Chereads / HARGA DIBALIK TIRAI / Chapter 22 - BABAK AWAL

Chapter 22 - BABAK AWAL

Kinan ternyata tak bisa berdiam diri di rumah seperti yang tadi ia ingin lakukan. Perutnya bergemuruh, ia juga sedang tidak bisa menunggu lama, jika memesan via aplikasi ojek online. Kinan lalu mengganti pakaian, dengan atasan kaos putih ketat, dan hotpants jeans.

Lekuk indah tubuhnya benar-benar tercetak sempurna. Tak lupa ia kenakan cardigan rajut warna hitam, serta kaca mata hitam. Ia menggunakan sepatu flip flop warna putih. Serta tas samping ukuran sedang, yang ia lampirkan di pundak.

Kinan mengambil kunci mobil, lalu keluar dengan tidak lupa mengunci kembali rumah sebelumnya. Gadis itu sedang ingin makanan siap saji, sejenis junk food, berupa ayam-ayaman. Tempat itu tak jauh dari Griya Cadas.

Yang terdekat saja, dikawasan pengisian bahan bakar minyak. Kinan sudah parkir di sana. Ia segera masuk dan antri di konter pemesanan. Banyak mata yang menatap ke arahnya. Gadis secantik itu, memang selalu mengundang perhatian dari orang sekitar.

Pria-pria bahkan dibuat tak berkedip, hanya menyaksikan keelokkan raganya. Rambut yang diikat kuncir kuda, serta aksesoris kaca mata hitam yang menutupi mata indahnya, telah membuatnya tampak tak kalah cantik dari artis ibu kota.

Banyak para wanita yang seketika menjewer telinga lelakinya, ada pula yang langsung cemberut dan memilih pergi begitu saja, bahkan ada yang langsung mendatangi Kinan ke mejanya.

"Eh!"

Wanita itu memukul meja yang Kinan isi dengan pesanan, yang hampir berhamburan keluar dari tempatnya.

Kinan meski terkejut, tapi sama sekali tak terlihat kaget itu membuka kaca mata dan menatap tajam ke wanita yang berdiri di depan mejanya.

Beberapa pria yang berada di sana, langsung bersuara kagum.

"Waahh.." ya begitulah kira-kira.

"Ada apa ya?"

Dengan santainya Kinan bertanya, namun tetap menyorot wanita itu sinis.

"Loe udah ngerusak suasana kencan pertama gue!"

Tergelitik rasanya mendengar pengakuan polos dari wanita yang mungkin usianya lebih muda beberapa tahun saja darinya. Kinan tersenyum merendahkan, banyak sekali peristiwa aneh yang menghampirinya akhir-akhir ini.

"Gue? Gue nggak ngapa-ngapain Shay!"

Kinan mengibaskan tangannya, bermaksud mengusir wanita itu, perutnya sudah sangat ingin diisi makanan. Lalu malah tiba-tiba ada saja pengganggu yang datang.

"Kurang ajar banget loe ya!"

Wanita yang tampak frustasi itu menunjuk wajah Kinan.

Kinan kembali mengangkat wajah, matanya berkedip beberapa kali, melihat telunjuk busuk yang hampir mencolok matanya. Gadis cantik itu lalu menyingkirkan telunjuk wanita yang tampak marah dengan gaya jijik.

Wanita yang tangannya disingkirkan dengan gaya jijik, merasa direndahkan. Ia memukul meja Kinan sekuat tenaga, hingga berserakan semua makanan yang belum sempat dimakan oleh Kinan.

Sementara orang-orang yang ada di sana hanya menonton saja. Menonton adegan keributan itu, dan menonton setiap inchi raga Kinan.

Kinan menghela nafas kesal. Ia lalu memasang kembali kaca matanya, dan berdiri. Tubuhnya lebih tinggi dari wanita sedikit berisi yang sudah merusak acara makannya. Kinan melayangkan tinju ke wajah wanita itu. Ia benar-benar marah.

Wanita itu lalu meringis dan terduduk sambil memegang pipinya yang terkena pukulan Kinan. Tanpa tedeng aling-aling, Kinan lalu pergi begitu saja, sambil mengibaskan tangan yang sudah meninju wajah orang lain, tanpa rasa takut dan berdosa.

Seketika, dunia maya dihebohkan oleh video-video amatir yang merekam kejadian pemukulan oleh Kinan tersebut. Ia langsung menjadi viral. Meski pun menggunakan kaca mata hitam, tapi, tetap banyak yang mengenal bahwa dia adalah Kinanti Maya, salah satu teller Bank Kring, yang terpercaya dan terunggul akan keramah tamahannya.

Kantor pusat Bank Kring mendadak ribut.

Seorang karyawati bernama Ayu, dari Divisi Pengawasan langsung mendownload video itu. Ia pernah bertekad akan mengumpulkan bukti-bukti yang bisa memberatkan Kinan ketika terpanggil ke pengadilan intern nanti. Itu pasti akan terjadi.

Ayu juga sedang menyelidiki pemilik asli dibalik akun-akun rekening, yang secara rutin mengirimi Kinan sejumlah uang, setiap bulannya. Ia sudah menghubungi teman-temannya di beberapa bank asal pengirim. Gadis itu tersenyum dibalik meja kerjanya. Ini baru babak awal Kinan!

***

***

Setelah dari rumah Kinan, Putra menuju Malik Estate. Maya menghubungi, Adit pun sudah mulai merencanakan sesuatu untuk masa depannya, jika anak muda itu tak berminat masuk Akademi Polisi, seperti keinginan yang pernah terlontar dari mulut Maya.

