Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Piece of Dream

🇮🇩agnssnadint
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.2k
Views
Synopsis
Anak perempuan itu tidak pintar, tidak juga populer, tapi percayakah kalian bahwa dia bisa memecahkan teka-teki dari potongan mimpinya? Iya, dia tidak pintar tapi dia berhasil memutus sekat antara dunia mimpi dan dunia nyata...
VIEW MORE

Chapter 1 - Not the First Time

Seorang anak perempuan tertidur pulas di bawah pohon rindang dekat sebuah perkampungan. Angin yang berhembus seakan ingin membangunkannya, dan berhasil membuatnya mulai terusik dari tidur nyenyaknya.

"Wufffhh," angin berhembus semakin kuat. Dirasakannya hembusan itu pada bagian kanan wajahnya.

"Wufffhhh," berhembus semakin kencang lagi di area yang sama.

"Wuffhh." berhembus lagi.

Hingga pada akhirnya anak perempuan itu mulai mengucek pelan kedua matanya.

"Ayo bangun, kamu selalu saja tertidur di sini." Terdengar suara anak laki-laki tepat di sampingnya.

Anak perempuan itu sekali lagi mengucek matanya. Dan benar saja, dirinya mendapati seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya tengah duduk tepat di sampingnya, dapat dipastikan dialah yang mengusik tidurnya itu.

"Siapa ka-" ucapan anak perempuan itu tiba-tiba terpotong.

"Masih belum mengingatku, ya?" Tanya anak laki-laki itu, tersenyum tipis, kini pandangannya beralih menatap ke depan.

Selang beberapa detik anak laki-laki itu menghela nafas. "Tidak apa deh, aku yakin suatu hari nanti akan tiba, saat dimana kamu kembali mengingatku."

Anak perempuan itu mengernyit dalam, sama sekali tidak mengerti maksud dari ucapan anak laki-laki itu. "Aku sama sekali tidak mengerti." Jelasnya.

"Kenapa kamu tidak jelaskan saja apa yang terjadi?" Lanjutnya. Anak perempuan itu menyorotkan sorotan mata penasarannya pada anak laki-laki itu.

Anak laki-laki itu menoleh. "Aku ingin." Katanya.

"Tapi aku tidak bisa." Lanjut anak laki-laki itu.

"Kenapa?" Anak perempuan itu ikut berdiri saat anak laki-laki itu mulai beranjak pergi.

"Kenapa tidak bisa?" Tanyanya lagi.

Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya, dia menoleh, kembali tersenyum tipis. "Aku tidak bisa." Anak laki-laki itu terdiam beberapa saat. "Maaf," lirihnya.

"Karna kita tidak benar-benar di alam nyata."

Anak perempuan itu terdiam beberapa saat, mencoba meresapi kata-kata yang terlontar dari anak laki-laki itu. Tapi tetap saja, mau diresapi seberapa keras pun. Anak perempuan itu tetap tidak mengerti.

Lalu anak perempuan itu kembali mendongak, "Apa maksud-hey! mau kemana?!" dilihatnya anak laki-laki itu melanjutkan langkahnya kembali, sama sekali tidak memperdulikan panggilannya. Anak perempuan itu ingin sekali menghalanginya agar tidak pergi, tapi entah mengapa dia tidak bisa melakukannya. Dirinya sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud anak laki-laki itu.

Bagai tertelan kabut putih anak laki-laki itu pergi menembus tebalnya kabut itu, lalu menghilang bersamaan dengan kabut yang mulai menipis.

"Dia, dia pergi kemana?"

Mata anak perempuan itu memperhatikan sekitar, dia tidak tahu pasti ini di mana, juga sama sekali tidak mengenal siapa anak laki-laki misterius itu.

Anak perempuan itu mulai gelisah. Pikirannya mulai bekerja normal, dan mulai teringat bahwa dia pernah mengalami hal seperti ini juga sebelumnya, terjadi sampai berulang-ulang. Berada di tempat ini dan bertemu anak laki-laki, lalu anak laki-laki itu mengenalnya dan dia tidak, anak laki-laki itu hilang lalu dirinya tidak bisa mengejarnya atau menemukan sosoknya lagi. Pergi kemana? Hilang kemana? Dirinya tidak tahu. Tidak mengerti.

Tiba-tiba dan entah siapa, seperti ada yang menyorotkan cahaya menyilaukan tepat di kedua matanya.

*

Suasana riuh melingkupi area lapangan Sekolah Menengah Pertama 'Maple Leaf'. Kemarin adalah hari dimana setiap murid-murid di sini mendapatkan buku nilai mereka.

Dari berbagai siswa-siswi, beragam pula nilai serta peringkat mereka yang naik atau malah turun di kelasnya. Juga bermacam-macam cara bagaimana mereka menanggapinya. Mulai dari yang santai-santai saja dengan menerima apa adanya nilai mereka, ada yang sangat peduli tentang kenaikan nilai atau penurunan nilai mereka, ada yang tidak terlalu memikirkan, bahkan ada yang tidak perlu melihat daftar-daftar nilai mereka sendiri, seperti tahu peringkat mereka saja, itu sudah lebih dari cukup untuk mengetahui mereka mengalami peningkatan atau penurunan dalam pembelajaran semester ini.

Zara adalah salah satu murid 'Maple Leaf' yang menerima apa adanya nilai yang tertera di buku nilai miliknya.

"Zaraa!! Awas!!"

Bukk

"Aduhh!"

Zara yang merasakan sakit di kepalanya meringis. Baru saja dirinya hendak duduk di kursi kayu panjang di samping lapangan, tapi cepat-cepat diurungkannya niat itu.

Seorang anak laki-laki berseragam basket datang menghampiri.

