Chereads / Another Winter / Chapter 2 - Satu

Chapter 2 - Satu

Bunyi bel yang berdenting ketika ia membuka pintu membuat orang-orang menoleh. Naomi Carter menundukkan kepala sambil berjalan memasuki dapur, hal terakhir yang diinginkannya saat ini adalah menjadi pusat perhatian. Naomi mengenakan seragamnya, mengikat tali celemek di belakang pinggangnya dengan erat sebelum memulai pekerjaannya; menyuci piring.

Suara air yang mengalir di wastafel mengundang kehadiran orang yang saat ini sedang tak ingin dilihat oleh Naomi, Scott West. Belum sempat lelaki itu mengucapkan sesuatu, Naomi lebih dulu menyeletuk, "Apa yang kau inginkan Scott? Aku selalu terlambat, ya, karena aku sibuk mencari uang tambahan untuk membayar tagihan ini dan itu..."

"Ya, ya. Aku tahu. Tapi ada seseorang yang mencarimu. Sejak tadi menunggu kedatanganmu."

Naomi berhenti bergerak, kemudian melepas sarung tangan karetnya lalu menghela napas. Ia lalu melirik Scott dengan cemas sebelum berjalan keluar dari ruang dapur. Ada seorang pria jangkung berambut putih yang duduk menunggunya dengan secangkir kopi di atas meja yang terletak di sudut ruangan. Lelaki itu mengangkat wajah ketika Naomi berjalan menghampirinya.

"Selamat siang. Scott bilang Anda mencariku?" sapa Naomi, mengambil tempat duduk di depan lelaki itu.

Lelaki tua itu hampir bangkit berdiri namun menunda aksinya ketika melihat Naomi duduk. "Miss Carter, aku sangat ingin bertanya apa kabarmu, bagaimana bisnis restoran keluargamu, tapi aku bukan tipe orang senang berbasa-basi."

Naomi tak bereaksi, perhatiannya tertarik pada kumpulan kertas-kertas yang dikeluarkan dari map kertas di atas meja.

"Namaku Teddy Wright, aku mewakili pengelola gedung, sebagai manajer. Aku datang ke sini untuk ini," Teddy mendorong selembar kertas yang telah dilipat menjadi tiga bagian pada Naomi yang kemudian menerimanya. Naomi membuka lipatan kertas tersebut kemudian termenung begitu melihat tulisan berukuran besar di sana.

INFORMASI TAGIHAN PEMBAYARAN IURAN

"Lalu ini." Selembar kertas kedua menyusul.

"Dan ini." Lembar ketiga dan... "Lalu ini." Keempat.

Keempat lembar kertas itu memiliki isi yang sama, semuanya berisi tagihan iuran gedung serta hutang kedua orang tuanya. Naomi menelan ludah. "Hmm, Mr. Wright, uh... aku sudah mendapatkan surat ini dari... pengelola gedung dan... aku sedang berusaha untuk membayarnya."

Teddy Wright tidak terlihat seperti penagih hutang yang kejam karena lelaki tua itu sedang menatapnya dengan tatapan iba. Meski Naomi tak suka dilihat seperti itu, ia harus mengakui kalau belas kasihan dari pria itulah yang bisa menyelamatkannya saat ini.

"Aku tahu, Miss Carter. Sebenarnya aku juga mengenal baik kedua orang tuamu dan aku tidak ingin melakukan ini tapi...," Teddy menggigit sudut bibirnya. "...aku mendapatkan tekanan. Aku tidak ingin melakukan hal yang... kau tahu, yang menyakitimu. Dan satu-satunya yang bisa kulakukan untuk membantunya hanyalah... memberikanmu satu minggu untuk membayar semua tagihan ini atau... kami terpaksa menyita semua properti milik kedua orangtuamu."

Naomi menelan ludah, lagi. Kemudian ia hanya bisa mengangguk pelan lalu bangkit berdiri sambil membawa surat-surat tagihan orangtuanya. Tepat saat ia berjalan melewati Teddy, lelaki itu bangkit berdiri dan berkata, "Maafkan aku, Miss Carter."

Naomi tersenyum lemah lalu menyeret kedua kakinya untuk berjalan memasuki dapur. Setelah memastikan Teddy telah pergi, Scott langsung berjalan menghampiri Naomi. "Kau baik-baik saja?"

