Chereads / 4 O'clock / Chapter 4 - 3. Still With You

Chapter 4 - 3. Still With You

•••••••••

4 O'Clock

••••••••••

"Kau tidak mau menangis jalang?! Ah, lagipula itu percuma karna tidak akan ada yang menolongmu, bukankah sudah ku bilang untuk berlutut dihadapanku dan aku akan memaafkannya?" Nana menendang mangkuk sup yang berada didekat kakinya hingga pecah dan mengenai lutut Jisu.

Cherly mengangkat tangannya, memerintahkan agar berhenti untuk melempar makan siang pada Jisu. Nana menatap tajam Cherly dan berkata, "Apa yang kau lakukan?!"

"Jam makan siang akan berakhir kurang dari tiga puluh menit lagi, dan kita hanya akan terus melihat Jalang itu dilempari makanan? Aku sudah lapar dan aku ingin muntah jika terus berlama-lama didekat jalang yang menyedihkan itu," jelas Cherly dengan datar.

Nana menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan benar apa yang dikatakan Cherly jam waktu makan siang akan berakhir kurang dari tiga puluh menit lagi. Nana mengajak seluruh murid yang tadi melempari Jisu untuk keluar dari kantin dan mengajak mereka untuk makan siang di restoran mewah dekat dengan sekolah mereka.

Jisu sudah berhenti menangis sedari tadi tapi ia bahkan tidak memiliki niat untuk bangkit dari posisi awalnya, terduduk dengan banyaknya makanan yang berada di tubuhnya. Jisu merasakan saputangan halus yang membersihkan wajahnya. Jisu menodongkan wajahnya menatap Bibi Jung yang menatap prihatin padanya dengan mata yang berkaca-kaca, Jisu tersenyum tipis pada Koki Jung yang membantunya berdiri.

"Maaf tidak membantumu sama sekali, Nak. Kau tahu Cherly dan Nana tidak bisa dilawan semudah itu," ucap Bibi Jung menyesal.

Jisu tersenyum tipis dan menggukan keapal, lalu berkata, "Aku tahu, berjanji lah padaku bahwa Kau tidak boleh kehilangan perkerjaanmu hanya karna diriku, Bi."

Bibi Jung menggukan kepalanya, memilih untuk menuruti perkataan Jisu yang memang benar. Dirinya memang tidak bisa kehilangan perkenaan sebagai Koki disini, karna bagaimapun Ia harus membiayai kedua anaknya yang masih bersekolah sendirian. Bibi Jung memang merasa kasihan sejak pertama kali melihat perundungan yang diterima Jisu, karna teringat anak-anaknya yang terkadang juga menerimanya akan tetapi dirinya juga tidak bisa berbuat apapun hanya selain membantu setelah semua perundung pergi meninggalkan orang yang dirundungnya. Dunia memang kejam membiarkan yang memiliki kuasa dan uang yang berada diatas, sedangkan yang tidak memilikinya akan selalu berada dibawah dan harus siap dengan konsekuensi yang dilakukan kalangan atas dengan kekuasaan dan uang mereka.

Bibi Jung menambah Jisu untuk ketoilet yang tidak jauh dari kantin dan membantu gadis rapuh tersebut membersihkan diri. Bibi Jung memberikan baju olahraga pada Jisu yang sudah bersih-bersih lalu menunggu gadis tersebut selesai memakai baju olahraganya. Beruntun sekolah ini tidak terlalu mengekang murid untuk seragam asalkan masih dibatas normal. Pintu yang dipakai Jisu terbuka dan Bibi Jung dengan sigap membantu Jisu untuk mengobati luka di lutut yang tadi terkena serpihan beling mangkuk yang ditendangan Nana.

Jisu tidak meringis ataupun menangis saat Bibi jung mencabut serpihan kecil yang berada di lututnya dan membuat lututnya mengeluarkan darah. Rasa sakitnya seakan sudah tidak berada didalam dirinya, mungkin karna Jisu terbiasa menerima semua ini. Kedua mata Jisu berkaca-kaca tapi tidak mengeluarkan air mata sama sekali. Air matanya sudah habis untuk menangisi bertapa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa untuk dirinya sendiri.

"Apa ini begitu sakit?" pertanyaan Bibi Jung membuat Jisu kembali pada dunia nyata saat tadi sempat terbuai dengan pikirannya sendiri.

Jisu menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, dirinya tidak boleh terlihat lemah didepan siapapun. Jisu menyingkirkan poni kesamping yang menutupi matanya dan membiarkan Bibi Jung membantunya mengobati luka-lukanya hingga selesai. Bibi Jung memberikan samgak kimbab yang berisi chicken teriaki padanya sebelum pamit untuk kembali bekerja.

Jisu menatap kimbab segitiga yang ada ditangannya dengan berkaca-kaca, kimbab ini akan yang selalu menjadi makanan favoritnya. Jisu membuka bungkusnya dengan saat suapan pertama tenggorokannya terasa tercekat dan air mata meluncur dari mata cantiknya. Jisu tetap memakan kimbab tersebut hingga habis meskipun dirinya berkali-kali tersedak karna makan sambil menangis. Untuk sekali dalam hidup Jisu ingin merasakan bahagia, meskipun itu hanya sesaat. Jisu menginginkannya, sangat menginginkannya.

