Kinan membuka mata pagi ini dengan perasaan tak karuan. Terbayang wajah Toni, teringat segala yang pernah dilakukan bersama pria itu. Perlahan ia duduk, turun dari ranjang, lalu berdiri di depan cermin.
Piyama motif bunga mawar, dengan baju lengan panjang, dan celana panjang. Memakai ini sepanjang malam, membuat tidurnya nyenyak, tak bermimpi seperti biasa. Ketika bangun pun, ia tak teringin hasrat sial itu. Kinan mengikat rambut panjangnya.
"Harusnya, sesuatu yang berharga itu buat loe Tra."
Kinan menuju kamar mandi, ia berniat untuk segera mandi. Ingin membersihkan diri. Membasahi seluruh tubuhnya.
Tak lama selesai mandi, ponselnya berdering.
#Mama calling#
Kinan menghela nafas. Apa lagi?
"Apa, Ma?"
{Kabarmu gimana?}
"Baik."
{ Nggak kerja kamu? }
"Cuti."
{ Kapan kamu mau berkunjung ke rumah?}
"Buat?"
Kinan memutar bola mata. Ia takkan pernah pulang, gadis itu sudah bertekad takkan pernah menginjakkan kaki di sana, baginya rumah itu tak ubah neraka.
{Ada yang harus kita bicarakan.}
"Ngomong di sini aja!
Mama Kinan diseberang sana terdengar tertawa kecil.
{ Kelakuan loe nggak berubah ya, anak setan! }
Wajah Kinan seketika memerah, meski pun dulu cukup sering ia mendengar umpatan ini, tapi rasanya tak pernah berubah, sakit, so hurt!
{ Jadi loe nggak mau pulang? }
Kinan menyeka air mata kepedihan itu dengan jarin, wajahnya tampak penuh amarah.
"Nggak!"
Mama Kinan kembali terdengar tertawa kecil, ia berbicara sedikit berbisik saat mengumpat Kinan.
{ Ini tentang hidup loe! }
Kinan menahan amarah. Hidup apa yang akan dibahas wanita itu. Jika ingat kebaikan dan kepeduliannya pada Kinan dulu, gadis ini mampu melupakan bagaimana kasarnya sang Mama mengumpat dan mengatainya seperti itu.
Namun, saat umpatan yang sama terdengar lagi, kebaikan wanita itu hilang seketika. Dan butuh waktu untuk kembali menyingkirkan rasa benci dan melupakan kata-kata 'anak setan! anak binatang!' dari ingatannya.
"Apapun yang terjadi sama hidupku, udah nggak ada urusan sama Mama!" jawabnya tegas.
Lagi-lagi, Mama Kinan di seberang sana tertawa kecil.
{ Nggak tau diuntung memang jalang ini. Berani banget loe ngomong gitu ke gue sekarang ya! Mentang-mentang udah punya duit banyak loe, hah! Jadi simpanan bos-bos kaya aja loe bangga! Untung lah bukan lahir dari rahim gue loe! }
Kinan tak terlalu memedulikan ucapan itu.
"Udah selesai belum?"
Mama Kinan pun memutus telepon.
Jahat?
Sangat jahat, takkan ada seorang ibu yang tega mengatakan hal seperti itu. Kinan merebahkan tubuh di atas ranjang. Handuk yang melilit rambut basahnya dilepaskan.
Untuk sesaat gadis itu diliputi perasaan sedih, namun, tak lama kemudian, ia usir lagi rasa yang hanya membuatnya tak bersemangat.
Kinan membuka aplikasi sosial media miliknya.
Ke-viralan yang ia ciptakan dua hari lalu, tertutup oleh pesona Putra saat menyanyikan lagu kesukaannya, di café tadi malam.
Kinan tersenyum, pacarnya memang sangat tampan, talenta menyanyi sambil memainkan gitar membuatnya semakin bersinar.
Lagi, Putra menutupi keburukan yang ia lakukan. Trending nomor satu di aplikasi bergambar burung warna biru.
#PutraOppa
Kinan tersenyum geli. Netizen memang luar biasa. Selain video semalam, banyak juga berseliweran foto-foto Putra, yang pemuda itu posting di sosial media pribadinya.
Para gadis yang me-reshare tagar itu, melengkapinya dengan caption kehaluan mereka.
<
Kinan membaca salah satu caption yang membuatnya tertawa.
"Ya Tuhan, bener-bener ini cewek-cewek halu."
Matanya sampai berair.
Beberapa saat kemudian, Kinan terdiam, mereka hebat, dirinya saja tak punya foto Putra satu pun. Kinan menatap salah satu foto yang di upload penggemar Putra, lalu ia melakukan tangkapan layar. Kemudian, ia perbesar foto itu.
Putra memang ganteng banget. Foto yang menampilkan wajah seriusnya ke arah kamera. Tatapan tajam namun meneduhkan. Hidung mancungnya, alis matanya yang tebal dan tersusun rapi, bentuk rahang yang tegas dan sempurna, bibirnya yang berisi dan seksi.
