Chereads / Another Winter / Chapter 19 - Delapan Belas

Chapter 19 - Delapan Belas

TING-TONG!

Nick hampir melonjak kaget dari tempat duduknya begitu mendengar bel apartemennya berbunyi. Ia tahu itu pasti Naomi. Dan karena itu, Nick langsung menoleh kesana-kemari dengan panik. Kaus kaki sudah diletakkan di rak... lantai sudah bersih berkilau... meja tak berdebu, apa lagi? Dapur!

Nick berlari ke dapur lalu mengamati isinya dengan teliti. Tidak berminyak... tidak bau busuk... kulkas telah kosong. Oh ya Tuhan, ia benar-benar harus membayar James dua kali lipat karena kerjanya yang amat bagus.

Sebelum Naomi sempat menekan bel untuk kedua kalinya, Nick telah lebih dulu membuka pintu. Napasnya agak tidak teratur saat ia menyapa Naomi, "Hai. Kau rupanya, ayo masuk."

"Aku rupanya? Memangnya kau sedang menunggu orang lain?" tanya Naomi sambil berjalan masuk dan melepas alas kaki serta mantel putihnya. Setelah menggantung mantelnya pada gantungan baju di balik pintu, Naomi baru sempat melihat-lihat ke sekelilingnya.

"Tidak, kupikir kau seorang reporter atau semacamnya."

"Apartemenmu sering didatangi reporter?"

"Ya begitulah," Nick berbohong, berharap Naomi terkesan.

Apartemen Nick hanya sebuah apartemen kecil berkamar satu, dengan lantai kayu gelap dan dapur terbuka di dekat pintu masuk. Dapur itu disekat dinding berlubang persegi panjang dengan meja bar yang menempel di sisi luar. Ada meja makan dengan empat buah kursi yang mengelilingi berseberangan. Sofa pendek untuk dua orang yang berwarna putih menempel di dinding ruang duduk, ditemani meja kaca kecil di depannya. Ada jendela tinggi yang menghadap ke arah kolam renang gedung dan pemandangan kota New York seberang pintu masuk. Tirai halus berwarna abu-abu menutupi jendela itu.

Naomi tidak tahu kalau Nick ternyata orang yang cukup rapi.

"Aku tidak akan lama di sini, hanya mau memastikan keadaanmu dan apakah... kau makan dengan baik," ucap Naomi, tetap berdiri tak jauh dari pintu masuk. "Dan sepertinya kau kelihatan baik-baik saja, jadi... aku bisa pulang sekarang."

"Apa?! Aku sudah memesan makanan untuk kita berdua. Kau mau pergi begitu saja?"

Pertanyaan Nick membuat Naomi mengerjap dan berpaling ke arahnya. "Ah... benarkah?"

Kruuuuuuk...

Tepat saat itu Naomi merasakan perutnya berbunyi. Suaranya cukup nyaring hingga Naomi yakin Nick bisa mendengarnya. Ya ampun... sungguh memalukan. Apa lelaki itu mendengarnya?

"Kau tidak dengar? Perutku sudah berbunyi. Tunggu sebentar dan pergilah setelah makan malam. Duduk saja di sana," perintah Nick sambil menunjuk ke arah sofa dengan dagunya.

Naomi tertegun sesaat setelah duduk di sofa. Apa-apaan itu? Lelaki itu pura-pura tak mendengar bunyi perutnya yang keroncongan dan berbohong kalau ia yang lapar. Ia menggigit bibir. Mengapa Nick mendadak bersikap baik padanya?

"Kuharap kau menyukai masakan Itali. Aku memesan lasagna, ravioli, panna cotta..."

"Kita hanya berdua, kenapa memesan sebanyak itu?" keluh Naomi pada Nick yang berada di dapur.

Nick kemudian kembali ke ruang tamu dengan sebotol wine dan dua gelas kaca. Ia duduk di sebelah Naomi, menuangkan anggur putih ke dalam gelas kaca sambil berkata, "Jadi, bagaimana menurutmu?"

