Oleh: Manggala Kaukseya
"Biar aku tunjukkan bagaimana cara kerjanya, oke?"
Namun sebelum sempat menunjukkan apapun, Nyonya Austra melihat ke sekelilingnya dan menyadari betapa sesaknya orang-orang yang berada di hadapannya. Wajah mereka pucat, tubuh mereka menggigil, mereka tampak ketakutan dan terberkahi pada saat yang sama. Kehadiran dirinya benar-benar terlalu berat untuk kami hadapi.
"Ah… kurasa jika aku berlama-lama lagi di sini, akan segera jatuh korban jiwa di antara kalian, akan kuusahakan untuk meminimalisir efek ini jika kita hendak bertemu lagi, untuk sekarang, tahan dulu ya~."
Wajahnya memancarkan gelora cahaya yang begitu agung, namun begitu sulit untuk dilihat secara langsung. Aku bisa merasakan tubuhku jatuh lemas seiring berjalannya waktu.
"Setelah ini kalian bisa datang ke pusat administrasi dan melihat daftar tim kalian pada papan yang tersedia di sana, kami sudah menanyakan pada tiap perwakilan tim untuk memilih 1 dari tiap rumah (atau apartemen?) yang terletak di benteng Guild ini."
Ia mengarahkan tangannya pada tembok-tembok tinggi yang berjejer di sekeliling kami. Tapi tak satupun dari prajurit di sana yang bergerak, ataupun menolehkan pandangan mereka, karena ketak sanggupan tubuh mereka yang sudah terasa semakin sesak tak berdaya.
"Oke oke… sudah tak kuat ya~ baiklah, aku sudah menaruh tiap info yang kalian butuhkan di lembaran-lembaran info yang telah kami taruh di tiap-tiap rumah."
Lalu dengan senyuman yang kian terang mempesona lagi megah dan agung, dia berucap untuk terakhir kalinya pada kami.
"Selamat bertugas~"
*Blink!*
Secepat kedipan mata ia menghilang bagai kilatan cahaya. Serentak tiap prajurit yang hadir di lapangan ini terjatuh, tergeletak di tanah, setelah akhirnya terbebas dari aura yang luar biasa mencekam dari wanita itu.
"Kak… apa yang… barusan ter… huft… jadi?"
Lalita memandang ke arahku, bertanya kian bingung dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Apa-apaan… apa tiap musisi sekuat itu?"
Devan lanjut bertanya, namun ia terlihat lebih mampu menghadapinya ketimbang Lalita.
"Kita baru saja, bertemu seorang Dewi!"
Aku bersorak, tak seperti mereka berdua, sebagai Santi Waraney aku jauh lebih sanggup menghadapi sesak nafas yang diakibatkan nyonya Austra.
"Dewi…? Kak aku… tahu… dia cantik… tapi apa… hubungannya?"
Bahkan di tengah kesulitannya bernafas, gadis ini masih bisa menampilkan pandangan jijiknya.
"Aku tak melebih-lebihkan Lalita, wanita itu benar-benar seorang Dewi!"
Tentu saja aku tak ingin adikku memandangku dengan kian rendah, jadi aku semakin membentak.
"Maksudmu sosok religius… yang patut disembah!?"
Devan tampak kaget, tapi dia tampaknya mulai bisa memahami situasi yang baru saja terjadi.
"Benar, seperti yang beliau bilang sebelumnya, para manusia abadi kini telah menjadi Dewa dan Dewi bagi kita penghuni asli Dunia Sang Pencipta."
"Ah… jadi itu… maksudnya."
Adikku tampak lega, apapun itu alasannya.
"Lalita bicara nanti, atur dulu nafasmu."
Lalita pun mengangguk, berhenti bicara dan memasang kuda-kuda meditasinya. Ia mulai mengatur pembakaran yang terjadi di tubuhnya, mengurangi beban yang diemban paru-parunya.
"Kalau begitu, apakah berarti Tuan Agung Amartya kini juga menjadi seorang Dewa?"
Tanya Devan penasaran.
"Ah benar, para Sarma bilang dirinya dan keluarganya telah dijadikan abadi oleh Sang Pencipta— tunggu…"
"Hmm?"
"Aku sempat baca soal Dewa-Dewi di Buana Yang Telah Sirna, bukankah masing-masing dari mereka punya tugasnya masing-masing?"
Saat itu aku teringat soal Zeus, Apollo, Shiva dan lain-lainnya. Dewa berbeda dengan Tuhan, mereka memiliki ranahnya masing-masing, dan manusia akan berdoa pada dewa yang berbeda untuk masalah yang berbeda.
"Ah kau benar, aku penasaran jadi Dewa apa Tuan Agung Amartya…"
"Mungkin lembaran yang disebutkan Nyonya Austra memiliki jawaban yang kita butuhkan."
"Kalau begitu kita langsung lihat saja!"
Devan pun berdiri, bersiap beranjak dari tanah lapang di bawahnya.
"Ayo Lalita! Kita pergi ke Pusat Administrasi sekarang!"
