♧♧♧ happy reading. ♧♧♧
🌈🌈🌈
Aku memandangnya penuh puja
Sedang aku bukan raja
Apalagi seorang dewa
Pun, tak memiliki hak istimewa
Sedang dia perwujudan Bulan
Dewi yang takkan pernah sejalan
Denganku pastinya
Tentu, aku hanya pemujanya
Yang amat menawan
Namun tak mampu aku tawan
🌈🌈🌈
"Halo, Dewiku .... Kau pasti sedang menikmati angin sore yang berhembus tenang. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" tanyaku ramah sambil mengimbangi langkah menawan sang dewi.
Selene, dewi bulan yang aku puja setengah mati tersenyum tipis. "Benar, Balthazar."
Aku tersenyum senang, "Benar yang mana, Dewiku?" tanyaku tanpa mengurangi letak senyumku.
"Aku sedang menikmati angin sore dan ada sesuatu yang menggangguku," jawabnya tenang sembari memilih apel di salah satu kios pedagang lusuh di pasar.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan anggun dari Selene, suara Sanyī --pedagang adonan panjang berwarna kuning yang berasal dari Yunan-- menggema keras. "Berhenti mengencani banyak wanita! Aku akan mengadukanmu pada Sang Dewi agar kau menggantikan posisi gadis-gadis perawan itu di kuil!"
Aku tertawa lantang, tanpa sungkan terkikik geli dihadapan sang dewi yang juga tengah menahan senyum dari balik cadar ungunya.
"Silahkan Sanyī, Sang Dewi pasti akan mengabulkan keinginanmu, dan aku dengan senang hati akan terus melayani Sang Dewi sampai ajal menjemputku!" balasku tak kalah lantang.
Wanita berbadan gemuk itu menunjukkan wajah jijik sekaligus jenaka, "Dan Sang Dewa pasti akan memanggangmu hidup-hidup, hahaha!" ejeknya tanpa henti.
Lantas, penghuni pasar yang berada di sekitar mereka ikut tertawa. "Benar, Dewa Matahari kita pasti sedang menyaksikan di atas sambil berpikir akan melahap dagingmu dengan asinan apa," tambah Pené --gadis cantik pemilik toko roti di ujung pasar.
Aku ikut tertawa, mereka tidak tahu saja bahwa para dewa-dewi yang menaungi desa dan kota ini senang sekali menyamar menjadi manusia biasa dengan meredupkan cahaya yang kerap bersinar dari tubuh mereka. Yang tentu saja, ada kemungkinan jika Helios --saudara dari Selene ini tengah berada di sekitar mereka.
"Dewiku, mau kah kau pergi denganku ke danau pinggir desa?" tanyaku saat tawa penghuni pasar mulai mereda dan mereka sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
"Tentu, Balthazar," jawab Selene menyunggingkan sebuah senyum kecil yang tampak menawan. Ah, bukankah setiap jengkal wajahnya selalu saja menawan?
Aku melebarkan senyumku, terlihat jelas gurat bahagia yang tak mampu aku tahan-tahan agar tidak meletup di depan sang dewi.
Saat aku mulai membuka mulutku lagi untuk bertanya, Selene menatapku dan berkata, "Aku sudah mengitari setiap ujung kota tadi siang, dan mengakhirinya di desa sore ini. Seperti biasa, tidak ada yang mengancam."
Benar, dia menjawab pertanyaan yang selalu aku lontarkan saat kita bertemu. "Aku tidak mau suara emasmu terbuang sia-sia hanya untuk menanyakan itu, Balthazar," canda sang dewi.
Aku merona, "Seharusnya aku yang tidak boleh membiarkanmu menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol dariku, tapi apa daya? Bibirku tak mampu terkatup saat berhadapan denganmu, Dewiku."
"Tapi aku tidak pernah keberatan saat mengeluarkan suaraku untuk setiap pertanyaan yang kau lontarkan," balas sang dewi.
Ada jutaan kupu-kupu terbang dalam perutku, sepertinya terlalu banyak sampai perutku ingin meledak. Aku benar-benar ingin mengeluarkan mereka semua. Demi Ouranos yang Agung dan Gaia yang Anggun!
"Kau akan terus berjalan sampai mencium air danau, Balthazar?" tegur sang dewi tenang.
Aku terkejut saat menyadari bahwa Selene sudah duduk pada dahan pohon yang terletak didekat danau sedang aku terus berjalan tanpa tahu bahwa bagian depan kakiku mulai terkena cipratan air.
"Dewiku, aku terlalu senang sampai tak menyadari bahwa air ini bisa saja menggerusku," ucapku konyol sembari menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal.