"Maaf Ra, tidak sengaja." Katanya menyengir lebar.

Zara mengangguk memaklumi, masih mengusap-usap pelan kepalanya.

"Tunggu, Elland. Kamu lihat Fania tidak?" Zara memutuskan untuk bertanya pada Elland. Elland menggeleng kecil. Sudah hampir setengah jam Zara mencari Fania tapi tak kunjung ditemukan, benar-benar menjengkelkan sekali menurutnya. Berhubung karna ini hari bebas sebelum memasuki liburan kenaikan kelas, para siswa-siswi jarang berada di dalam kelasnya. Kebanyakan dari mereka memutuskan untuk ke kantin, menonton pertandingan, mengobrol, beberapa memutuskan pulang lebih awal dan lain sebagainya.

Elland menoleh menatap Zara yang terlihat lesu, lalu dirinya memutuskan untuk melempar bola basketnya kepada temannya sembari melambaikan tangan tinggi pada mereka. Mengartikan bahwa Elland berhenti bermain.

Elland berjalan beberapa langkah lebih jauh dari lapangan basket dan kursi kayu itu, tanpa keberatan dirinya duduk diatas rumput. Zara menghampiri saat Elland menyuruhnya duduk di sampingnya.

Elland kembali melambaikan tangannya saat teman satu timnya tidak menerima Elland berhenti permainan. Saat ada temannya yang mengangkat kedua tangannya, menyiratkan 'kenapa?' Elland menunjuk Zara dengan jempolnya sebagai alasannya berhenti bermain.

Zara menghela nafas, "aku bukan anak kecil lagi Elland. Kamu bisa bermain sepuasnya sebelum liburan kenaikan besok." Zara mengembungkan kedua mulutnya, merasa tersindir atas perlakuan Elland yang menurutnya menganggap dirinya masih kanak-kanak karna harus ditemani.

Elland menggeleng, lalu tertawa kecil.

"Tentang nilaimu, bagaimana Ra?" Tanya Elland membuka topik.

Zara memiringkan kepalanya, "bagaimana apanya?"

"Ya bagaimana nilainya, memangnya bagaimana apanya?" Elland menggeleng-geleng prihatin. Setiap tahun Zara selalu saja begini, tidak memikirkan bagaimana nilai-nilainya, bagaimana sih cara otaknya itu bekerja untuk mengisi jawaban-jawaban, apa Zara benar-benar mengarang semua jawabannya? bertahun-tahun, itulah yang dipikirkan Elland.

Sekali lagi Zara menghela nafas, menjawab datar. "Bagus kok."

Elland menatap curiga, "oh ya? Sebagus apa?"

Zara menarik nafas dalam, mencoba menahan kesal. "Apa dapat nilai tujuh puluh sembilan itu tidak bagus?" Zara menaikkan alisnya, masih menahan kesal. Zara sama sekali tidak suka topik ini, tetapi setiap tahun, bahkan setiap semester selalu saja ada yang bertanya ini itu mengenai nilai yang dia dapatkan. Menurutnya dunia ini amatlah tidak adil. Memangnya kenapa kalau dapat nilai kecil? Toh ini nilainya bukan nilai orang lain, begitulah hati kecil Zara selama ini menjerit.

Dan siapa lagi orang yang sibuk menanyakan nilainya kalau bukan Elland dan kedua orangtua nya? Sungguh, Zara benar-benar tidak suka hari pengambilan buku nilai! Yang Zara suka adalah masa liburan setelah mengambil buku nilai menyebalkan itu. Iya, hanya itu.

Elland menepuk jidatnya. "Zara-"

"Apa? Aku kenapa, huh?"

"Setidaknya walaupun hanya satu, aku sudah berusaha tahu." Zara memutar bola matanya malas.

"Tahun depan pokoknya aku mau lihat kamu dapat nilai diatas delapan." Kata Elland.

"Silahkan saja." Zara mengangkat bahunya, tidak perduli.

"Zaraa! Elland!"

Zara menatap ke sumber suara, seketika tersungging senyum di bibirnya "Faniaa!"

"Aku cari-cari kamu tahu. Kamu kemana saja, sih?" Zara menatap Fania kesal.

"Maaf, tadi ada, aku ada urusan."

Zara berdecak. "Urusan apa coba?"

"Oh iya, ini kalung kamu kan? Tadi jatuh Ra, untung tidak hilang." Fania menyodorkan kalung dengan liontin batu biru yang diikat dengan tali coklat.

Zara mengernyit menatap kalung yang disodorkan Fania, "bukan kok. Itu bukang kalungku."

"Oh ya? Bukannya kamu sering pakai ini?" Fania menatap Zara bingung.

Elland ikut menatap heran. "Iya, Ra. Kamu kan setiap hari pakai kalung itu, masa lupa."

Zara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencoba mengingat-ingat. "Betul kok, aku tidak pernah pakai kalung malahan."

Fania memutar bola matanya, "Zara jangan berakting, ini." Fania cepat-cepat menyerahkan kalung itu.

"Eh, siapa yang-"

Elland bangkit dari duduknya. "Sudahlah, ayo pulang, sebelum matahari berada tepat di atas kepala." Elland lalu berlari kecil untuk mengambil tasnya sembari mengucapkan sampai jumpa kepada teman-temannya.

Zara bingung, dirinya memperhatikan kalung itu dengan seksama.

"Ayo Zaraa!" Fania berteriak memanggilnya saat sudah setengah jalan, karna dilihatnya ternyata Zara masih di tempat yang sama.

Zara akhirnya terpaksa menyimpan kalung itu. Buru-buru dirinya memasukkannya ke dalam tas.

"Iya-iya, sangat tidak sabaran."