"Grannie, grannie. Ini buku apa?"
"Dari mana kau dapatkan buku itu, sayang?"
"Dari perpus. Grannie. Julius bilang ini buku hantu, dan mereka akan mendatangiku tiap malam hari sampai aku meminta maaf karena telah memegang buku ini."
Grannie tertawa kecil, kemudian ia menaruh sebuah kain setengah jadi yang tengah ia rajut. Diangkatnya tubuh bocah itu ke pangkuannya, lalu diambilnya buku tua yang dipegang Eve kecil.
"Ini buku tentang sesuatu yang rumit, namun bukan buku hantu, sayang. Julius membohongimu."
"Benarkah? Lalu ini buku apa, Grannie?"
Dielusnya helai rambut keemasan yang pendek milik Eve kecil. Anak itu memiliki rasa keingintahuan yang kuat, melebihi yang ia duga.
"Kau tahu Dark Elf?"
"Elf?"
"Ya, namun Dark Elf berbeda dari Elf."
"Kenapa begitu, Grannie?"
Grannie terdiam sebentar sambil membuka lembar demi lembar buku yang dipegang Eve. Tiupan udara kencang menyapa pipinya yang sudah banyak bergaris. Ia berharap penjelasannya dapat dimengerti bocah berusia 5 tahun itu.
"Mereka memang sama dengan Elf, seperti namanya yang tak berbeda jauh. Namun, Dark Elf memuja dewa dewi yang berbeda dari Elf. Mereka menyembah entitas yang lebih... gelap."
"Dewa dewi kegelapan?"
"Ya, dewa dewi yang bertujuan jahat."
"Kalau begitu, apakah mereka juga jahat?"
"Grannie tak tahu, sayang. Mereka tak pernah muncul lagi untuk waktu yang cukup lama. Bahkan sebelum Grannie lahir, mereka sudah menjadi salah satu legenda menyeramkan dalam sejarah manusia."
Eve menatap neneknya polos, kemudian beralih pada buku yang ada di depannya. Dilihatnya salah satu lembar halaman yang menunjukkan sosok makhluk menyerupai manusia, namun digambarkan dengan sangat aneh. Manusia tersebut berkulit sangat gelap, hingga hampir tak bisa terlihat garis-garis batas tubuhnya. Telinganya runcing bagai ujung pensil yang sering ia gunakan ketika belajar. Lalu mereka memiliki postur yang cukup 'unik'.
"Seperti yang Grannie katakan, mereka tak berbeda jauh dengan Elf biasa. Mereka tinggi dan ramping, jemarinya panjang namun kurus, memiliki telinga yang runcing. Yang membedakan mereka dengan Elf adalah, kulit mereka yang gelap dan tatapan mereka yang tajam."
Manik hazel mungil milik Evelynn kembali menatap neneknya, seakan-akan ia meminta sang nenek untuk terus berbicara.
"Sebelum mereka menghilang, mereka sempat ditakuti tiap ras yang ada di tanah ini. Manusia, Elf, Warbeast bahkan Orc takut pada mereka. Mereka sangat kuat, mematikan, mampu membunuh siapapun dalam kegelapan dengan cepat dan bersih. Keberadaan mereka merupakan ancaman untuk semua ras dulu."
"Apakah mereka sejahat itu?"
Grannie tersenyum lembut pada Eve, lalu menutup buku tersebut. Tangan keriputnya beralih menggenggam tangan-tangan mungil milik sang gadis cilik itu, lalu mengelusnya dengan perlahan.
"Seperti yang Grannie katakan, Grannie tak tahu, sayang. Itu yang diceritakan orangtua Grannie dulu, namun tak ada yang tahu pasti karena mereka telah lama menghilang."
"Kenapa mereka menghilang?"
"Entahlah, sayang. Tak ada yang tahu. Mereka tiba-tiba menghilang, seakan-akan mereka semua telah tertelan bumi. Yang Grannie tahu, mereka terakhir terlihat di sekitar pegunungan Alvirth."
"Al.... Vir?"
"Ya, sayang. Alvirth."
----------
Ini di mana?
Pertanyaan itu hinggap di pikiran Evelynn yang perlahan terbangun dari tidurnya yang lelap. Diangkatnya kepalanya itu dari dua tumpukan koper yang sengaja ditaruh di sampingnya untuk menjadi sandaran Ia masih terduduk dalam kereta kuda yang ditumpanginya. Tak ada pencahayaan sama sekali dalam bilik tersebut, bahkan jendela pintu kereta kuda sama sekali tak memperlihatkan tanda-tanda sumber cahaya dari luar.
Seakan-akan ia tengah berada di tengah-tengah kegelapan yang tak berujung.