"Tentang apa?" Naomi menerima gelas kaca yang diulurkan Nick kepadanya.

"Tentang apartemenku."

"Biasa saja." Naomi mengangkat sebelah bahu lalu menyesap minumannya.

Reaksi Naomi hampir membuat Nick melotot, namun ia teringat kalau gadis itu tak tahu apa-apa soal perjuangannya membersihkan ruangan demi kedatangannya. Nick mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan, tak menyadari kedua alisnya berkerut, sebal. Selama ini, Nick hanya dikelilingi gadis-gadis yang selalu datang kepadanya meminta perhatian, memuji segala sesuatu yang ia miliki. Ia tak pernah memiliki masalah dengan gadis sampai Naomi muncul dalam kehidupannya. Membuat Naomi terkesan rasanya seperti menangkap angin.

Tiba-tiba Naomi berdeham, "Bagaimana keadaanmu?"

"Sudah lebih baik," gumam Nick.

"Memangnya kau diperbolehkan untuk minum alkohol selama mengkonsumsi obat?"

"Tentu saja," ucap Nick sambil tersenyum miring. "Selama aku tidak meminumnya bersamaan."

"Apa itu artinya kau tidak meminum obatmu hari ini?"

Pertanyaan Naomi mendadak terdengar tajam, membuat Nick berpaling ke arah gadis itu dan menatapnya, ragu-ragu. "Aku... sudah tidak apa-apa jadi kupikir..."

"Kau tidak meminumnya!"

Nick tersentak kaget hingga menarik tubuh ke sudut sofa. "Tidak perlu berteriak begitu! Dan jangan melotot seperti itu. Apa kau tidak tahu kalau kau terlihat menakutkan jika melakukan itu?"

Naomi menatap Nick dengan kesal, kedua alisnya berkerut. "Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu dan tidak ada yang bisa menolong? Kenapa para lelaki-,"

TING-TONG!

"Pesanan sudah datang!" Nick bangkit berdiri lalu berlari ke pintu apartemennya. Oh, ia bersyukur pesanan makanannya datang di saat yang tepat. Nick buru-buru menerima pesanannya dari kurir, membayarnya dengan tip yang berlebih kemudian berjalan ke meja makan. "Ayo makan, Carter! Aku benar-benar sudah lapar."

Naomi beranjak dari sofa dan berjalan menuju meja makannya sambil membawa gelas kacanya. "Kau bisa menghabiskan semua ini?"

"Hmm, tentu saja." Nick menarik kursi makan dan duduk di sana. Naomi membantunya mengeluarkan makanan dari dalam plastik, membukanya satu per satu sampai siap dimakan. "Nah, kita mulai dari mana?"

Tanpa menunggu jawaban Nick, Naomi lebih dulu memotong lasagna dengan garpu dan mencicipinya.

'Ckckck, kau benar-benar tidak tahu aturan makan," ujar Nick sambil memandang Naomi dan menggelengkan kepala.

"Aturan makan hanya digunakan saat sedang makan dengan orang penting. Kau bukan orang penting, hanya teman." Naomi berkata sambil mengunyah. "Lagipula aku sudah sangat lapar. Astaga, ini enak sekali."

Senyuman Nick mengembang. Ia senang Naomi menikmati makanan pilihannya dan terlebih lagi, ia senang Naomi menekankan bahwa mereka sekarang berteman.

Naomi dan Nick menyantap makan malam mereka dalam keheningan, sampai Naomi menyeletuk, "Ngomong-ngomong, terima kasih."

"Untuk apa?"

"Karena sudah menceritakan padaku tentang... masa lalumu."

Meski perkataan Naomi tidak rinci, Nick langsung tahu apa maksudnya. Dan tiba-tiba, ucapan itu memancing rasa ingin tahunya. "Bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

"Mm-hmm."

