"Jadi kau sudah memakan obatmu atau belum?" Naomi bertanya untuk kesekian kalinya sambil menjepit ponsel dengan bahu dan telinganya sementara kedua tangannya sibuk memindahkan beberapa perabotan dapur ke gudang.
Naomi dapat mendengar Nick mendesah di seberang sana. "Sudah, mom. Berhenti bertanya sebelum aku merubah namamu di kontakku dengan 'ibu tiri'."
"Cih. Itu balasanmu untukku yang berusaha membantu?"
"Kau tahu bertanya saja tidak cukup membantu. Kalau kau mau membantu, kau seharusnya datang ke apartemenku, menyiapkan makan, membersihkan rumahku dan memastikan aku makan obat dengan benar. Dengan begitu, mungkin aku bisa sembuh lebih cepat," goda Nick dengan suara renyah.
Begitu selesai meletakkan beberapa perabotan dapur di gudang, Naomi bergegas ke ruangan pribadinya. Setelah menutup pintu, ia melanjutkan, "Akan kuusahakan."
"Apa?"
"Setelah memastikan pekerjaan selesai hari ini, aku akan ke apartemenmu."
Di sisi lain, Nick yang sedang berada di balik meja kerjanya, mendelik kaget mendengar ucapan Naomi. Ia melirik James yang sedang sibuk menelepon seorang klien di dekat pintu ruang kerjanya. Ia lalu berdeham kikuk, "Benarkah?" Seulas senyum kecil tersungging di wajahnya. Hanya sebentar, karena sedetik kemudian ia ingat seperti apa apartemennya saat ini. Nick langsung bangkit berdiri, "Jam berapa?"
"Entahlah. Setelah aku menutup toko. Atau aku bisa membiarkan Scott melakukannya dan pergi lebih cepat."
Oh, tidak. Bukan berita bagus. "Eh... okay. Kalau begitu aku akan mengirimkan alamatnya padamu dan beritahu aku kalau kau sedang dalam perjalanan. Aku buru-buru, akan kutelepon lagi nanti." Nick melempar ponselnya ke atas meja begitu memutuskan panggilan. "James!"
James belum selesai menelepon saat bertanya, 'Apa?' tanpa bersuara.
"Aku membutuhkan bantuanmu. Darurat. Hentikan apapun yang kau lakukan sekarang dan bantu aku." Nick berjalan mondar-mandir dengan frustrasi sambil menjetik-jentikkan jari.
Sebagai bawahan yang baik, tentu saja James menuruti ucapan Nick, meski ia tahu ia baru saja menggagalkan salah satu tawaran properti tertinggi tahun ini. James menggelengkan kepalanya, "Kau baru saja kehilangan tawaran terbaik tahun ini, Nick."
"Kaulah yang akan kehilangan masa depanmu kalau kau tidak membantuku sekarang." Nick melempar kunci mobil pribadinya pada James kemudian mengenakan mantel tipisnya. "Kau yang menyetir. Ayo."
"Memangnya keadaan darurat apa ini?"
"Keadaan yang benar-benar darurat. Kita ke apartemenku."
***
Lima belas menit kemudian, Nick dan James tiba di apartemen Nick yang berada di Union Avenue.
"Bloody hell, Nick," adalah reaksi James begitu menginjakkan kaki di dalam apartemen Nick. Rahangnya terbuka, kedua matanya menyusuri setiap sudut ruangan sambil menggeleng, tak percaya. "Ini benar-benar... menakutkan. Jangan bilang padaku kalau...,"
"Kita akan membereskan tempat ini," lanjut Nick sambil termanggut, penuh semangat.
James masih berdiri mematung karena syok. Dan begitu mendengar perintah Nick, mendadak lututnya terasa lemas. Ia tidak tahu ia harus mulai dari mana.
