Hup!
Danthe menghela napas panjang sesampainya dia di tempat yang lebih tersembunyi lagi dari tempat yang biasa digunakannya sebagai tempat pertemuan antara dirinya dengan Irin.
Raksasa itupun segera melihat sekeliling, batu.
Hamparan batu raksasa dan juga pohon-pohon yang menjulang tinggi lah yang mendominasi pemandangan di sekitar Danthe.
Guru dari Irin tersebut selalu merasa bahwa dirinya begitu kecil diantara bebatuan dan pohon disekitarnya.
Namun dia tetap pergi ke tempat tersebut dimana selama ini dia meyakini bahwa tempat ini merupakan tempat kelahiran para Bangsa Bota termasuk dirinya.
Danthe lalu bersimpuh di hadapan batu yang berukuran paling besar.
"Guru.." ucap Danthe sambil mengelus batu itu.
Walaupun terlahir sebagai raksasa, walaupun tubuhnya tersusun dari bebatuan paling keras di Archard, namun Danthe masing memiliki hati yang selembut sutra terlebih jika itu menyangkut tentang Irin.
Ingatan Danthe pun tiba-tiba melayang ke momen sesaat setelah Irin lahir.
..
Saat itu, ketika dia sedang bersemedi di tempat ini sebuah cahaya putih yang menyilaukan tiba-tiba datang menghampirinya.
Cahaya tersebut perlahan membentuk sebuah siluet tubuh manusia yang semakin dekat semakin jelas hingga mata Danthe terbelalak saat melihat wujud yang melayang tersebut.
"Noora.."
Melihat wujud Noora yang melayang-layang, Danthe pun sadar bahwa sosok yang dia lihat merupakan wujud dari sang murid yang sebentar lagi akan kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa.
"Mengapa kau seperti ini? Apa yang terjadi padamu?" tanya Danthe dengan berkaca-kaca.
Noora lantas tersenyum lembut ke arah gurunya.
Wanita itu lalu menyentuh dahi sang guru dengan telapak tangannya yang transparan dan seketika seluruh memori Noora dilihat oleh Danthe bersamaan dengan sentuhan di dahi itu.
"Dia memiliki matamu, Noora." ucap Danthe sembari tersenyum ketika sang murid telah selesai memperlihatkan memorinya.
"Kutitipkan permataku padamu, guru. Tolong berikan kehangatan di sepanjang hidupnya yang sudah tak bisa kuberikan lagi."
Setelah mengucapkan hal tersebut, Noora pun menghilang menuju cahaya yang lebih menyilaukan di atas langit.
..
Danthe pun membuka matanya kembali dan tak terasa air matanya bercucuran saat mengingat momen menyedihkan tersebut.
"Aku tahu kau bisa mendengarku, guru. Tolong katakan padaku bagaimana cara agar Irin bisa bersentuhan dengan orang lain secara normal? Paling tidak dia mendapatkan pelukan hangat dari orang-orang di sekitarnya selain aku."
Entah mengapa setelah mengucapkan kalimat tersebut, Danthe sangat tertarik untuk melihat ke arah langit.
Begitu Danthe menatap hamparan selimut berwarna biru tersebut, diapun menyadari bahwa kini terdapat awan berbentuk cirrus yang langsung mengingatkan raksasa tersebut pada sesuatu.
"Ah! Moe?! Benar! Mengapa aku tak terpikirkan sebelumnya tentang makhluk itu?! Kau memang bisa diandalkan, guru!"
Sebenarnya awan cirrus yang dilihat oleh Danthe tersebut hanyalah sebuah fenomena alam yang sudah biasa terjadi.
Namun mungkin karena sugesti dan ekspektasi yang tinggi terhadap sang guru yang sudah tiada, raksasa itupun jadi menganggap bahwa penampakan awan cirrus tersebut merupakan jawaban dari sang guru.
Danthe kemudian duduk bersila di atas tanah setelah mencabut salah satu cabang pohon.
Srak! Srak!
Raksasa itupun mulai mencoret-coret tanah yang fokusnya adalah Irin dan Moe.
Setelah terbentuk bagan-bagan yang cukup kompleks, Danthe mulai berpikir.
"Hmm.. Moe itu sebuah makhluk yang tercipta dari energi terakhir Arthur. Jika dia sedang menyatu di tubuh Irin, masih memungkinkan bagi gadis itu untuk disentuh. Namun setelah kuhitung, durasinya paling lama hanya lima menit setelah itu mereka akan jatuh pingsan karena energi mereka akan otomatis terserap oleh Moe. Lalu bagaimana cara mengatasinya?"