Chereads / My Porphyrous (With You) / Chapter 3 - Orphic

Chapter 3 - Orphic

Kejadian Lia bertemu Arka sudah berlalu kemarin. Pembicaraan mereka terpotong kala sebuah mobil hitam, berhenti di depan toko roti sederhana itu. Lia berdiri dan mempersilakan Arka keluar. Kebetulan Lia duduk di kursi luar sedangkan, Arka di dalam, dekat ke dinding.

Arka membungkuk sedikit, sebagai bentuk terimakasihnya pada Lia. Lia yang tak mengerti maksud Arka juga ikutan membungkuk kecil. "Terimakasih untuk jaket serta handuknya ya, Lia." ujar Arka sembari membuka pintu mobil hitam tersebut.

"Sama-sama." balas Lia. Ia melambaikan tangannya. "Pulang bareng aku aja, yuk. Udah mau malam. Tak baik buat anak gadis pulang malam." ajak Arka.

Lia menggeleng halus, "Tak perlu. Lagipula, hujannya sudah agak reda. Aku jalan kaki saja. Mending kamu pulang, orangtua kamu pasti sudah cariin kamu." ujar Lia sedikit memerintah.

Arka mengangguk lalu memasuki mobilnya. Ia membuka kaca mobilnya sedikit, menampilkan rambut hitam lucunya. Lalu menyembulkan kepalanya kala jendela mobil itu mulai turun dan menampilkan wajah imut Arka.

Lucu, pikir Lia gemas.

"Aku pulang duluan ya, Lia. Sampai jumpa di sekolah besok!" lambainya girang. Mobil hitam itu melaju, mulai meninggalkan toko roti sederhana yang menjadi tempat berteduh mereka.

Lia mengalihkan pandangannya keluar kelas. Teman sekelasnya tengah bermain bola kaki di lapangan padahal, cuaca sedang panas hari ini. Berbanding terbalik dengan cuaca kemarin sore. Lia meminum soda dinginnya kemudian fokus ke arah ponsel yang dia pegang.

"Hei."

Hampir saja, Lia melemparkan ponselnya ke wajah orang yang memanggilnya itu. Lagian, Arka juga kenapa main kagetin?

Lia menetralkan degup jantungnya, "Jangan main nongol aja, dong. Untung jantung aku kuat."

Arka tertawa kecil, gemas melihat tingkah gadis mungil yang berada di hadapannya ini. "Ketawa terus, senang lihat aku jantungan, iya?!" Lia menatap nyalang ke arah Arka. Sontak membuat Arka semakin gemas pada Lia.

"Ih gemesin."

"Bacot sekali anda, tuan Arka.���

Setelah itu hening. Lia kembali melihat ponselnya sedangkan Arka sibuk memperhatikan poros wajah Lia yang mulus. "Kamu kenapa bisa masuk kesini?" tanya Lia yang sadar bahwa Arka tengah memerhatikannya sejak tadi.

Arka berpikir sebentar, "Tentu saja, karena ada pintu." dan menjawab dengan wajah polosnya itu.

Jawaban oknum Arkanalika ini sungguh membuat darah tinggi naik. Sangat. Sangat. Dan melebihi sangat.

"Terserah."

Arka melihat ke arah lapangan melalui jendela kelas Lia. Sebuah ide terlintas di otaknya, "Kenapa kamu tak ikut bersama teman sekelasmu?" tanyanya.

Lia melirik sebentar, "Kau sudah tahu jawabannya. Untuk apa bertanya lagi padaku."

Arka mengangguk. Jawaban Lia memang benar, tak salah dia menjadi juara paralel tiap tahun. "Kenapa kamu tak mau mendekati temanmu? Aku rasa, mereka akan senang jika memiliki teman sepertimu." Arka masih setia menatap Lia yang tengah mengacuhkannya.

"Aku tak butuh teman munafik seperti mereka."

Gerakan Arka terhenti setelah mendengar ucapan yang keluar dari bibir tipis Lia. Butuh beberapa saat untuk memproses apa yang baru saja keluar dari mulut Lia. Namun, dia sadar bahwa Lia ini pernah dimanfaatkan oleh teman-temannya dulu.

Belajarlah dari kesalahan.