••••••••••

Jisu menatap bunga sakura yang mengugurkan kelopaknya satu persatu dengan tatapan kosong, dan membiarkan kedua tangannya yang mengadahkan kedepan membiarkan kelopak bunga sakura singgah sebentar ditangannya sebelum kembali menghilang terbawa angin. Bukanlah kehidupan selalu seperti bunga yang berguguran dihadapannya? Tumbuh lalu kembali gugur dan tumbuh lagi dan kemudian kembali gugur lagi, lalu apa yang Jisu harapkan dalam kehidupannya sekarang ini?

Jisu mematap jam pada layar ponsel yang dikeluarkannya dari jaket yang dipakainya, jam 23.45 malam tapi Jisu tidak ingin kembali kerumah. Bahkan Jisu tidak tahu apakah rumah yang disebutnya benar-benar bisa disebut rumah. Jisu menghela nafas dan memeluk tas yang selalu menemaninya dengan erat lalu menatap langit kota Seoul yang begitu indah dengan bintang-bintang yang bersinar dengan satu bulan yang bersinar begitu terang.

"Tuhan, kau yang paling tahu bagaimana hidupku selama ini," ucap Jisu pada kesepian yang menyelimutinya. Jisu tetap mending akan kepalanya menatap langit malan dan melanjutkan perkataannya dengan lirih, "Apa Kau begitu marah padaku? Apa aku gadis yang nakal? Jika ya, bisakah beritahu aku bagaimana menjadi gadis baik itu?"

Jisu memejamkan matanya merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya dan menerbangkan helaian rambut sepunggung yang tidak ia kuncir. Rasanya tidak ada yang lebih menenangkan sebelum dirinya menulis surat permohonan yang memang tersengal konyol bagi gadis seusianya, akan tetapi Jisu mempercayai bahwa Tuhan tidak akan pernah mengabaikan permohonan seseorang, entah seburuk apapun orang itu.

Jisu mengambil buku kecil dan juga pulpen lalu mulai menulis kalimat  yang selalu ditulisnya sedari dulu, tidak berubah dan tidak akan pernah berubah.

Dear Lord;

Grant me the Serenity to accept the things I cannot change the things I can; the courage to change the things I can; the wisdom to know the difference.

Jisu menatap tulisan tangannya pada kertas yang sudah disobeknya dari buku catatannya. Ya, Jisu tidak menginginkan hal lain selain apa yang ditulisnya, Jisu tidak menginginkan harta ataupun belas kasih Tuhan padanya selain apa yang ditulisnya. Jisu mengambil korek yang selalu berada didalam tasnya dan membakar kertas yang berisi permohonannya lalu membiarkan angin membawa abu dari kertas permohonannya untuk sampai pada Tuhan. Jisu tahu jika perbuatannya adalah hal konyol yang akan dianggap gila olah gadis seusianya. Menulis surat permohonan pada Tuhan dengan membakarnya dan berharap bahwa surat tersebut sampai ditangan Tuhan dan Dia akan membacanya? Pikiran konyol itu siapa yang akan percaya? Tapi Jisu tidak perduli karna hanya itu yang bisa ia lakukan, karna tidak ada satupun didunia ini yang mau mendengarkan apa permohonannya.

Jisu menundukan kepalanya menatap sepatu putihnya yang berwarna kekuningan karna terkena sup tadi siang dengan kosong. Dirinya bahkan tidak bisa pulang untuk malam ini dan bagaimana ia akan tidur malam ini? Apakah ditaman ini? Jisu tertarik dari lamunannya ketika merasakan sesuatu jatuh diatas pahanya. Sebuah daun berwarna keemasan yang berkilau. Jisu mengambil daun tersebut dan menatap daun tersebut dengan bingung, dari mana asalnya daun ini? Jisu menatap sekeliling taman yang hanya terapat pohon bunga sakura dan tidak memungkinkan adanya daun berwarna emas tersebut berada disini, karna jika adapun daun yang jatuh maka itu hanyalah kelopak sakura berwarna pink bukan berwarna emas.

Jisu membalikkan daun tersebut dan menatap tulisan yang ada dibelakangnya dengan alis berkerut.

I'm always with You, still with You.

Tidak ada orang sama sekali disini, bahkan yang ada hanyalah kesunyian. Gadis bermarga Yoon tersebut tidak memikirkan lebih jauh dan memilih untuk membiarkan daun tersebut ikut terbawa angin bersama dengan kelopak sakura. Jisu terlalu lelah untuk memikirkan hal lainnnya saat ini. Tubuhnya sudah lemas karna hanya memakan makanan siangnya dengan sedikit lalu kimbab yang diberikan Bibi Jung setelah itu dirinya tidak lagi makan hingga saat ini, tubuhnya terlalu lemas. Jisu membaringkan tubuhnya diatas kursi taman dan menghasilkan tas sebagai boneka yang dipeluknya dengan erat.

Mata hazel yang terpejam dengan nafas yang teratur mengadakan pemiliknya sudah tertidur dengan lelap. Kim Namjoon menatap daun keemasan yang berada diujung bangku San mengalihkan perhatiannya pada wajah Jisu yang tertidur dengan damai.

"Saengil chukkae, Yoon Jisu," ucap Namjoon berbisik pelan seakan menyanyikan lullaby sebelum menghilang bersama dengan daun keemasan yang juga ikut menghilang.

•••••••••

I Hope You Like This Story