"Air." Nick memerintah Naomi yang duduk di sampingnya dengan suara datar.
Naomi mengulurkan segelas air pada Nick yang kemudian menyesapnya. "Ponselku," perintahnya lagi.
Naomi meraih ponsel Nick di atas meja di samping ranjang dan memberikannya pada Nick. "Jadi kau akan membiarkanku tidur atau tidak?" tanya Naomi dengan kesal.
Ketika diberitahu kalau jam besuk sudah hampir habis dan pasien hanya diperbolehkan ditemani satu pembesuk, Nick langsung memilih Naomi dengan alasan, "Kau harus bertanggung-jawab karena telah hampir membunuhku." Dan tentu saja ucapan itu berhasil membuat Naomi merasa bersalah, lagi. Naomi lantas tak memiliki pilihan lain selain menuruti kemauan Nick.
"Sebenarnya siapa pasiennya di sini? Lagipula, seingatku hutang sejuta dolarmu belum dibayar sampai lunas. Dan karena aku sedang berbaik hati, aku akan memotong sedikit dari hutangmu kalau kau bisa merawatku dengan baik." Nick mengeluh sambil menggelengkan kepala.
Hari sudah malam. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Sebetulnya Naomi punya banyak sekali balasan untuk segala ucapan Nick yang sarkastik tapi ia sudah tak bertenaga. Kegiatannya membersihkan gudang hari ini benar-benar menguras energi. Akhirnya Naomi hanya berdumal dalam hati lalu duduk di kursi di samping ranjang tidur Nick.
"Kenapa kau mengusir Keiichi?" tanya Naomi beberapa menit kemudian.
Nick masih sibuk menatap layar ponselnya saat menjawab, "Aku tidak mengusirnya. Aku dipaksa memilih salah satu dari kalian. Dan aku memilihmu."
"Kenapa?"
Nick terdiam. Lalu ia memandang Naomi sambil mengerutkan alisnya. "Bukannya sudah jelas? Tidak akan ada yang terjadi pada Kei kalau dia pulang sendiri malam-malam. Apalagi dia memiliki mobil pribadi. Kalau kau? Aku tahu kau mungkin menganggapku gila tapi aku masih punya nalar untuk tak membiarkam seorang gadis pulang malam-malam sendiri. Aku lebih baik mendengarmu menggerutu sepanjang malam daripada harus mengkhawatirkanmu."
Naomi tertegun kemudian ia mengalihkan pandangannya dari Nick. Entah bagian mana dari ucapan Nick yang terdengar menyentuh, tapi kalimat itu membuat Naomi hampir tersenyum. Naomi mengeluarkan ponselnya lalu menyalakannya, "Aku akan menelepon Keichi, memastikan ia sudah sampai di rumah."
"UHUK-UHUK!!" Nick terbatuk dengan suara nyaring, membuat Naomi melotot kaget dan menghampirinya.
"Kau baik-baik saja?? Kau membutuhkan sesuatu? Apa kau tidak bisa bernapas? Ya, Tuhan, kau tidak bisa bernapas... bagaimana ini?"
Nick sadar betul kalau tidak ada masalah dengan kerongkongannya maupun paru-parunya, namun ia sadar kalau itu mengalihkan perhatian Naomi dari ponselnya. Sambil melirik ke arah ponsel Naomi yang terletak di atas meja, Nick menyeletuk, "Tidak apa-apa, ini sering terjadi."
"Tidak, aku harus memanggil suster. Suster!"
Nick langsung panik, kedua matanya melebar lalu ia meraih pergelangan tangan Naomi dan menariknya. "Eh... sekarang aku baik-baik saja. Tidak perlu merepotkan orang, kau tidak lihat sekarang hampir tengah malam? Pekerja kesehatan pun butuh istirahat."
"Tapi kalau kau tidak bisa bernapas..."
Nick menarik tangan Naomi dan menghembuskan napas pada punggung tangannya. "Lihat, aku bisa bernapas, kan?"
Naomi membiarkan tangannya digenggam selama beberapa saat yang lama. Ia dapat merasakan hembusan napas Nick yang hangat di sana dan tanpa sadar, ia sudah memandang Nick cukup lama. Nick melepaskan tangan Naomi ketika mendengar gadis itu berdeham. Keduanya mengalihkan tatapan mereka satu sama lain.
Suasana berubah canggung, namun Nick bersyukur Naomi tak mengingat apa yang hendak ia lakukan sebelumnya.
Selama mengenal Nick, Naomi tak pernah memiliki kesempatan untuk benar-benar mengamati wajah lelaki itu. Dan meskipun ia mendapatkan kesempatan itu, Naomi yakin ia tak mungkin menggunakannya. Tapi, berada di bilik sesempit ini membuat Naomi tak memiliki pilihan lain selain memandang wajah Nick.
Naomi baru sadar kalau rambut tebal Nick berwarna cokelat gelap. Dan dari jarak sedekat ini, kedua mata Nick yang agak sipit itu terlihat menenangkan. Tulang hidungnya tinggi, Naomi yakin Nick mendapatkan itu dari ayahnya. Naomi bahkan dapat melihat beberapa tahi lalat kecil di lehernya. Dan melihat Nick sedekat ini, membuat Naomi bertanya-tanya, mengapa lelaki itu begitu pucat?
"Kenapa memandangku seperti itu?"
Pertanyaan Nick membuat Naomi hampir tersontak, kaget. "Ti-tidak apa-apa."
"Ngomong-ngomong, Carter." Nick menyeletuk.
"Hmm?"
"Namanya Adele Moss."
Naomi mengerutkan keningnya, bingung. "Siapa itu?"
"Wanita yang kau lihat bersamaku di pesta malam itu."