Oke, Arka mengingat pepatah itu. Arka menghembuskan nafasnya kasar, "Pantasan kamu lebih dekat ke kelas sebelah dibanding kelasmu sendiri." Lia mengangguk, membenarkan ucapan Arka ini.

"Bagaimana kau pulang kemarin? Apakah ayah dan ibumu menjemputmu? Atau kau jalan kaki?" Arka mengalihkan pertanyaan. Lia sedikit tertarik dengan pembicaraan Arka ini.

"Aku jalan kaki. Aku sudah bilang, orangtuaku sibuk, tak bisa menjemputku." balas Lia agak dingin.

Arka menyadari nada suara Lia yang berubah setelah membicarakan hal sebelumnya. Sebuah ide terlintas di pikirannya, ia berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Lia, ke kantin yuk!" Lia menatap sinis ke arah Arka.

Lia menggeleng dengan cepat, menolak ajakan dari pria tampan yang satu ini.

"Berikan alasan terbaik kenapa kau tak mau ikut denganku ke kantin. Aku hanya menerima alasan terbaikmu, Lia." pinta Arka.

Lia berpikir sebentar, "Pertama, aku tak suka keramaian. Kedua, aku sudah makan dan tak perlu makan lagi. Ketiga, aku tak mau ditatapi oleh para pengagummu itu. Mengerikan, tatapan mereka seperti membunuh orang tau." jelas Lia. Bisa dibilang, Arka ini salah satu dari anggota tim basket yang memiliki banyak penggemar.

Arka tertawa kencang. "Itu alasanmu?" Lia mengangguk, "Aku tak menerima 3 alasanmu itu. Ayo, kita ke kantin!"

Jika sudah begini, rasanya Lia ingin sekali melenyapkan Arka.

⬜️⬜️⬜️⬜️⬜️⬜️⬜️⬜️⬜️⬜️

Angin siang itu tidak terlalu kering. Cukup dingin dan berhasil membuat Lia tersenyum lega. Setelah berdesakkan di kantin, ia merasa lega telah bebas dari lautan orang. Pemandangan kota terlihat cantik dari rooftop sekolah ini.

"Apakah kau kesini hanya untuk melihat hal itu? Membosankan." suara Arka benar-benar mengganggu ketenangan seorang Lia.

Bukankah pria itu yang mengajak dia kesini?

"Terus, aku harus apa? Kau yang mengajakku kesini, lagipula aku tak berniat sama sekali keluar dari kelas." Arka mengancungkan sendoknya, lalu menunjuk ke arah Lia.

"Justru itu, misiku adalah membuatmu keluar dari kelas. Kau tampak seperti mayat hidup kalau di dalam kelas." jawab Arka dengan nada meledek.

Lia memberenggut kesal, "Aku ke sekolah untuk belajar, bukan untuk menikmati rooftop seperti ini."

"Sekali-kali, bolos saja."

Puk

Perkataan Arka tadi sukses membuat Lia melemparkan kaleng kopi yang kosong di tangannya ke arah dahi Arka. Dan mendarat mulus tepat di dahi Arka. Tepat sasaran!

"Gila dia kurasa. Apa gunanya aku bolos? Lebih baik aku belajar menambah ilmu." tutur Lia menolak pikiran Arka tadi.

Arka memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya, lalu mengunyahnya. "Hiduplah sepertiku. Walau bolos pun tetap mendapatkan ilmu." Arka membanggakan dirinya sendiri.

"Memang, ilmu apa yang kau dapat?" tanya Lia sinis. Ujung matanya melirik sinis ke arah Arka.

Arka meregangkan tubuhnya membiarkan angin menubruk tubuh kekar miliknya. Bibir tipisnya mulai bergerak, berniat mengucapkan sesuatu. "Ilmu kehidupan!" ia berteriak sekeras mungkin, bak manusia yang baru saja bebas dari penjara.

Lia menatap Arka lebih aneh daripada tatapan sinisnya tadi, "Dia perlu dibawa ke psikiater. Ilmu darimana itu, hey?!" balas Lia tak kalah keras. Jujur, ini pertama kalinya Lia mendengar ilmu seperti itu.

Ilmu apapun itu, jika Arka mengatakannya pasti sudah dipastikan tak benar, pikir Lia.

Arka menatap Lia dalam, "Kau ini sebenarnya umur berapa sih? Masa hal seperti ini saja tidak tahu. Dasar kolot."