Naomi menggeleng pelan. "Tidak, Scott. Aku akan kehilangan satu-satunya peninggalan keluargaku. Sepertinya kau harus mulai mencari pekerjaan baru karena mulai minggu depan, restoran ini akan ditutup."

Penjelasan Naomi membuat Scott berdiri mematung di ujung dapur. Scott West telah menghabiskan sepuluh tahun bekerja sebagai koki di restoran keluarga Naomi, Gran's Kitchen. Ia bahkan telah mengenal orangtua Naomi sejak lama, bahkan sejak sebelum Naomi bergabung dalam bisnis ini. Sebelum kedua orangtua Naomi meninggal dua tahun yang lalu. Gran's Kitchen sudah menjadi rumah kedua bagi Scott. Dan sekarang, ia terancam kehilangan rumah itu serta keluarga satu-satunya yang ia miliki, Naomi.

Scott menggeleng-geleng, tidak percaya. "Tidak, tidak, Naomi. Kau akan membiarkannya begitu saja? Kau bahkan tidak mau melawan atau sekedar mencari jalan keluar? Kau harus menyelamatkan peninggalan kedua orangtuamu! Kau tidak boleh menyerah begitu saja."

"Scott, menurutmu apa yang kulakukan selama dua tahun terakhir? Menurutmu, mengapa aku selalu datang terlambat setiap hari? Dan apa kau tidak menyadari kalau aku kehilangan berat badan?" Naomi merasakan tubuhnya mulai bergetar. Kedua matanya tiba-tiba terasa panas. "Selama dua tahun terakhir, aku bekerja di toko roti malam hari, mengambil shift malam di swalayan 24 jam dan pulang setiap jam dua pagi. Lalu aku harus bangun jam enam pagi untuk siap-siap bekerja sambilan di hotel sebagai tukang bersih-bersih. Aku bahkan membantu mahasiswa mengerjakan makalah untuk mendapatkan 100 dollar. Jangan beritahu aku kalau aku tidak cukup berkorban dan berusaha karena aku sudah kehilangan akal dan tenaga untuk tidak menyerah, West!"

"Tapi kita masih punya cukup waktu."

Naomi melempar lembaran surat-surat tagihan kepada Scott. Dan dengan tangisan yang sudah tak bisa dibendung lagi, Naomi menangis. "Katakan padaku, Scott. Dimana kau bisa mendapatkan 125,000 dolar dalam satu minggu?"

Kedua mata Scott melebar, kaget. "Sa...satu minggu?"

Naomi bersandar pada tembok sambil memendam wajahnya dengan kedua tangannya. "Aku sudah berusaha. Aku sudah tidak sanggup lagi. Maaf, Scott." Setelah mengatakan itu, Naomi berjalan keluar dari dapur menuju kantor pribadinya.

Scott masih berdiri mematung di tengah dapur, menatap lantai kotor yang belum dibersihkan selama berhari-hari. Dan entah mengapa pemandangan jorok itu mengingatkan Scott akan seseorang. Seseorang yang mungkin menjadi harapan terakhirnya. Scott buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu mencari nomor telepon orang itu.

***

"Aku sudah bilang kalau gedung itu tidak bisa digunakan untuk keperluan syuting... aku tidak peduli berapa banyak bayarannya, gedung itu sudah menjadi properti negara, kau harus bertanya pada pemerintah untuk mendapatkan ijinnya. Sekarang berhenti meneleponku."

Setelah membanting telepon kantor pribadinya untuk kesekian kalinya, Nicholas Yamada-Boucher menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. "Roland, jangan beritahu aku kalau kau lupa membatalkan janji dengan perusahaan Evergreen hari ini. Karena kalau kau lupa, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan padamu dengan suasana hati yang sangat buruk ini."

Asisten pribadinya, James Roland, yang berdiri cukup jauh di ujung ruangan menelan ludah lalu berdeham. "A-aku sudah membatalkannya, Nick."

"Bagus." Nick tersenyum miring lalu membuka mata. Ia bangkit dari kursi kerjanya lalu berjalan menuju jendela kaca raksasa di ruang kerjanya. "Bagaimana dengan gedung apartemen di dekat Central Park yang kuberitahu tempo hari? Apa kau sudah mengeceknya?"

"Ya. Pengelola gedung bilang dia ingin bertemu denganmu sebelum menandatangani kontrak."