Meski memakan waktu agak lama, Naomi akhirnya mengerti apa yang dibicarakan Nick. Ingatannya menariknya ke kejadian beberapa tahun yang lalu, kejadian yang membuatnya malu dan marah.
"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Naomi sebagai reaksinya.
Kemudian Nick menambahkan, "Aku mendengar ceritanya dari Scott." Naomi mendelik sebal mendengarnya, membuat Nick buru-buru membenarkan, "Tidak seperti yang kau pikirkan! Scott sama sekali tidak salah dalam hal ini. Kuharap kau tidak memarahinya atau semacamnya."
Pembelaan Nick akan Scott membuat Naomi mengendurkan rahangnya yang mengeras.
"Mendengar cerita itu, sepertinya aku tahu sedikit alasan mengapa kau membenciku."
"Aku tidak membencimu," koreksi Naomi, pelan.
"Kalau begitu, kau-,"
"Aku juga tidak menyukaimu!" Naomi langsung memotong, tak membiarkan Nick melanjutkan kata-katanya.
Reaksi itu membuat Nick tertawa pelan. "Aku tahu," jawabnya. "Dan, ngomong-ngomong, tidak ada yang tahu soal Adele. Tak satupun, termasuk Keichi maupun ibuku."
Naomi mengerutkan sebelah alisnya. "Dan kau memberitahuku."
"Karena aku ingin meluruskan sesuatu."
"Meluruskan apa?"
"Kesalahpahaman yang mungkin membuatmu menarik diri dariku," Nick menjawab dengan suara yang pelan, terlalu pelan hingga nyaris tak terdengar.
Namun Naomi mendengarnya, dan ia membalas, "Kau tidak perlu meluruskan apapun. Karena aku tidak pernah membencimu dan aku tidak pernah menarik diri darimu karena kita... tak pernah sedekat itu. Semua hanya perasaanmu, Nick. Sekarang berbaringlah dan istirahat."
"Aku tahu. Aku hanya ingin memberitahumu kalau hubunganku dan Adele tak pernah semudah pemandangan yang kau lihat malam itu," jelas Nick, cepat. "Keichi tidak tahu alasan yang membuatku harus menolak gadis-gadis di sekolah. Aku melakukan semua itu demi seorang gadis yang kemudian membuatku menunggu selama bertahun-tahun lalu meninggalkanku untuk orang lain. Dan lucunya, setelah bertahun-tahun dia meninggalkanku, dia muncul lagi malam itu. Untuk pertama kalinya. Lalu menciumku seperti tak terjadi apapun."
Naomi termenung memandang Nick yang kini telah berbaring di ranjangnya.
"Cih. Dia meninggalkanku saat aku bukan siapa-siapa dan kembali saat namaku tertera di majalah-majalah ekonomi. Apa kau tahu rasanya dibuang saat tidak dibutuhkan dan dipungut saat bosan?" Nick bergumam sambil menatap langit-langit ruangan. "Ya. Itulah yang kurasakan. Tak bernilai."
Hening. Tak terdengar apapun selama beberapa saat kecuali suara bisikan pasien-pasien gawat darurat di sekelilingnya dan bunyi mesin-mesin kesehatan di ruangan itu.
Kalau mengingat kejadian itu, Naomi berbohong kalau ia bilang ia tak merasakan apapun. Faktanya, ia masih merasa sedikit... sebal kalau memutar ulang kejadian itu di benaknya. Namun, begitu mendengar penjelasan Nick, mendadak Naomi merasa iba.
Apakah itu alasan yang membuat Nick terlihat begitu sinis? Karena ia berusaha melindungi dirinya sendiri? Naomi mengerutkan keningnya, samar. Ia tak percaya kalau bahkan seseorang yang mendekati sempurna dan memiliki segalanya bisa merasa... tak bernilai.
GROOK-GROOK
Naomi hampir terkejut mendengar suara dengkuran dari ranjang Nick. Namun, begitu melihat lelaki itu telah memejamkan matanya dan terlelap, Naomi tersenyum kecil. Naomi bangkit dari kursinya, menarik ke atas selimut tipis yang menutupi tubuh Nick kemudian mengusap punggung tangan lelaki itu dengan ibu jarinya. "Tidur nyenyak, Nicholas."
***
Beberapa jam yang lalu...
"Aku hanya ingin memastikan."
"Memastikan apa?"
Keiichi melirik Nick dengan tatapan serius kali ini, membuat Nick mengerutkan alisnya. "Memastikan batasan kita."
Mendengar itu, kedua mata Nick menyipit. "Aku tidak mengerti apa maksudmu."
"Kau tentu ingat perjanjian yang kita buat sejak kecil - kalau kita tidak akan pernah merebut sesuatu (atau dalam konteks ini, seseorang) yang menjadi milik satu sama lain." Keiichi menekankan. "Aku hanya ingin memastikan kalau gadis itu bukan milik siapa-siapa."
Nick terdiam. Tentu saja Nick ingat perjanjian itu, perjanjian yang hampir dibuat dengan perjanjian darah. Sepertinya selama ini Keiichi bertumbuh meniru kakaknya karena sekarang, ia sungguh terdengar seperti Nick - begitu terus terang.
"Jangan pura-pura tidak mengerti karena aku yakin kau tahu apa... maksudku, siapa yang sedang kubicarakan. Karena itu, perlakukan dia dengan baik sebelum orang lain yang melakukannya. Sebelum aku... yang melakukannya."
Tepat saat Keiichi menghentikan ucapannya, Naomi membuka tirai penyekat dan berjalan masuk. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"
Tak ada yang menjawab sebelum Keichi mengalihkan tatapannya dari Nick dan berpaling pada Naomi sambil tersenyum lebar. "Bukan apa-apa."