Chereads / INDESCRIBABLE FEELING / Chapter 41 - Lies and Liar 2

Chapter 41 - Lies and Liar 2

Ada rasa yang tak bisa kujelaskan, banyak makna yang tak bisa kutafsirkan. Haruskah aku bertahan atau memilih tuk menghilang?

Hari itu, perkelahian Jianghan dengan Zhai Lian membuatku terus bergumam. Apa yang sebenarnya terjadi, taruhan? Taruhan apa yang mereka bicarakan. Kubergegas menuju ruang kelas. Kali ini aku mencoba tuk mengabaikan Jianghan, walau sebenarnya jantungku masih berdegup setiap kali ia menyebut namaku. Rasanya memang sedikit berat jika aku harus mendiamkan Jianghan. Tapi, apa boleh buat.

"Aku harus menghentikan semua kekonyolan ini." gumamku dalam hati sembari terus berjalan menjauhi UKS di mana Jianghan dirawat.

Namun, tiba-tiba seseorang menghalangi jalanku. Kulihat sosok pria dengan pipi yang lebam dan perban di tangannya menghampiriku.

"Yuan Lin." panggil lirihnya yang membuatku mengangkat kedua alisku. Kali ini, aku tidak terima dengan perlakuan Lian pada Jianghan. Aku hanya diam dan mengabaikannya.

"Yuan Lin, ini bukan salahku Jianghan lah yang memulainya. Tolong, percayalah padaku." ucapnya dengan meraih lenganku. Aku mulai membalikan tubuh dan menatapnya.

"Jauhi aku." pintaku pada Lian yang sontak membuat Lian terus menggenggam erat pergelangan tanganku seakan ia tak mengizinkanku pergi.

"Tidak, aku tidak akan melepaskanmu. Tolong, jangan tinggalkan aku, Lin hanya kau yang bisa kupercayai." tambahnya yang membuatku semakin terdiam dan enggan membalas ucapannya. Aku hanya memalingkan wajahku dan menatap sekitar. Ini pertama kalinya, aku bersikap acuh kepada orang lain.

"Percayalah, aku tak seperti apa yang kau pikirkan. Jianghan lah yang memulainya. Kau lihat kan memar di wajahku ini? Itu semua karena Jianghan."

Aku masih menghiraukannya. Namun, seorang pria datang memanggil namaku dari kejauhan. Rambutnya yang terbang terbawa angin, membuat hatiku sedikit tenang.

"Lepaskan Yuan Lin atau kau akan kuhajar lebih parah dari ini." ucapnya yang membuatku menoleh kaget, perlahan-lahan Zhai Lian mulai melepaskan genggamannya.

"Liao Jin?" gumamku dengan diiringi sedikit lekungan senyuman.

"Aku tau semua kebusukan dibalik perilaku baikmu, kuharap kau jauhi Yuan Lin. Jika tidak, kau bukan hanya akan berhadapan dengan Jianghan tetapi juga denganku." tegasnya yang menarik tanganku untuk pergi meninggalkan Zhai Lian. Kulihat raut wajah Lian berubah masam mendengar perkataan Jin yang mencoba melindungiku.

Kali ini, Liao Jin datang tepat waktu dan membantuku lepas dari cengkraman Zhai Lian. Aku tak tahu, apa permasalahan yang terjadi diantara kedua pria dewa belajar itu, tapi entah mengapa batinku lebih mempercayai perkataan Jianghan ketimbang Zhai Lian.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Jin dengan suara lembut yang penuh kasih berbeda dengan tata cara bagaimana ia memarahi Zhai Lian tadi. Aku menggangguk mengiyakan.

"Kau bicara apa tadi pada Lian, mengapa kau juga ikut mengancamnya?" tanyaku yang kali ini turut menatap Jin. Namun, seketika raut wajah Jin berubah menjadi kebingungan. Sesekali ia juga turut menggaruk kepalanya.

"Kau akan tahu kebenarannya, Lin."

"Jadi, kau tak mau bercerita padaku tentang apa pokok permasalahannya?" usutku dengan wajah yang kesal.

"Bukan begitu, hanya saja ada seseorang yang tak mengizinkanku untuk memberitahumu."

Aku hanya terperangah kaget, rahasia? Apa yang sebenarnya terjadi? Masalah ini membuatku semakin gila.

"Mengapa tak boleh memberitahuku?" sidikku kepada Jin.

