Chereads / Another Winter / Chapter 3 - Dua

Chapter 3 - Dua

Musim Semi, New York.

"Mom, ini berlebihan. Kenapa aku harus mengenakan gaun macam ini hanya untuk merayakan ulang tahunmu?" Naomi mengeluh sambil menarik-narik gaun putih selutut yang ia kenakan di depan cermin. Sambil mengerang, Naomi berjalan menuju tempat tidurnya lalu duduk di pinggir ranjang.

"Kau wanita yang cantik, Naomi. Dan kau harus bangga dengan itu," ujar ibunya, Reiko Mitsuzaka, sambil duduk di sebelahnya dan mengusap lengan puterinya. "Hari ini ada tamu spesial, jadi kita harus berpakaian sedikit lebih rapi dari biasanya. Maaf, ya?"

"Kau beruntung hari ini hari ulang tahunmu, jadi aku akan menurutimu." Naomi bangkit berdiri lalu menyiapkan tas tangannya.

Hari ini hari ulang tahun Reiko yang ke lima puluh lima. Naomi dan kedua orangtuanya sudah memesan tempat di restoran Itali yang terkenal di daerah Manhattan. Selain ulang tahun, kedua orangtuanya pun merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke dua puluh lima tahun. Tentu saja hari ini adalah hari yang spesial. Ditambah lagi akan ada tamu spesial yang membuat Naomi penasaran.

Langit masih terang ketika Naomi dan keluarganya tiba di restoran, meskipun waktu sudah menunjukkan jam setengah tujuh malam. Reiko dan Peter Carter, suaminya, berjalan memimpin Naomi ke meja untuk enam orang yang terletak di tengah ruangan. Di sana, ada dua orang yang sudah menunggu kedatangan mereka, dua orang yang duduk membelakangi.

"Aiko!" sapa Reiko, membuat wanita yang duduk di sana bangkit berdiri dan menoleh.

"Astaga, Reiko!" Wanita itu balas menyapa dalam bahasa Jepang, membuat Naomi tersenyum tipis. Saat ibunya dan wanita itu sedang berpelukan dan bertukar sapa, lelaki yang duduk di samping Aiko ikut bangkit berdiri lalu berpaling ke arah Naomi. Naomi beradu-tatap dengan lelaki itu selama beberapa detik yang lama sampai Naomi menyadari ada hal yang tidak beres.

Setelah berbincang cukup lama, Reiko berpaling pada Naomi dan mengibaskan tangannya, memberi tanda bagi Naomi untuk mendekat. "Ini puteriku, Naomi."

Naomi membungkukkan badan, memberi salam. "Senang bertemu dengan Anda."

"Ya Tuhan, puterimu mirip denganmu waktu muda, ya. Hanya saja dia memiliki mata suamimu. Benar-benar cantik. Oh!" Aiko yang teringat sesuatu langsung menoleh ke arah pria yang berdiri di belakangnya. "Ini puteraku, Nicholas."

Lelaki bernama Nicholas itu tersenyum hangat sambil mengangguk ringan. "Panggil aku Nick."

Naomi hanya balas tersenyum.

"Ya ampun, dia benar-benar terlihat seperti Edward! Hanya saja dia memiliki matamu!" Reiko mengusap lengan Nick sambil tersenyum. "Dan tinggi sekali!"

Ayah Naomi, Peter, adalah yang satu-satunya diam, menikmati pemandangan sambil tersenyum. Setelah selesai dengan reuni pendek, Reiko akhirnya mengajak semua tamunya untuk duduk. Naomi membiarkan ayah dan ibunya untuk memesan makanan karena semua tulisan yang ada dalam menu membuatnya hampir pusing.

Tak lama kemudian, anggur merah pesanan Reiko tiba. Seorang pelayan menuangkan isinya ke gelas kaca masing-masing tamu di atas meja.

"Jadi, Reiko, apa kau sudah memberitahu Naomi?" Aiko menyeletuk, membuat semua mata mengarah pada Naomi.

Naomi langsung melirik ibunya. "Beritahu apa?"

Reiko mendadak berubah kikuk dan tersenyum malu. "Eh... itu..."

"Wah! Dia belum tahu rupanya!" Aiko memekik kaget sambil mengusap bibirnya yang meneteskan anggur.

"Tahu apa? Mom?

Mendengar desakan Naomi, Reiko hanya bisa menatap puterinya dengan tatapan bersalah.

"Soal pertunanganmu dengan Nick," jelas Aiko sambil tersenyum lebar. Sayangnya, senyuman itu tak dapat membuat Naomi tersenyum. Justru sebaliknya, kedua mata Naomi melebar kaget ke arah Nicholas Boucher yang duduk di seberangnya, menatapnya dengan tenang.

***

Setelah makan malam usai, Reiko dan Aiko meninggalkan kedua anak mereka di restoran sementara mereka berbincang-bincang di taman hotel yang berada tak jauh dari restoran. Peter, ayah Naomi, sibuk menelepon rekan bisnisnya di kejauhan. Naomi sudah menghabiskan hampir lima gelas anggur merah selama menunggu ibunya kembali. Sudah hampir tiga puluh menit berlalu dan belum ada tanda-tanda kemunculan ibunya. Dan entah mengapa ia merasa kesal, suasana hatinya buruk. Ibunya benar-benar berhutang penjelasan yang sangat panjang dan Naomi akan melakukan apapun untuk mendapatkan itu.

Naomi mengulurkan tangannya hendak meraih botol anggur di tengah meja ketika Nick tiba-tiba memecahkan keheningan di antara mereka, "Kau sudah mabuk."

Naomi melirik lelaki di seberang meja dengan tatapan marah. "Aku tidak mabuk," balasnya dengan ketus, mengabaikan pandangannya yang mulai berputar-putar.

"Kalau begitu setidaknya kau harus mulai minum air putih kalau tidak mau muntah dalam beberapa menit ke depan."

"Kenapa kau begitu peduli?"

"Karena sepertinya aku yang harus membopongmu pulang dalam keadaan mabuk, mengingat peranku sebagai tunanganmu. Dan aku tidak mau direpotkan." Jawaban lelaki itu begitu jujur dan apa-adanya, dan meskipun itu hal yang bagus, Naomi tidak menyukainya.

Naomi meletakkan gelas kacanya di atas meja lalu mengerutkan alisnya. "Aku tidak akan pernah mau menikah denganmu."

"Bagus, karena kau sama sekali tidak mendekati seleraku," balas Nick, tidak mau kalah.

Mulut Naomi terbuka hendak mengucapkan sesuatu tapi ia hanya terdiam. Diam karena ia tidak percaya ada orang yang begitu menyebalkan bahkan dalam pertemuan pertama. Hari itu, Naomi bersumpah dalam hati kalau ia tidak akan pernah mau melihat wajah lelaki itu lagi.