Ia mengenakan baju hitam, kontras dengan warna kulitnya yang cukup terang. Rambutnya tak beraturan diterbangkan angin, poni sedikit menghiasi dahi. Kinan mengecup gambar Putra yang terpampang di ponselnya.
"Sayang banget sama kamu, Tra."
Gadis itu menghela nafas. Ia benar-benar beruntung, memiliki Putra sebagai kekasih, yang berjanji akan menjadi pelindung untuknya. Semoga saja, ke depan hubungan mereka bisa langgeng dan mendapat restu dari bunda Maya.
Kinan tiba-tiba teringat ucapan Mamanya tadi.
^^ 'Untunglah bukan lahir dari rahim gue loe!'^^
Ia agak terusik dengan kalimat terakhir itu. Rasanya apa yang dikatakan oleh mamanya, memang sebuah fakta. Selama ini, meskipun ia membesarkan Kinan dengan baik, namun, kepedulian yang ia berikan pada Kinan, tak maksimal sebagai seorang ibu.
Kinan cenderung dibiarkan saja dengan hidupnya. Pun tak pernah sekalipun dikenalkan pada teman-temannya. Jika ada acara kantor, yang mengharuskan membawa keluarga, mamanya tak pernah membawa dirinya. Menawarkan saja tidak. Sementara adik laki-lakinya memang tak ingin bepergian seperti itu.
Papa? ah, laki-laki keparat itu! Dia bahkan sangat jarang berinteraksi intens dengan mamanya, sepengetahuan Kinan. Dia berprofesi sebagai seorang pegawai pemerintahan, yang hobi sekali berjudi, lalu pulang larut malam.
Mamanya? Malik Estate…
Iya, Kinan ingat, mamanya bekerja di sana. Wanita itu pernah menyebut perusahaan tempat ia bekerja, dimana yang menjadi bosnya adalah sahabatnya sendiri. Sahabat yang dicintainya, hingga kini.
Kinan mengernyitkan dahi, kapan dan kenapa wanita itu bilang hal itu padanya?
Iya. Dia pernah pulang dalam keadaan mabuk, dan berbicara ngawur pada Kinan, yang masih berusia dua belas tahun kala itu.
Tapi kemudian, gadis itu menggeleng. Tak penting!
Kinan lalu memencet nomor telepon Putra yang sangat mudah hafal. Kemudian menghubungi pemuda itu.
Semula Kinan hanya ingin mengetes saja, kalau tak diangkat berarti kekasihnya sedang sibuk.
{ Hallo… Ada apa, Nan? }
"Eh, diangkat. Nggak ada, kangen aja."
Putra tertawa kecil.
"Udah sarapan sayang?" tanya Kinan.
{ Udah, loe? }
"Mmm belum."
{ Loh? }
"Belum mamam kamu!" Kinan terkikik.
{Mulai deh… }
"Lagi sibuk?"
{ Iya nich, Nan. Gue kerja dulu ya. }
"Eh, kamu ntar ke sini, nggak?"
{ Oh, ntar kalau pulang cepet, gue ke sana ya. }
"Ya udah, bye sayang."
{ Iya, bye Kinan. }
"Mmm…"
Kinan cemberut.
{ Apa lagi? }
"Kinan-Kinan terus, panggil sayang dong."
{Gue lagi rame di sini. Udah ya, bokap ngelirik, nggak enak. }
"Ya udah deh. Semangat kerjanya, ya."
{ Ya, ya udah ya. Bye. }
Putra lalu memutus sambungan telepon.
Kinan tersenyum. Ia kemudian berdiri, dan mengeringkan rambut dengan handuk yang tadi dilepasnya.
Saat membuka pintu kamar, ia melihat sosok Toni di depan pintu kamar.
"Om…"
Kinan terkejut.
Toni memang memiliki akses masuk ke dalam rumahnya. Ia memiliki kunci duplikat, dan karena Kinan tak menjawab telepon darinya, hingga sang Dirut celaka itu pun terpaksa masuk ke dalam rumah itu.
Toni melihatnya tajam. Membuat Kinan merasa sedikit gugup.
"Kenapa Om datang nggak bilang-bilang?" tanya Kinan berhati-hati.
Di genggaman pria itu tampak ponsel yang masih menyala, menampilkan nama Kinan yang ia simpan dengan inisial KM. Kinan sempat melirik ke layar ponsel, ia benar-benar tidak tahu Toni sudah menghubunginya.
Sementara Toni menatapnya seperti marah.
"Ada apa, Om?"
Mendengar pertanyaan itu, Toni langsung menarik tangan Kinan kasar dan kembali masuk ke dalam kamar. Ia mengunci pintu kamar itu, dan menghempaskan tubuh Kinan ke atas ranjang.
Dengan serta merta, ia pun melepas jas, kemeja, dan celana yang ia gunakan.
Tanpa kata, ia seolah memaksa Kinan untuk melaksanakan tugas yang sempat terhenti karena gangguan dari Putra kemaren.
***
***