Lia yang gemas dengan bibir nakal Arka ini, langsung saja menepuk bibir Arka pelan. Sontak membuat Arka mundur sambil mengusap bibirnya.

"Hey, kenapa dipukul? Dasar gadis jahat! Aku tak mau berteman denganmu!" rajuknya. Lia mendelik sinis.

Siapa juga yang mau berteman dengannya? Bukankah dia yang pertama kali mendekati Lia? Sudah gila pemuda yang satu ini.

"Siapa juga yang mau berteman denganmu? Pria gila." ledek Lia.

Arka yang tak terima diledek seperti itu, menyiapkan nafas panjang. Kemudian, ia melontarkan setiap kata untuk meledek gadis kutubuku yang di depannya ini. Dan tentu dibalas juga oleh pihak lawan.

"Gadis aneh."

"Kau lebih aneh."

"Gadis kutubuku."

"Pria kutubasket."

"Memangnya ada kutubasket? Aku baru tahu bahwa ada yang namanya kutubasket." pikir Arka.

Sebenarnya, Lia juga tak tahu apa itu kutubasket, dia hanya asal ucap aja. "Ada. Aku yang buat. Memang kenapa? Masalah bagimu jika aku membuat kata seperti itu? Iya?" tantang Lia.

"Tidak juga sih."

Keheningan kembali datang. Angin siang itu terdengar lembut, seakan berbisik di telinga Lia. Membisikkan sesuatu yang tak mampu Lia mengerti. Lia ingin memahami apa yang angin itu katakan, namun seketika dia merasa bahwa dirinya melantur. Mana mungkin, angin bisa berbicara.

"Hey," Arka menoleh kala Lia memanggilnya, "Beritahu aku, seperti apa ilmu kehidupan itu."

Arka duduk, mengambil posisi nyaman untuk bercerita pengetahuan yang dia dapat. "Ilmu kehidupan bukan berasal dari orang lain." kalimat pertama yang Arka ucapkan membuat Lia bingung.

"Maksudnya?"

"Ilmu kehidupan bukanlah sesuatu yang dapat diketahui dari orang lain. Ilmu kehidupan, kau dapat dari dirimu sendiri dan dari pengalaman hidupmu sendiri." jelas Arka. Ia menghirup udara segar sebelum melanjutkan kalimatnya, "Karena tak semua orang sama. Ada orang yang hidupnya berkecukupan tapi tidak bahagia, mereka memiliki pemikiran sendiri tentang kehidupan."

"Aku belum pernah memikirkan tentang kehidupan."

"Karena itulah, kau bahkan tak bisa mengerti dirimu sendiri!" cerocos Arka.

Lia melotot. Apa maksud pemuda yang satu ini?

"Maksudmu apa sih?" rutuk Lia tak mengerti dengan jalan pikiran Arka. Terlalu kekanakan, pikirnya.

"Oke oke. Satu pertanyaan dariku. Kau mau sukses, kan?" tanya Arka. Lia mengangguk cepat siapa juga yang tak mau sukses di zaman seperti ini.

"Kalau begitu apa yang kau lakukan untuk bisa sukses?" Lia berpikir sebentar setelah mendengar pertanyaan Arka.

"Belajar dengan giat, tentu saja itu. Mau apa lagi." Arka mengangguk, jawaban Lia benar juga.

"Setelah kau sukses, apa yang akan kau lakukan?" pertanyaan terakhir ini membuat Lia diam, tak berkutik.

Arka terkekeh kecil. "Begitulah manusia, ingin sukses tapi tak tahu akan dijadikan apa kesuksesan mereka itu. Menurutku, sukses bukanlah tentang uang."

Lia menatap dalam ke arah Arka, "Pemikiran kita berbeda, rupanya."

"Itu yang ku maksud, tak semua memiliki pemikiran yang sama. Jika sukses menurutmu adalah tentang uang. Maka sukses bagiku adalah, ketika aku berhasil membahagikan orang yang aku sayangi." tutur Arka tulus.

"Kenapa?"

Arka tersenyum manis, "Karena kebahagiaan tidak dapat ditukar dengan uang apapun. Seperti udara yang Tuhan berikan."

Dan saat itu juga, Lia terjatuh dalam pemikiran dalan seorang Arka.

*************

Orphic (adj.) = beyond original understanding

27 September 2020

Salam,

Irene_shcrsth97