Nick memutar bola matanya sambil menggeleng. "Ada apa dengan wanita-wanita ini?"

James terkekeh lalu duduk di salah satu kumpulan sofa di tengah ruangan. "Kau muncul di majalah Forces sebagai salah satu pemuda tersukses tahun ini, mantan pacarmu adalah selebriti Hollywood, kau dikenal sebagai 'anak nakal', 'playboy' dan lain sebagainya. Kau tahu wanita senang dengan pria seperti itu akhir-akhir ini. Mungkin itu tren."

"Aku tidak bisa terus menerus tidur dengan wanita untuk membeli properti. Dan demi Tuhan, mengapa pemilik gedung-gedung ini adalah wanita?!" Nick melipat tangan di dada dan mengerang.

"Memangnya kau lebih suka tidur dengan laki-laki?"

Nick menatap James dengan kesal. "Jangan macam-macam."

Tepat saat itu, sebuah ketukan di pintu membuat Nick dan James menoleh. "Masuk!" perintah Nick dengan lantang.

Seorang wanita berseragam melongok masuk, "Mr. Boucher, ada orang yang memaksa ingin bertemu denganmu. Dia sudah menunggu selama lebih dari lima jam-"

"Intinya saja. Jangan berbelit-belit," potong Nick, kesal.

"Dia bilang untuk memberitahumu soal Naomi Carter?"

Naomi. Nama itu. Dua kata terakhir itu sanggup membuat Nick tertegun kemudian berjalan cepat keluar dari ruangan, membuat James mengerutkan keningnyal, bingung.

***

Scott dibawa ke ruangan yang berukuran raksasa, sepertinya ruangan itu dipakai untuk rapat besar-besaran. Di sana terdapat meja panjang yang dikelilingi belasan kursi duduk, di ujung ruangan ada layar proyektor sebesar layar bioskop. Langit-langit ruangan pun begitu tinggi, membuat Scott merasa sedikit cemas.

Pria yang membawanya ke ruangan itu, berjalan mondar-mandir sambil melipat kedua tangannya di dada. Pria itu bertubuh jangkung, rambutnya yang tebal berwarna cokelat muda sama seperti warna matanya yang agak sipit, yang menunjukkan tatapan yang tajam. Entah mengapa ada sesuatu di matanya yang... menakutkan. Dan pandangan itu membuat James tak berani mengucapkan apapun selama lima menit terakhir.

"Jadi?" Lelaki itu tiba-tiba menoleh sambil berdiri di hadapannya, membuat Scott mendongak.

"Eh... seperti yang kukatakan tadi, Naomi membutuhkan bantuan Anda."

"Dan bagaimana kau tahu kalau aku mengenalnya?"

Scott tak langsung menjawab. "Ka...karena aku mengingat Anda. Pertunangan dua tahun yang lalu..."

Jawaban Scott membuat Nick hampir tak berkedip. Lalu ia teringat sesuatu, "Bagaimana keadaannya?"

"Well, kami memiliki waktu satu minggu untuk membayar hutang serta tagihan orangtua Naomi. Kurang lebih 125-,"

"Maksudku dia. Bagaimana keadaan gadis itu?"

"Gadis itu? Maksud Anda, Naomi?"

Nick diam-diam menelan ludah dan mengalihkan pandangannya, "Ya, dia."

"Dia...tidak baik." Scott menggeleng pelan sambil mengernyit. Dan reaksi itu membuat Nick mengerutkan alisnya.

"Dan mengapa dia mengirimmu dan tidak datang ke sini untuk menemuiku?"

Scott tampak ragu, "Sepertinya Anda tahu apa alasannya. "

"Dia tidak tahu kau di sini," Nick menegaskan dan langsung dijawab Scott dengan anggukan.

Nick akhirnya menghempaskan tubuh di kursi berlengan di ujung meja, kursi yang diyakini Scott hanya boleh ditempati oleh Nick seorang. Nick mengerang sambil mengangkat wajah ke langit-langit ruangan. Scott yakin lelaki itu menggumamkan sesuatu dalam bahasa asing yang belum pernah didengarnya sebelumnya.

Setelah beberapa detik memejamkan mata dan berpikir keras, Nick kembali berpaling pada Scott. "Katakan padaku apa yang harus kulakukan. "