Seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya, Ana yang sudah lulus sekolah, kini ikut Dokter Ratna pindah ke Kota. Dokter Ratna sudah menyiapkan sebuah apartemen untuk tempat tinggalnya dengan Ana. Berbagai macam bujuk rayu telah ia ucapkan agar gadis itu mau tinggal dengannya. Namun tetap saja ditolak.
"Kamu sungguh yakin akan tinggal di tempat seperti ini?" tanya Dokter Ratna ketika mobilnya berhenti tepat di halaman parkir sebuah gedung bertingkat.
"Tentu saja saya yakin. Saya sudah memutuskan untuk menjadi lebih mandiri."
Ana keluar dari mobil, diikuti Dokter Ratna. Mereka mengedarkan pandangannya di sekitar gedung. Untuk ukuran asrama, tempat ini cukup bagus dan bersih. Ana mengeluarkan kopernya dari bagasi, begitupula dokter Ratna yang membantu membawakan beberapa tas Ana yang lain.
Mereka berjalan masuk ke gedung.
"Ana, belum terlambat jika kamu mau mengubah pikiran," ucap Dokter Ratna berusaha membujuknya lagi.
"Terima kasih, dok. Tapi saya baik-baik saja," jawabnya sambil tersenyum.
Mereka berbicara pada penjaga asrama dan kemudian berjalan memasuki lorong yang ditata dengan sangat indah. Mereka berhenti di depan kamar nomor 69. Petugas asrama membuka kamar itu. Kemudian mereka masuk ke dalamnya.
Ana tersenyum memandang sekitar kamarnya. Cukup luas. Satu tempat tidur ukuran king size, dua meja belajar, satu meja tambahan plus loker, satu kamar mandi, dan satu lemari.
"Untuk peraturan asrama, semua sudah terpasang di meja belajar masing-masing. Jika memang terdesak tidak pulang ke asrama atau pulang larut, penghuni asrama bisa menghubungi nomor kantor agar dibukakan gerbang," jelas penjaga asrama. Ana menganggukan kepalanya.
Penjaga itu berpamitan dan meninggalkan kamar Ana. Kini hanya tersisa Ana dan dokter Ratna. Mereka sempat berbincang beberapa saat.
"Kamu jangan memanggilku dokter lagi. Itu akan menarik perhatian orang disekitarmu."
"Lalu?"
"Panggil aku kakak. Mulai sekarang, kamu jadi adikku."
Ana tersenyum. Lima tahun wanita itu merawat Ana, menggantikan dokter yang sebelumnya. Lima tahun itupula keduanya menjadi semakin dekat. Dan untuk pertama kalinya Dokter Ratna meminta Ana untuk menjadi adiknya. Tentu saja perasaan bahagia yang dirasakan Ana.
Tak lama, Dokter Ratna pun pergi. Hanya ada Ana yang sedang membayangkan penataan ruang kamarnya itu. Pertama, ia memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Selanjutnya ia mulai merapikan ruangan yang kini menjadi kamar pribadinya. Tidak banyak hiasan, hanya beberapa pot bunga yang ia susun di atas meja berloker, juga beberapa buku yang ia taruh di rak gantung dinding.
Setelah semua beres, ia berbaring diatas tempat tidur dan memejamkan matanya. Berusaha memahami perkataan Dokter Ratna sebelum mereka berpisah tadi.
***
Flashback~
"Di sini hanya ada kamu dan aku. Aku yakin kamu juga bisa menjaga diri dengan baik karena kamu pemegang sabuk hitam taekwondo." Dokter Ratna mulai membuka pembicaraan serius sebelum meninggalkan Ana di kamar barunya.
Ana tersenyum dan mengangguk mendengar perkataan dokternya itu.
"Ana, pesanku hanya satu. Cobalah mulai membuka diri pada lingkungan sekitarmu."
"Tapi, rasanya terlalu sulit untuk mempercayai orang lain selain Kak Ratna dan tante."
"Karena kamu tidak benar-benar mencobanya. Cobalah buka hatimu, paling tidak untuk orang yang dekat denganmu nanti."
"Tidak mau!"