"Nggak ah, Yah. Abang bantu di kantor aja."

Tepat sekali prediksi Adit, Putra takkan mau menjadi abdi negara.

"Kenapa, Bang?"

Maya masih saja memertanyakan. Padahal dia sendiri yang mendidik anaknya agar tak berurusan dengan kekerasan. Menjadi Polisi, harus siap berhadapan dengan benturan fisik.

"Nggak suka sama cara kerjanya, Bun."

Adit tertawa. Sebenarnya, dulu Putra pernah ikut latihan bela diri, tapi tak ia selesaikan. Saat sudah mengenakan sabuk biru, pemuda itu beralasan macam-macam agar tak melanjutkan. Ia lebih menyenangi olah raga bulu tangkis, dan bermusik.

"Kamu itu cocok lo, Bang, jadi polisi!"

Maya masih bersikeras.

"Bunda nggak boleh maksain kehendak. Lagi pula Ayah kan juga sudah butuh pengganti. Biar bisa lebih banyak waktu sama Bunda."

Adit menyela, sambil melempar senyum nakal ke istrinya.

"Ayah ini gimana?"

Maya mengerutkan dahi, ia masih tetap ingin Putra masuk AkPol.

"Biar sama kayak Kak Aisyah, gitu maunya Bunda?"

Putra sedikit tidak nyaman dengan kehendak Maya yang makin ke sini, makin memaksakan saja.

Maya lalu terdiam. Ia tak menyangka Putra sudah mulai agak bertentangan dengannya.

"Maafin Abang Bunda."

Buru-buru Putra menyusul Maya, dan segera menggenggam jemari sang Bunda.

Maya masih tertegun, ia melirik ke Adit, yang juga tak tahu hendak berkata apa. Karena bagi si Ayah, si Bunda memang tidak sepatutnya begitu. Hendaknya, biarkan anak-anak memilih yang terbaik untuk hidup mereka masing-masing.

"Jadi Abang maunya apa, Nak?"

Maya menghela nafas, dan berkata pelan. Terasa sekali kekecewaan dari suara itu.

Putra melekatkan keningnya pada punggung tangan Maya, yang ia genggam.

"Abang minta maaf, tapi bisakah Bunda, biarkan Abang memilih segala sesuatu yang berhubungan dengan masa depan Abang? Abang berjanji, pilihan Abang nggak akan merubah pandangan Abang ke keluarga. Ayah, Bunda dan Haz."

Maya memejamkan mata. Sepertinya, ia memang akan kehilangan sosok Putra, yang penurut dan selalu melakukan apa pun yang ia inginkan.

Maya lalu melepaskan tangannya perlahan, dan memilih untuk berdiri di sisi Adit. Ia berpaling, tak sanggup melihat wajah putra sulungnya itu.

Adit lalu menepuk-nepuk punggung tangan Maya pelan, yang memegang pundaknya, lalu mengangguk pada Putra, ingin mengatakan, tak apa-apa.

Putra lalu kembali duduk di sofa tamu ruangan Direktur Malik Estate. Hatinya tak tenang, telah membuat Maya menjadi seperti itu untuk pertama kalinya. Ia masih menatap Maya khawatir.

"Bunda jangan begitu, sayang."

Adit menarik Maya dalam pelukan. Ia tau, istrinya butuh dekapan untuk menenangkan perasaan. Maya mulai terisak.

Putra spontan berdiri dan menghampiri orang tuanya. Tapi, Adit menahan, agar ia membiarkan Maya melepaskan hal yang mengganggu dalam hatinya.

"Bunda takut kehilangan Putra, Yah."

Rengekkan manja ala Maya mulai terdengar. Putra lemas seketika. Bagaimana agar Maya mengikhlaskan saja dirinya untuk berjalan sendiri, menyongsong masa depan sesuai dengan pilihan hati tanpa menyakiti perasaan sang Bunda seperti ini.

"Mana mungkin itu bisa terjadi, Bun?"

Adit mengelus kepala, yang terbungkus hijab itu lembut.

"Bunda punya firasat tak enak, Yah. Bunda takut Putra kenapa-napa. Bunda takut Abang salah jalan. Bunda takut Abang terlibat dalam masalah, Bunda takut…"

"Ssstttt…"

Adit mengeratkan pelukan, ia mengecup puncak kepala Maya dengan sayang, lalu menatap Putra yang tampak semakin khawatir di hadapannya.

"Ada Allah yang akan menjaganya, Bunda doakan saja yang terbaik, ya. Dan semua hal buruk yang Bunda katakan takkan pernah terjadi."

Setelah itu, Maya tak lagi bersuara. Ia hanya terisak, dan melingkarkan tangannya ke pinggang sang suami.

Adit mengode agar Putra memberi ruang untuk Maya dulu. Nanti ibunya itu juga akan membaik. Hal semacam ini, hanya hal biasa saja. Biasalah, namanya ibu, yang pernah kehilangan, yang sudah membesarkan, yang susah payah menjaga, mengajarkan banyak hal. Wanita hampir separuh baya itu, hanya sedang bimbang akan kecemasan tak beralasan yang menimpanya akhir-akhir ini, terkait hidup Putra.

Hanya itu saja.

Putra lalu keluar dengan langkah gontai. Ia lalu menghubungi Keysha dan Doni. Ingin bercerita, sekedar meluahkan rasa yang terpendam selama ini, akan sikap posesif Maya, yang entah kenapa, tiba-tiba membuatnya merasa risih.

***

***