Ruang tamu apartemen Nick diisi dengan sofa pendek untuk dua orang di ujung ruangan serta meja kaca kecil di depannya berisi vas bunga, yang kini sudah terjatuh di lantai, menumpahkan air yang telah mengering di lantai, menyisakan kerak yang diyakini James akan membutuhkan bantuan pemutih untuk membersihkannya. Botol-botol wine berserakan di lantai, kaus kaki tak terpakai tergeletak di atas sofa, televisi dan bangku makan; James yakin Nick melempar itu semua ketika ia sedang buru-buru. Remasan kertas-kertas dan potongan-potongannya di bawah meja makan tengah ruangan telah berubah warna menjadi kekuningan, mungkin dari situlah bau tak sedap yang saat ini dihirupnya.
James berpaling pada dapur terbuka yang terletak persis di sebelah pintu masuk. Dan begitu melihat keadaannya yang lebih kacau dari ruang tamu, James setengah berlutut, menutupi wajah dengan kedua tangannya. "Pemandangan ini merusak mataku... bagaimana kau bisa hidup di tempat seperti ini, Nick?"
"Aku akan memberikan bonus dua kali lipat kalau kau tidak memberitahukan hal ini pada siapapun."
Meskipun tawaran itu terdengar menggiurkan, entah mengapa James tidak tertarik. "Aku akan menelepon layanan bersih-bersih."
"Tidak bisa, terlalu lama. Kita mulai saja sekarang; kau dan aku." Nick menekankan kemudian tertawa masam. "Maksudku, memangnya seberapa sulit membersihkan tempat sekecil ini?"
***
Dua jam tujuh belas menit kemudian...
"Aku bersumpah aku tidak akan menginjakkan kaki di sini lagi," ujar James sambil berbaring di lantai apartemen Nick ketika mereka akhirnya selesai membersihkan ruangan.
Apartemen Nick kini terlihat seperti baru, meski tidak sempurna. Warna cokelat lantai kayunya terlihat mengkilap dan bersih, James mengelap semua permukaan meja yang ada di apartemen termasuk rakas yang ada di kamar tidur Nick. Dengan waktu yang cepat, James membeli pemutih dan cuka untuk menyikat kamar mandi dan noda-noda membandel di lantai dan yang terpenting, ia juga membeli pengharum ruangan, sesuatu yang sangat dibutuhkan rumah ini.
Nick yang membiarkan James melakukan delapan puluh persen pekerjaannya hanya mengendus di atas sofa, "Benar-benar melelahkan, ya?"
James tertawa, "Kata orang yang hanya mengelap kaca dan tidak membantu sama sekali."
"Hei, setidaknya aku yang akan membayar bonusmu dua kali lipat."
"Ya dan aku akan membutuhkannya besok." James melepaskan kemejanya yang telah basah karena keringat lalu menggunakannya sebagai kipas.
"Kenapa?"
James tersenyum, "Aku akan melamarnya minggu ini."
"Dia?" Nick mengerutkan sebelah alisnya. "Pacarmu?"
"Ya."
Nick ikut tersenyum mendengarnya. Ia melempar bantal sofa kepada James, "Wah, selamat. Aku ikut senang. Akhirnya kau melakukannya setelah sepuluh tahun. Tapi, apa yang membuatmu berpikir dia akan menerima lamaranmu?"
"Mudah saja," James melempar balik bantal sofa kepada Nick. "Aku tidak berpikir, aku yakin dia akan menerimaku."
Nick tersenyum miring sambil merenung. Ia tak pernah berpikir untuk melamar seseorang. Sejauh ini, wanita yang ia bayangkan akan menghabiskan sisa hidupnya bersamanya adalah Adele. Dan meski saat itu ia merasa yakin kalau Adele akan selalu berada di sisinya, rupanya kenyataan tak berpihak padanya.
"Apa yang terjadi kalau dia tidak menerimamu dan semuanya tak seperti yang kau bayangkan?" tanya Nick, penasaran.
"Tentu saja itu akan mematahkan hatiku." James tampak hilang dalam lamunannya selama beberapa saat, namun ia kembali melanjutkan, "Tapi aku tidak yakin seseorang yang selalu bergantung padaku untuk mengganti lampu apartemennya, memintaku untuk hidup bersamanya dan mengajakku untuk berlibur bersama akan menolak ajakanku untuk menikah denganku. Maksudku, dia tidak akan menghabiskan waktu selama ini kalau dia tidak menungguku melamarnya."
"Begitu rupanya."
