Wajahnya membuat hatiku bergetar. Hanya dengan melihatnya saja, membuat perasaanku cukup terpuaskan.
Ini salah! Aku tak mau diam dan hanya mengagumi, pikirku
Kuberanikan diri untuk mengungkap rasa dihatiku padanya.
"Bolehkah aku bicara?" tanyaku.
Ia mengangguk. Aku mulai membuka bibir ini.
"Aku menyukaimu," ucapku gemetar.
Dari sudut mataku, terlihat ia hanya menyunggingkan senyum, kemudian berlalu pergi. Batinku memberontak, tetapi tubuhku terasa kaku.
Dua minggu setelah itu, aku kembali menghampirinya.
"Aku mencintaimu!" tegasku mantap.
ia menatapku terheran. Melangkah pelan mendekati dan sejenak memandangku. Darahku berdesir hebat. Aku yakin, ia juga mencintaiku. Namun, aku salah. Ia meludahiku dan langsung membalikan badannya. Tanpa menoleh, ia kembali berlalu dari hadapanku.
"Terimakasih," lirihku.
Satu tahun sejak kejadian menyedihkan itu, aku kembali bertemu dengannya. ia menatap mataku.
Aku menggelengkan kepala, melempar senyum padanya.
"Kamu jauh berbeda. Sekarang, kamu terlihat cantik," ujarnya.
Kembali, aku hanya melempar senyum dan melangkap pergi. Persis seperti apa yang sudah ia lakukan padaku dahulu.
"Hey, Aisyah!" ia berteriak padaku.
Aku menoleh kepadanya, Kukedipkan kelopak mata.
"Maaf!" tegasnya.
Aku mengangguk. Kusunggingkan senyum dan berbalik melangkah pergi.
"Aisyah!" teriaknya lagi.
Aku tak menoleh. Tak menghiraukansahutannya lagi. Tanpa kusadari ia mengikuti.
"Aku ingin mengantarmu." suaranya terdengar begitu lembut.
Aku mengangguk dan memperbolehkannya. Kami berjalan berdampingan.
"Bagaimana kabarmu selama ini?" tanyanya, membuka percakapan.
"Bisa kamu lihat sendiri," jawabku.
"Ais ....," ucapnya sambil melirik kearahku.
"Iya. Kenapa?" tanyaku sembari memalingkan pandangan.
Sesaat, ia menelan ludahnya.
"Aku sudah siap menjadi kekasihmu," katanya terdengar mantap.
Aku melempar senyum kearahnya. Kuambil napas dalam-dalam.
"Apa yang kamu lihat dariku sekarang?" tanyaku merendahkan suara.
"Kamu mau tahu ....," ungkapnya terhenti sejenak. "Karena kamu sekarang sudah cukup cantik. Jadi, sudah pantas menjadi kekasihku," tuturnya mantap.
Dadaku terasa sesak mendengarnya. Namun aku coba mengendalikan perasaan.
"Ilham," ucapku pelan.
Ia menatapku dibarengi dengan menyunggingkan senyuman. Kembali, aku mencoba memalingkan wajah.
"Kamu hanya mencintai kecantikan, bukan hatiku!" tegasku, tanpa sedikitpun menoleh kearahnya.
"Aku siap untuk menikahimu," tandasnya, seakan penuh kesungguhan.
Kembali, aku menelan ludah.
"Bisakah kamu menjadi imam dalam salatku?" tanyaku, dengan nada suara pelan.
"Ah, itumah perkara gampang," ucapnya.
Aku menarik kedua alis sesaat, lalu menggelengkan kepala.
Hening. kami melanjutkan perjalanan.
"Hatiku sudah berpindah, Ilham. Kamu sudah tak punya tempat dihatiku," terangku.
Ia mendelik kearahku.
"Seperti apa dia? setampan aku kah? atau kekayaannya melebihi aku?" cecarnya.
"Tidak ...." sejenak aku terdiam.
"Lantas?" tanyanya menyelidik.
"Aku yakin, dia lelaki saleh yang kelak bisa menjadi imamku. Membimbingku dalam kebaikan," tuturku.
"Tapi kupastikan dia bukan jodohmu!" gertaknya mengancam.
Aku mengambil napas dalam-dalam
"Allah-lah yang mengatur jodohku. Bukan kamu Ilham," balasku dengan nada rendah.
Ia mendelik kearah mataku.
"Aku tahu, tapi aku adalah Ilham!" tandasnya.
"Astagfirulloh ....," gumamku, menghela napas.
"Ais ....," panggilnya, ia melirik menghentikan langkahku.
"Sebentar lagi kita sampai. Lebih baik kamu diam," sahutku.
"Oke," jawabnya, singkat.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah tiba didekat rumah. Kualihkan pandangan padanya. Ia melirik kearahku.
"Pulanglah!" pintaku.
Sesaat ia mengkrutkan keningnya.
"Kamu mengusirku, sesudah aku mengantarmu?" tanyanya.
"Aku cape, Ilham," jawabku lugas.
"Hm ... Oke. Besok aku akan menemuimu. Ia langsung berbalik berlalu pergi dari hadapanku.
Namaku Aisyah Azzahra. Biasa dipanggil Aisyah. Lahir di Jakarta. Usiaku saat ini 24 tahun.