Gadis itu merapikan rambutnya yang berantakan, kemudian menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Bilik itu terasa sangat lembab sekarang, terlebih setelah diingat-ingat hanya beberapa ventilasi kecil yang menjadi jalan keluar masuk udara di kereta kuda itu.
Evelynn mengatur napasnya yang juga sedikit tak teratur. Perlahan ia berpindah duduk dari tempatnya, mendekati pintu bilik kereta kuda yang mempunyai jendela yang dapat dibuka. Tangannya meraba-raba pintu dalam kegelapan, mencari-cari pegangan untuk menggeser jendela sehingga dapat dibuka.
Tak lama kemudian, jendela itu tertarik ke bawah olehnya, dan angin segar dan dingin pun masuk dan bertukaran dengan udara di dalam.
"Oh, dear... Akhirnya," gumam gadis itu sambil menghela napas lega, kemudian bersandar di tempat duduknya dan memejamkan mata. Entah sudah berapa jam ia duduk di dalam bilik kereta kuda itu, namun ia sudah duduk semenjak keberangkatan sore tadi. Matanya terasa sedikit bengkak karena dalam perjalanan, ia sempat menangis kembali lalu terlelap sampai akhirnya sekarang terbangun.
Evelynn menghela napas. Manik hazelnya menatap kegelapan di atasnya. Sekilas terasa dari tempat duduknya, getaran-getaran yang dirasakan karena roda kereta kuda yang mungkin melewati jalan-jalan berbatu.
Berapa lama lagi mereka akan sampai?
"Evelynn Rosemary Avaron?"
Tiba-tiba sebuah suara yang nyaris tak asing memanggilnya, membuat gadis itu terkejut dan hampir melompat sebelum ia kemudian ia tersadar kalau ia berada di bilik yang cukup sempit. Ia menoleh cepat ke arah sumber suara, yang tak lain adalah jendela yang ia buka. Tak ada cahaya dari luar, sehingga ia tak dapat mengetahui siapa yang memanggilnya.
"Y-ya...?" jawabnya dengan terbata-bata. Gadis itu langsung duduk tegak dan merapikan roknya dengan refleks, padahal bilik itu terlalu gelap untuk dirinya sendiri melihat.
"Kenapa kau membuka jendela pintu?"
Suara berdesis tajam terdengar, dan akhirnya Eve menyadari suara siapa yang tadi memanggilnya. Wajahnya yang sempat dibuat seramah mungkin langsung berubah menjadi raut kesal.
Oh, si yang paling menyebalkan ini rupanya, batinnya.
"Siapapun namamu, Dark Elf yang sempat mencurigaiku akan kabur, aku hanya ingin bernapas dan tetap hidup," ujar gadis itu sambil mendengus, kemudian ia menjulurkan lidah dengan niat mengejek secara diam-diam. "Kalau tak bisa memberikan penerangan di sini, setidaknya berikan ventilasi udara yang baik dong."
"Aku Nathair, tapi itu tidak penting. Kau harusnya minta izin dulu kalau ingin membukanya," ia kembali berdesis. "Dan aku bisa melihat lidahmu menjulur dengan provokatif itu meskipun dalam kegelapan. Aku bisa lihat kamu seluruhnya di dalam, jangan sampai membuatku harus melakukan sesuatu dengan lidahmu."
Evelynn terkejut mendengarnya, namun ia langsung tertawa mengejek seakan-akan sengaja. "Y-ya, aku pikir kau bisa melihat dalam kegelapan, dan aku sengaja melakukannya. Memangnya kenapa? Apa yang ingin kau lakukan, hmm? Kau yakin ingin melakukan hal buruk pada seorang yang hendak dikirim untuk rajamu itu?"
Eve memberatkan alisnya hingga terlihat marah, dan bibirnya melipat tajam ke dalam, lalu ia melotot ke jendela, berharap dapat menatap dengan galak Dark Elf yang mengajaknya bicara itu. Tak lupa kedua tangan dilipat ke dadanya, berusaha menunjukkan kalau ia tidak takut. Meskipun sebenarnya gadis itu sangat malu karena ketahuan menjulurkan lidah seperti anak kecil. Gadis itu tak tahan karena kesal.
"Yang aku ingin kan hanyalah kau meminta izin, oke?" suara Dark Elf itu masih dingin, namun kata-katanya seperti memberitahu bahwa ia tak ingin membuat masalah.
"Tak perlu, aku tak perlu meminta izin untuk pelayanan buruk ini," Evelynn membuang muka, namun ia menyembunyikan rasa bangga karena sepertinya telah berhasil membuat Dark Elf itu tak ingin membuat masalah. "Lagipula, ini di mana sih? Kenapa sangat gelap? Bahkan di luar tak ada penerangan sama sekali. Meskipun kalian bisa melihat dalam kegelapan, bukannya lebih baik menyalakan lentera atau semacamnya? Kalau hari sudah gelap seperti ini, bisa-bisa ada hewan buas yang memangsa kalian."