Well, kalau dipikir-pikir ia mungkin terlalu polos dan naif untuk tak menyadari cara Adele menatapnya. Cara gadis itu selalu mengabaikan teleponnya, tak pernah membalas pesannya dan hanya menghampirinya kalau teman-temannya tak ada. Terlebih lagi, Adele tak pernah mengandalkannya untuk apapun. Bagaimana mungkin ia tak pernah menyadari kalau Adele tak pernah menyukainya?
"Nah, sekarang giliranmu."
Ucapan James membuat Nick mengerjap. "Apa?"
"Jadi, siapa gadis misterius yang membuatku harus susah payah membersihkan apartemenmu?"
Nick terdiam sesaat sebelum sebuah senyuman lebar mengembang di wajahnya.
***
"Ugh. Aku benci udara dingin." Naomi menggerutu pada dirinya sendiri ketika berjalan memasuki gedung apartemen Nick yang terletak di pinggir jalan perempatan. Angin musim gugur semakin hari semakin dingin, membuat Naomi mengutuki cuaca yang terlalu cepat berganti. Ia mengalungkan syal putihnya ketika memasuki lift dan menekan tombol angka lima di sebelah pintu. Tepat sebelum pintunya tertutup, ponselnya berbunyi.
Naomi tak melihat layar ponselnya dengan jelas saat menjawab telepon, "Halo?"
"Hai, Naomi. Ini aku, Keiichi."
Naomi tersenyum kecil. "Hai, Keiichi. Bagaimana kabarmu? Kau sudah kembali ke Boston?"
Sudah satu minggu berlalu sejak Nick keluar dari rumah sakit dan sejak saat itu, Naomi belum mendengar kabar dari Keiichi.
"Ya, aku baru saja sampai. Bagaimana denganmu?"
"Aku baik-baik saja. Aku sedang di dalam lift menuju apartemen Nick, memastikan dia baik-baik saja."
Keiichi tak langsung menjawab, jeda itu membuat Naomi hampir mengira Keiichi memutuskan telepon. Namun beberapa detik kemudian Keiichi membalas, "Ah... benarkah?"
Suaranya terdengar tak bertenaga. "Ya."
"Sebenarnya aku meneleponmu untuk memberitahu kalau aku mendapatkan dua tiket konser Joshua Bell. Aku yakin kau pasti mengenalnya dan kupikir... kau mau menontonnya denganku?"
Kedua mata Naomi terbelalak lebar. "Joshua Bell...? Kau tidak bercanda?" Joshua Bell adalah salah satu pemain biola kesukaan Naomi. Lelaki itu seperti legenda - tampan, energetik dan selalu menjiwai musiknya. Mendengar namanya saja membuat Naomi sudah tersenyum-senyum sendiri.
"Tentu saja tidak."
"Aku bersedia! Aku mau!" Naomi terlalu bersemangat menjawabnya hingga tak menyadari ia sedang berjingkat-jingkat pelan.
"Baiklah." Keiichi terkekeh. "Aku akan memberitahumu tanggal dan waktunya. Sampai ketemu lagi, Naomi."
"Aku tidak sabar."
***
Keiichi menutup telepon lalu bersandar pada punggung sofa rumahnya dengan putus asa. Teman baiknya yang kebetulan sedang berkunjung, Zach Trevor, duduk di sebelahnya lalu langsung bertanya, "Siapa itu Joshua Bell?"
"Aku bahkan tidak tahu. Aku hanya melihat poster orang itu di badan mobil taksi yang lewat hari ini," jelas Keiichi, datar.
Zach menyesap bir yang ia genggam lalu menyeletuk, "Lalu bagaimana kau mendapatkan tiketnya?"
Keiichi tersenyum paksa lalu menjawab, "Itu dia masalahnya. Aku tidak punya."
Zach tertawa terbahak-bahak. "Dude, kau dalam masalah besar. Wanita tidak suka pria yang berbohong."
Ya, tentu saja Keiichi tahu itu dan ia tak yakin kekuatan apa yang membuatnya harus berbohong. Yang ia tahu pasti, ia melakukannya setelah mendengar Naomi menyebut nama kakaknya.