"K-karena orang itu yang akan memberitahumu secara langsung dan aku sudah berjanji atas nama ibuku padanya untuk tidak memberitahumu." jawab Jin yang sontak membuatku terpikir tentang Jianghan.

Aku mulai menyipitkan mataku dan menatap Liao Jin, "Apa orang itu Xiao Jianghan?"

"Ya, kau tanyakan saja padanya." jawabnya yang kali ini menggaruk belakang kepalanya dan mencoba tuk menghindari kontak mata denganku. Kali ini untuk pertama kalinya Liao Jin tak memberitahuku, biasanya ia tak pernah menyimpan rahasia dariku walaupun itu sekecil biji kacang hijau.

Langit biru berubah menjadi Jingga, matahari hampir terbenam di ufuk barat. Jam di dinding sudah menunjung pukul 5 dan bell berdering nyaring bersahut-sahutan diiringi dengan sorakan gembira para siswa. Akhirnya, hari melelahkan dan penuh tantangan ini berakhir juga. Rasanya, aku ingin segera pulang dan merendam tubuhku dengan air panas untuk merelaksasi tubuh serta pikiranku yang lelah seharian.

"Lin." panggil Shu In dengan suara yang lirih seakan ada suatu hal yang penting dan tak ingin seorang pun tahu. Sembari jari telunjuknya menunjuk ke arah luar jendela untuk menunjukan sesuatu. Fen pun ikut menoleh ke arah jendela sembari memasukan bukunya ke dalam tas.

Terlihat dua orang pria berdiri dengan kokoh sembari mendorong sepedanya seakan tengah menunggu seseorang.

"Bukankah itu Zhai Lian dan Xiao Jianghan?" tanya Shu In. Aku dan Fen mengangguk.

"Apa yang mereka lakukan di sana?" tanyanya lagi sembari terus memandang ke luar jendela.

"Kurasa mereka menunggumu, Lin." jawab Fen secara spontan yang membuatku kembali menatapnya.

"Menungguku?"

Fen menganggukan kepalanya dan dengan sigap ia juga turut membantuku mengemas peralatan sekolah yang masih tergeletak di atas meja. Aku hanya terperangah melihat Fen yang memasukan semua buku dan kotak pensilku. Namun, tiba-tiba Jin menghampiriku.

"Yuan Lin, maaf aku tak bisa menemanimu pulang. Aku ada urusan penting, jadi aku harus pulang lebih awal."

"T-tapi, Jin, tak biasanya kau meninggalkanku seperti ini." ucapku yang mencoba menghalangi Jin untuk tidak pulang lebih awal tanpa diriku.

"Maafkan aku, tapi besok pagi-pagi sekali aku akan menunggumu di gang rumahmu dan kita akan pergi ke sekolah bersama." ujarnya dengan melambaikan tangan ke arahku dan kedua sahabatku. Kali ini Liao Jin pulang lebih dulu, lalu bagaimana dengan nasibku?

"Kurasa kau harus pulang bersama salah satu dari mereka, Lin." sahut Shu In yang terus memandangi sosok pria yang sedari tadi mencuri perhatiannya.

"Tidak, aku akan pulang bersama kalian." ucapku dengan tegas

"Lin, maaf bukannya aku tak mau. Kau tahukan hari ini Ibuku memintaku untuk pergi ke toko kue, jadi aku tak bisa menemanimu." kata Shu In sembari menepuk bahuku.

"Kalau begitu, aku akan pulang bersama Fen."

"Apa kau lupa, rumah kita kan berbeda arah." Mendengar ucapan Fen aku kembali menepuk dahiku. Kuhela napasku untuk kesekian kalinya.

"Saranku kau pulanglah bersama Jianghan." ucap Fen dengan menepuk bahuku.

Setapak demi setapak anak tangga kuturuni, terlihat dua orang pria kini melihatku. Nampak Jianghan masih menyentuh perutnya dan memandangiku dengan tatapan mata yang sayu. Kurasa ia masih merasakan sakitnya. Aku juga bersalah atas namanya, karena aku meninggalkannya sendirian di ruang perawatan siang tadi. Aku juga merasa tidak tega jika ia harus mengayuh sepeda sendirian dengan keadaan sakit. Jika kupilih Jianghan, bagaimana dengan perasaan Zhai Lian? Apa aku juga akan meyakiti hatinya?

