Selama tiga tahun lamanya, mereka saling memendam rasa layaknya sepasang kekasih biasanya. Saling mendukung serta melengkapi bagai Sang Surya yang perlahan menghangatkan penghuni bumi ditengah dinginnya embun pagi. Sekolah menengah merupakan titik saksi bisu dimana mereka mulai bertukar cerita. Memasang wajah bahagia tanpa ada kesedihan, menanam harapan hingga titik darah penghabisan. Setelah sekian lama menaruh perasaan, akhirnya janji suci mulai diucapkan.
Hidup bahagia tanpa ada halangan menjadi salah satu harapan yang mereka inginkan. Rasa saling beruntung memiliki membuat mereka bagaikan fondasi kokoh tanpa ada sedikit pertentangan. Saling pengertian, selalu menghadapi rintangan tanpa adanya perkelahian antar dua insan. Bahagia tentunya bisa merasakan apa yang orang lain inginkan. Namun, bukan manusia jika diantaranya tidak memiliki sebuah rahasia tersembunyi dibalik indahnya kebahagiaan.
Sebuah rahasia terbesar yang salah satu dari mereka miliki, menjadikan mereka alasan untuk tetap terpecah meski harus saling menjaga. Keduanya bahkan masih belum cukup dewasa untuk menyikapi sebuah masalah. Berbagai kondisi dengan berbagai konflik membuat mereka rapuh dan tak lagi saling berbagi cerita. Rasa cinta masih setia menempel dalam benaknya. Namun apalah daya, hatinya yang terlanjur menjadi sekeras batu sudah tidak lagi menaruh harapan padanya.
"Ya. Harapanku sudah hilang ditelan mentah-mentah oleh perlakuanmu. Apakah kau masih merasa bahwa kau pantas untukku? Bukankah kau sudah bersumpah bahwa kau tidak akan memberikanku beban dalam hidupku?"
. . .