Tak ada jawaban dari luar, membuat Evelynn sedikit curiga. Bagaimana kalau sebenarnya mereka sudah sampai? Bagaimana kalau sebenarnya mereka sedang memutari tempat yang sama sehingga gadis itu tak tahu seberapa jauh mereka sekarang? Bagaimana kalau sebenarnya ada yang tak ia ketahui dan itu dapat berakibat fatal untuknya?
"... Apa? Kenapa tak menjawab?"
Suara tawa terdengar dari luar, kemudian diikuti oleh dehaman kecil.
"Kami akan baik-baik saja. Kami berada di tempat di mana tak akan ada hewan buas yang datang. Mungkin hanya kami yang berada di sini sekarang," ujarnya, namun tak meninggalkan kesan mengintimidasi di tiap nada suaranya. Evelynn mengernyitkan dahinya.
Hanya ada mereka?
Tempat di mana tak akan ada hewan buas yang datang?
"Dan kami Dark Elf."
Suara Dark Elf itu tak menyalurkan intimidasi sama sekali, namun Eve dapat merasakan adanya sedikit penekanan ketika ia menyebut rasnya sendiri, seakan-akan ingin mengingatkan kembali kepada apa Evelynn ini berbicara. Gadis itu hanya tertegun dan tak membalas.
"Kau mengerti kan?"
Evelynn mendengus, lalu mengalihkan pandangannya ke sisi gelap lain dari bilik kereta.
"Ya, ya... Tentu saja aku tahu," Evelynn kembali bersandar. Manik hazelnya menyelami kegelapan yang berada di sekitarnya. Tenang, hanya ada bunyi roda kereta yang bergesekan dengan jalan yang tak rata. Selain itu, suara tapak kuda tak terhitung jumlahnya juga mendampingi kesunyian. Rombongan itu belum berhenti juga setelah beberapa jam berjalan.
"... Dan asal kau tahu, Evelynn Rosemary Avaron," suara sang Dark Elf merendah kembali. "Kau harus berhati-hati dalam berbicara. Kau tahu siapa kami, dan kami sudah berbaik hati melindungi kalian. Jangan sampai apa yang kau katakan, dan intonasi buruk suaramu itu membuat kami harus menyikapinya dengan lebih buruk juga."
Evelynn kembali terduduk tegak dan menoleh cepat ke jendela yang gelap. Samar-samar ia dapat merasakan tatapan tajam nan dingin dari sepasang mata silver yang menyala. Gadis itu sedikit tercekat.
"... Apa maksudmu?"
"Kau tak mau kan, kalau aku mau tak mau harus melakukan sesuatu yang 'buruk' pada desamu itu?"
Sepasang mata hazel itu terbelalak cepat lalu raut gadis itu begitu syok. Dengan cepat gadis itu meraih bingkai jendela dan berdiri, mendekatkan wajahnya ke luar.
"Kau tak bisa membawa Rosmaid ke sini!"
"Oh ya, tentu saja bisa. Teruskan sikapmu dan kita lihat bagaimana nantinya," tawa dingin terdengar seraya dua iris silver itu meredup dan menghilang dari jendela, diikuti dengan suara tapak kuda yang menjauh. "Jangan berharap akan diperlakukan dengan baik juga saat sampai ke tempat kami."
"Hei!"
Evelynn memanggil dengan kencang, namun tak ada respon lagi. Semua kembali sunyi, meninggalkan gadis itu dalam kegelapan bilik kereta yang juga diiringi suara langkah rombongan dan roda kereta. Sejenak ia berpikir untuk mengeluarkan kepalanya dan kembali memanggil Dark Elf tadi, tapi diurungkannya niat itu karena tak ingin memperburuk keadaan. Lagipula ia lupa siapa namanya.
Gadis itu langsung jatuh terduduk di tempatnya. Iris hazelnya kembali menyelami kegelapan yang mengisi bilik itu dengan tatapan kosong. Detak jantungnya tak tenang. Ia tak bermaksud buruk, hanya ingin agar dirinya diperlakukan baik. Terlebih ketika Dark Elf entah-siapa-namanya-itu mencurigainya akan kabur terus.
Apa hidup dan kenyamanannya sekarang sudah berada di tangan orang-orang ini?
Ia hampir membahayakan Rosmaid. Jika saja Dark Elf itu tidak memperingatinya, Evelynn mungkin tak sadar dan akan meneruskan egonya untuk diperlakukan baik. Tak ada yang lebih menakutkan dibandingkan membayangkan orang-orang yang ia sayangi kembali terluka, apalagi orang-orang itu adalah ras paling menakutkan yang pernah ada.
Gadis itu menghela napas lemah.