"Ana, ini juga demi kebaikanmu. Manusia adalah mahluk sosial yang tak bisa lepas dari orang lain. Karena kamu saat ini jauh dari Tante Mila dan juga tidak terpantau aku setiap hari, kamu harus mulai membuka dirimu. Cobalah ikutin kegiatan sosial di kampus. Pasti perlahan akan mampu membuatmu melupakan rasa sakit itu."
"Baiklah, aku akan mencobanya," jawab Ana mengalah. Ia tidak tahu apakah itu nanti hanya akan menjadi pemanis bibir atau sungguh akan ia lakukan.
Dokter Ratna tersenyum. "Oh ya, apa kamu tidak ingin berkencan dengan seorang lelaki? Usiamu sudah mulai dewasa."
Ana memalingkan wajahnya . "Tidak. Aku takut mereka membunuhku seperti membunuh ibu," jawabnya penuh keyakinan.
"Ah, baiklah. Kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa bicara padaku."
Flashback end~
***
Ana membuka matanya lagi. Dilihatnya langit-langit kamar itu. Membuka hati? Memangnya aku bisa?, pikirnya pesimis.
Ana bangun. Ia melangkah keluar kamar untuk menghindari rasa bosan itu.
Ia berjalan di sekitar asrama. Ternyata asrama ini sangat luas. Terdiri dari 3 bangunan utama asrama, lapangan tenis, lapangan basket, dan lapangan futsal. Di bagian belakang asrama juga ada kolam renang.
Ana melihat sekelompok wanita yang sedang mengobrol dengan keseruan mereka. Ia memandangnya dari sisi lain kolam renang. Tanpa sadar, sebuah senyum tergaris di wajah putihnya. "Apakah terasa menyenangkan jika memiliki teman bicara seperti itu?" gumamnya.
Ana mengambil headset di sakunya dan memakainya. Ia menyalakan lagu favoritnya. Kakinya terus melangkah. Matanya melihat-lihat suasana asramanya.
Tanpa terasa ia sudah berada di luar gerbang asrama. Ia menyebrang jalan dan masuk ke salah satu toko roti di sana. Ia memilih beberapa roti. Saat hendak melakukan pembayaran di kasir, langkahnya terhenti.
Pandangannya tertarik pada seorang wanita yang sedang minum Jus Frape di gelas plastik sambil membaca novel. Ia merasakan ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Rasa penasaran dan juga...
"Kue atas nama Kak Julia!"
Teriakan petugas kasir berhasil menarik Ana kembali ke kenyataan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia pun bergegas maju ke barisan setelah menyadari lelaki di depan kasir itu pergi. Di depan kasir, ia mengedarkan lagi pandangannya. Mencari wanita itu.
"Hanya ini saja, kak?" tanya petugas kasir yang berhasil mengejutkannya.
"Ah?! I-iya... Hanya itu," jawab Ana tergagap. Matanya mencari sosok misterius yang berhasil membuatnya tertarik.
"Baik, kak. Semuanya seratus dua puluh lima ribu. Mau cash atau elektronik?"
Ana tidak merespon petugas kasir itu. Ia terus fokus mencarinya.
"Kak!" seru petugas kasir dengan suara yang lebih tinggi.
Ana langsung menoleh. Ia mengerjap beberapa kali. "Iya?"
"Mau bayar pakai cash, card, atau elektronik?"
"Berapa semuanya?" tanya Ana pada petugas kasir. Sepertinya ia tidak mendengar perkataan petugas itu tadi.
"Seratus dua puluh lima ribu."
Ana menyalakan ponselnya, kemudian men-scan barcode yang ada di depan kasir. Ia melakukan pembayaran menggunakan e-money.
"Uangnya sudah masuk ya, kak. Terima kasih atas kunjungannya. Silahkan datang kembali," ucap petugas itu sambil memberikan tas berisi kue yang dipesannya tadi.
Ana hanya mengangguk dan segera meninggalkan toko. Matanya langsung melihat ke seluruh penjuru jalan, mencari keberadaan si cantik yang minum jus Frape tadi. Namun, wanita itu sudah menghilang.
Ana tersenyum simpul di pinggir jalan. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Untuk pertama kalinya ia tertarik pada orang lain, dan itu wanita.
'Tuhan, jika memang dia yang akan membuka hatiku nanti, izinkan hal itu terjadi secara alami....'
***