Sang dewi menatapku lamat, aku pun jua menatapnya. Namun, ada yang sedikit berbeda dari tatapannya. Wajahnya berangsur cemas, walau hanya kentara sekilas.
"Kemarilah, aku membutuhkanmu ...." bisik sang dewi nyaris tak terdengar.
Tanpa berpikir dua kali, aku berlutut di hadapannya, menatap penuh perhatian pada sosok anggun yang tak pernah luput dari pengawasanku.
Ada sinar terang mengelilingi tubuhnya, membuat pandanganku kabur dan memaksaku memejam untuk beberapa saat.
"Entah kenapa, aku tidak pernah ragu saat menunjukkan sosok asliku padamu," ucapnya lirih sambil mengelus lembut rambut hitam legamku.
Kurasakan suaranya penuh dengan khawatir, sedikit tertahan agar tak membuatku semakin cemas.
Aku mengerti, dia tengah dilanda nestapa.
Lantas, kurebahkan kepalaku di atas pangkuannya. Harum tubuhnya merebak, memenuhi indera penciumanku yang peka. "Dewiku ... tetap saja aku khawatir gaunmu akan ternodai karenaku," bisikku sambil memainkan ujung gaun berwarna kelabu yang senada dengan iris indahnya.
Terdengar kekehan renyah darimu, "Balthazar, sudah kubilang kau adalah manusia suci yang dikirim Ibu Malam untuk menjadi pengajaku selama aku di sini. Jadi, kau tak akan pernah menodai gaunku barang setitik, lantas mengapa kau begitu cemas, Pahlawanku?"
Kata-katanya mampu menentramkan hatiku, sejenak menenangkan cemasku yang tercipta akibat suara lirih Selene beberapa saat lalu.
Tangannya terus membelai rambut hitamku, menyalurkan rasa nyaman yang tak mampu aku dapatkan pada siapapun.
"Ada apa Dewiku? Ungkapkan semua yang membuatmu terganggu, kau tahu aku pasti akan mendengarkannya tanpa ragu," ucapku berusaha tenang.
Tangannya berhenti membelai rambutku, yang membuatku segera mendongak. Menatap wajah rupawan sang dewi bulan.
Wajahnya tampak dipenuhi guratan cemas, berbeda dengan biasanya yang selalu terlihat damai dan tenang. Aku semakin cemas, kugenggam tangannya erat. "Kumohon, jangan membuatku semakin khawatir, Dewiku. Aku benar-benar akan menghukum diriku sendiri jikalau kau terluka akibat keteledoranku."
Selene tersenyum sambil menarik tangannya dari genggamanku kemudian kembali membelai rambutku, "Kenapa rambutmu bisa sehalus ini?" tanyanya, yang membuatku semakin cemas.
Kuubah posisiku, aku benar-benar berlutut dihadapannya sekarang. Kugenggam lagi tangannya, tak pelik kutatap iris kelabunya yang balik menatapku sayu. "Kumohon, jangan menyiksaku lagi," pintaku lirih.
Sang dewi tak melunturkan senyumnya, masih terus menyunggingnya dengan tetap menatapku. "Aku tidak akan menyiksamu, Pahlawanku."
Aku menggeleng, "Sifatmu, tingkahmu, dan cara bicaramu, benar-benar membuatku tersiksa, Dewiku .... Pasti ada hal berat yang mengganggumu sampai kau seperti ini, kumohon, bagilah denganku," pintaku enggan jemu.
Selene tersenyum, "Jika aku membaginya, aku pasti jauh lebih tersiksa. Lantas bagaimana, Pahlawanku?" tanyanya, menimbulkan bimbang yang membuatku semakin kalut.
Aku menatapnya nanar, "Tak ada kah cara lain agar kau tak lagi tersiksa?" tanyaku, terdengar putus asa.
Sang dewi menatapku jenaka, "Apa kau benar-benar tak ingin aku tersiksa?"
Aku mengangguk yakin, "Tentu, Dewiku."
✨✨✨
Rasa ini tak mampu aku bendung
Selalu datang saat mendung
Bersama angin yang berbisik
Disusul suara air gemericik
Terkulai lemas
Aku dihantui cemas
Bagaimana jika kau pergi?
Apa aku masih bisa hidup lagi?
Sedang inti kehidupanku ada padamu
Sedang seluruh jiwa ragaku adalah dirimu
Lantas, apa yang harus kulakukan,
jikakalau itu akan menjadi sebuah kenyataan?
✨✨✨
⭒⭒⭒ to be continue. ⭒⭒⭒