Seharusnya ia mengerti bahwa mulai sekarang hidupnya akan menentukan nasib banyak orang. Sudah merupakan kewajibannya untuk menahan emosi dan perasaan, demi orang-orang yang ia sayangi, yang juga bergantung pada pundaknya.
Tangannya terangkat ke depan, dengan jari-jarinya memisah satu sama lain. Samar-samar manik hazel itu menatap jemarinya dengan kosong. Perlahan tangan itu terkepal, seakan dirinya tengah menggapai sesuatu di depannya.
Gadis itu harus tetap kuat.
----------
"Ada kehidupan di mana~
Bagai air danau~
Tenang dan damai~
Jernih dan menyegarkan~
Sumber kehidupan segala~
Tempat beristirahat~"
Senandung itu berhenti sejenak ketika Eve merasakan tempat duduknya bergetar lebih hebat. Ia melepaskan rambutnya yang sedang ia sisir dengan jari tangan. Diliriknya jendela luar yang menunjukkan kegelapan yang samar-samar memudar, memperlihatkan dinding batu kasar yang berwarna coklat keunguan.
"Hmmm...?" alis gadis itu terangkat dan dahinya mengernyit. Seketika pandangannya terus terpaku ke luar, membiarkan pemandangan yang terus bergerak dan terganti, namun tetap dengan dinding kasar yang sama. Dilihatnya lebih dekat, sebelum kemudian ia mengambil kesimpulan.
Di dalam gua kah? Tak mengejutkan... Tapi di mana?
Gadis itu menghela napas lalu kembali menyusupkan jari-jarinya ke dalam rambut keemasannya yang ia gerai, mencoba mengisi kekosongan panjang yang baru pertama kali ia rasakan setelah waktu yang lama. Aneh rasanya, tidak bekerja dan memikirkan apapun. Gadis itu terbiasa dihadapi oleh masalah-masalah Rosmaid, membuatnya harus selalu siap dalam segala keadaan. Kadang ia membuat Derek khawatir, karena sifatnya yang cukup workaholic itu. Tak jarang justru malah Derek yang mengajaknya untuk makan atau beristirahat.
"Huuuummmmm~"
Gadis itu kembali bersenandung sambil memejamkan matanya. Jari-jari tangannya yang dijadikan sisir rambut mulai bergerak dan turun mengikuti helai rambut keemasannya sepanjang pinggang. Sesekali ia berhenti ketika ada rambut yang kusut dan butuh dibetulkan, lalu kembali lagi menyibukkan diri dengan menyisir rambut.
"Ada kehidupan di mana~
Bagaikan padang rumput luas~
Sejuk dan bebas~
Tersembunyi dan sunyi~
Hanya ada angin menemani~
Dengan bisikan-bisikan penenang hati~"
Brakk!
Tiba-tiba ia terjungkal ke depan dari tempatnya duduk, dengan tangan refleks langsung menumpu pada tempat duduk di depan. Helai rambut emas panjangnya yang tadi sudah rapi sedikit berantakan, sebagian menggantung di samping pipinya. Evelynn mendengus kecil lalu mulai merapikan rambutnya sembari bertekuk lutut di lantai. Setelah selesai, gadis itu pun berdiri dan mulai mengambil posisi duduk.
"Huummmmm-"
Brakkk!
Lagi-lagi sebuah dorongan yang lebih hebat terjadi, membuatnya kembali terjungkal kuat. Evelynn sempat berteriak refleks, sebelum wajahnya menabrak bantalan bangku di depannya. Segera ia bangkit dan mendengus kesal.
Sampai kapan sih melewati gua berbatu ini!?
Ia mengutuk dalam hati lalu kembali merapikan diri. Astaga, ia sudah tak kuat berada di dalam kereta kuda ini. Gelap dan sangat lembab, seperti gudang kecil belakang rumahnya yang panas ketika di siang hari.
Namun, iris hazelnya bereaksi ketika menyadari sesuatu.
Bilik kereta kuda itu lebih terang dari sebelumnya. Bahkan ia dapat melihat ukiran unik yang berada di tengah-tengah bangku di seberangnya. Bantalan bangku lebih terlihat jelas berwarna hijau pinus. Dua koper di sebelahnya pun baru ia sadari sudah jatuh ke lantai. Gadis itu langsung menoleh ke jendela, dan matanya mengerjap beberapa kali. Baru disadarinya bahwa cercah cahaya redup mengisi ruangan itu sehingga semuanya menjadi lebih terlihat.
Namun tak hanya itu.
Evelynn perlahan berjalan mendekati jendela, kedua tangan mulai memegang di bingkai jendela, lalu kepalanya melosok ke luar. Matanya membelalak kaget dan mulutnya menganga lebar. Terpukau dengan warna-warna indah yang berada di depannya, dengan warna hijau mendominasi.
"Oh... dear."