Di sisi lain, kulirik Zhai Lian yang sedari tadi berdiri kokoh memandangku, wajahnya tak seberapa lebam seperti Jianghan. Kurasa dia benar-benar keras menghakimi Jianghan. Kuberjalan ke arah di mana Jianghan yang tengah duduk di bawah pohon yang rindang dan kuabaikan lambaian tangan Zhai Lian ke arahku.

"Jianghan, apa kau baik-baik saja?" tanyaku yang mencoba menghampiri Jianghan yang sedari tadi meringis kesakitan. Ia hanya menganggukan kepalanya dan terus menyentuh perutnya.

"Pulanglah denganku." ucapnya lirih tepat di telingaku dengan tatapan mata yang sayu. Kutatap wajahnya yang sedikit memucat dengan luka lebam yang ada di pipi dan sudut bibirnya. Aku tak pernah menyangka bahwa aku bisa menatap Jianghan sedekat ini.

"Baiklah." jawabku yang mencoba membantu Jianghan untuk mendorong sepedanya. Senyum Jianghan mulai terlihat, aku pun ikut tersenyum memandangnya.

Kurasa arti kebahagiaan tidak hanya diukur dengan memiliki barang-barang mewah, mahal, dan pergi ke tempat yang berkelas, tetapi kebahagiaan itu hadir dari diri sendiri dan muncul dari hal yang sederhana, seperti halnya melihat pujaan hatimu baik-baik saja itu sudah membuatmu merasa bahagia.

Kudorong sepedaku bersama dengan Jianghan dan mengabaikan Zhai Lian yang sedari tadi memperhatikanku dengan Jianghan.

"Lin?" panggil Zhai Lian yang berusaha menghadang jalan pulangku.

"Maaf, Lian aku akan menemani Jianghan, dia terluka."

"Tapi, aku juga terluka." jawabnya sembari menunjukan luka dan lebam yang ada pada lengannya.

"Setidaknya, kau masih bisa mengayuh, bukan?"

Mendengar ucapanku Zhai Lian mulai mengayuh sepedanya dan meninggalkanku. Aku tahu, hatinya pasti kecewa dengan sikapku. Siang tadi, aku mengabaikannya dan sore ini aku pun meninggalkannya. Tapi, apa boleh buat. Melihat Jianghan kesakitan, aku menjadi lemah. Karena selama ini, Jianghan-lah kekuatanku. Aku semangat mengayuh sepeda pagi-pagi demi melihatnya, aku pergi ke perpustakaan untuk membaca buku tebal juga hanya untuk memandanginya.

Jianghan menepuk bahuku, kurasa dia tahu bagaimana perasaanku.

"Pria seperti itu tak pantas mendapatkan semua kebaikan hatimu, Lin." ucapnya yang membuatku menoleh kaget.

"Apa? Mengapa kau menatapku?" tanya Jianghan yang tengah memakai jaket hitamnya.

"Tidak, aku hanya kagum denganmu." jawabku yang terus memandanginya, kurasa caranya berpakaian pun akan menjadi bagian yang kusuka jika aku benar-benar hidup bersamanya.

Jianghan mulai melirik sinis, "Jadi, kau suka jika aku terluka seperti ini?"

"B-bukan, bukan seperti itu. Hanya saja kau pria yang sulit ditebak, jadi..."

Jianghan masih menatapku, "Jadi?"

"Ya, jadi…. Ah sudahlah, lupakan. Aku akan membantumu pulang."

Kau sebenarnya tahu apa yang kukatakan, tetapi mengapa kau selalu saja menghindar. Terkadang aku diam menertawai diriku sendiri, bagaimana bisa aku mencintai pria yang cintanya tak berpihak padaku? Jianghan, jika kelak kau bahagia bersama yang lain, mungkin aku akan mengikhlaskan segalanya. Walaupun hatiku juga yang terluka.

"Mengapa kau diam saja? Tak biasanya begini, biasanya kau terus bicara kesana kemari tanpa henti." tanyanya yang masih terus mendorong sepedanya di bawah langit yang menjingga.

"Jika aku boleh bertanya, bolehkah aku mengutarakan sesuatu padamu, Jianghan?" tanyaku kembali.

Jianghan mulai memberhentikan langkahnya dan mengajakku duduk di sebuah kursi pinggir jalan.

"Bicaralah. Aku juga ada suatu hal yang ingin kubicarakan padamu." tambahnya yang membuatku masih terpaku memandangnya. Kini Jianghan duduk di sampingku.