan.
"Gimana tadi sekolahnya nak?"tanya Ibuku yang bernama Nina.
"Seru Bu."bohongku.
Sangat tidak mungkin aku menyeritakaan kejadian disekolah karena aku tidak mau melukai hati orang tuaku.
"Ya sudah makan gih. Ibumu sudah memasakanmu tempe."ucap Bapakku yang bernama Surya.
"Iya Pak."
Akupun masuk kedalam rumah. Ingin rasanya aku menangis, akupun ingin mempunyai teman yang bersedia mendengarkan keluh kesahku.
Aku tidak mungkin bercerita pada Ibu dan Bapak tentang bagaimana di sekolahan.
Tapi rasanya sangat tidak mungkin jika aku mempunyai teman.
Aku sangat dikucilkan tidak ada yang mau berteman denganku.
Aku harus mengubur keinginanku.
Tak apa jika aku tidak mempunyai teman, toh masih ada Tiara adikku yang selalu menemaniku saat dia pulang.
Tiara Amelia sekarang baru kelas satu SMP dan dia bersekolah sambil pesantren.
Saat musim libur barulah aku dan Tiara bisa bermain bersama. Karena saat libur Tiara akan pulang.
***