Nick menelan makanannya, menyesap anggurnya kemudian mencodongkan tubuh pada Naomi yang duduk di seberangnya. "Kalau kejadian malam itu tidak pernah terjadi, apa kau akan datang kepadaku dan... kau tahu, memberikanku kesempatan kedua? Maksudku, untuk memperbaiki kencan pertama yang gagal dan mungkin, mengenalmu."

Naomi tak bereaksi. Ia masih mengunyah makanannya, perhatiannya terpusat pada alat makannya. Kemudian, ia menjawab, "Mungkin."

Nick tersenyum kecil. "Dan kalau kencan pertama kita tidak gagal hari itu, apakah kau tidak akan membenciku?"

"Aku tidak pernah membencimu."

"Kalau begitu apa kau punya waktu akhir pekan ini?"

Naomi akhirnya mengangkat wajah menatap Nick. "Memangnya kenapa?"

Nick tersenyum kecil, "Aku ingin menggunakan kesempatan keduaku untuk memperbaiki kencan pertama kita yang gagal."

"Aku... tidak tahu." Jawaban Naomi membuat Nick kehilangan tenaganya, dan melihat pemandangan itu, Naomi buru-buru menjelaskan, "Maksudku, aku tidak punya acara apa-apa dan, tentu saja aku mau pergi denganmu. Hanya saja, Keichi sudah terlebih dulu meneleponku untuk mengajakku menonton konser Joshua Bell. Aku belum tahu kapan tapi-,"

"Apa?"

"Joshua Bell, pemain biola terkenal itu."

"Bukan itu, maksudku, siapa yang mengajakmu?"

Naomi mengerjap. "Keiichi."

Nick tak pernah berpikir dalam hidupnya kalau ia bisa membenci telinganya saat mendengar nama adiknya sendiri. Namun ia berusaha keras untuk tak menunjukkannya.

"Aku berjanji akan pergi denganmu kalau konsernya bukan akhir pekan ini," tambah Naomi di tengah-tengah keheningan.

Nick mengangkat wajah lalu tersenyum. "Aku akan menunggumu di Central Park. Dan kali ini aku berjanji tidak akan terlambat."

Naomi ikut menarik sudut-sudut bibirnya. "Bagus."

Nick baru hendak membuka mulut mengucapkan sesuatu saat tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang disusul dengan cahaya kilat. Pemandangan itu mengejutkan Nick dan Naomi di saat yang bersamaan.

"Astaga, sepertinya aku harus segera pulang sebelum-,"

Suara hujan yang deras tiba-tiba memotong kalimatnya. Bunyi hujan lebat itu sangat nyaring, membuat Naomi dan Nick menoleh ke arah jendela.

Melihat Naomi memandang jendela dengan wajah kecewa, Nick langsung bertanya, "Kau mau aku mengantarmu pulang?"

Naomi berpaling pada Nick lalu menggeleng, "Kalau kau tidak keberatan, aku akan menunggu hujan rqeda di sini sebelum memanggil taksi untuk pulang. Aku... tak begitu menyukai bermobil dalam hujan."

Nick langsung mengerti dan mengangguk. Ia ingat ketika ia mendengar kabar buruk itu dua tahun yang lalu, ibunya langsung menjelaskan penyebab kedua orang tua Naomi meninggal. Dan alasan itulah yang membuat Naomi tak begitu menyukai bermobil dalam hujan. "Tentu saja. Kau bisa menunggu di sini selama yang kau butuhkan. Kau bahkan boleh menginap di sini kalau kau mau."

Naomi langsung melempar tatapan curiga dengan kedua mata disipitkan. "Tidak, terima kasih." Ia lalu bangkit berdiri dari kursi makannya sambil mengelap permukaan mulutnya dengan tisu. Tepat ketika Naomi hendak beranjak menuju sofa, lengannya tak sengaja menyenggol gelas kaca yang berada di sudut meja. Lalu...

BYURRR...

Hal selanjutnya yang diketahui Naomi adalah pakaiannya sudah berlumur air anggur yang lengket.

"Oh my God..."