Aku pun meraih tangan adikku, mengangkatnya dari meditasinya, dan berjalan pergi menuntunnya.
"Baiklah~"
Kami pun berangkat menuju gedung Pusat Administrasi yang berada di Selatan benteng. Layaknya kami, mereka yang pertama pergi dari lapangan adalah para Genka, karena ilmu pernafasan kami yang jauh di atas suku-suku lainnya.
"Langit-langitnya… tinggi juga…ah!"
Begitu masuk Devan langsung menyadari betapa besarnya isi gedung ini seraya mengadahkan kepalanya ke atas, kami turut mengikutinya karena jujur, tak ada gedung yang ruangannya setinggi ini di kota-kota Genka.
Gedung putih berlapiskan platina suci ini dipenuhi oleh para Melati dan jin-jin yang beraneka warna, serta Pandeka yang terlihat menjaga tiap ruangannya (juga tangga). Seperti yang dijanjikan Sang Pencipta, Azazel mengisi Dunia baru ini dengan bangsanya mulai dari generasi keempat.
Tak seperti para manusia terdahulu yang tak mampu melihat jin, kami bahkan dapat berinteraksi dengan mereka, sehingga akhirnya kami pun menciptakan sebuah simbiosis mutualisme dengan mereka. Beberapa orang generasi sebelumnya mungkin tak sepenuhnya menaruh kepercayaan pada jin, namun keseharian kami tak akan lagi pernah lepas dari kehadiran dan bantuan mereka. Aku bisa bilang apa, mereka makhluk yang cukup rajin dan patuh.
Namun jin yang ada di Dunia baru tak lagi hanya tercipta dari api, melainkan dari elemen di mana tempat mereka lahir. Menjadikan mereka bagaikan elemental yang memiliki pikirannya sendiri.
"Lihat di sana, ada banyak sekali papan berjejer! Mungkinkah info tim kita tertulis di sana?"
Lalita menunjuk ke arah sekumpulan papan tulis di tengah ruangan yang didereti lembaran kertas menempel padanya. Terdapat pula 2 jin berwarnakan putih platina yang berdiri di samping mereka.
"Ah benar, mari!"
Kami pun segera menghampiri papan-papan itu, dan benar, nama-nama anggota dari masing-masing tim tertulis di sana. Tapi seperti apa yang aku duga, selain nama para Waraney, tak satupun nama di sana yang familiar di mataku.
"Lihat itu mang, nama kita ada di kertas paling pojok kiri atas."
Devan mengarahkan pandangannya pada apa yang diucapnya.
"Coba kulihat… "
Terdapat 8 nama yang tertulis bersama kami. Dan di atas daftar nama itu, tertuliskan angka 69 di atasnya. Kurasa itu simbol yang cukup familiar, kalau tidak salah buku tentang Buana Yang Telah Sirna pernah membahas tentang simbol atau angka itu.
"69… seperti yin dan yan-"
"Waaahhh nomor SEKS!"
Tiba-tiba omonganku disela oleh Lalita, dia berucap begitu lantang, hingga hampir tiap manusia di sana (termasuk aku dan Devan) menatap jijik kepadanya.
"Norma, Lalita…"
"Ups! Maaf kak…"
Dia segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Tapi Lalita benar, dari perkiraanku seharusnya ada 100 tim yang terbentuk, dan Nyonya Austra juga bilang dia telah meminta perwakilan tim untuk memilih nomor, berarti bisa dibilang salah satu anggota kita merupakan seseorang yang… teramat mesum."
"Maksudmu ada seorang Iska yang sangat kuat di tim kita?"
Tanya Devan.
"Benar!"
"Hmm, aku juga sadar kita bertiga berada dalam satu tim, ditambah nama kita ditaruh di kertas paling pertama, kita bertiga tahu di antara Santi, Ina dan Istinggar Waraney, kita bertiga yang berada di puncak generasi keempat."
"Jadi menurutmu tim kita diisi oleh orang-orang terkuat di Guild?"
"Bisa jadi, coba kamu lihat namanya, pengetahuanmu luas, mungkin kamu bisa mengenali keluarga dan kelas mereka."
"Ah benar…"
Aku lalu maju ke depan untuk melihat kertas kami dengan lebih seksama. Akan tetapi jin yang berada di sana lekas memberikan kami salinan dari kertas tim kami. Nama kami bertiga berurutan dari aku hingga Devan, lalu nama setelahnya ialah…
"Himesh… bukankah ini nama keluarga utama Siska? (S. Iska, S merupakan kepanjangan dari Stigra Tala, nama resmi Penempa Bumi)"
"Ah ini menjelaskan Iska kuat yang memilih nomor tim kita."
Tambah Devan, aku dan Lalita mengangguk setuju.
"Lalu Urania itu Jawara… dan Mercuria itu Dara Komodo… 2-2nya dari suku Toksik."
"Apa berarti Jawara tersebut seorang pawang?"
"Sepertinya…"
Dara Komodo merupakan manusia setengah kadal yang bersikap layaknya hewan, namun bertarung dengan sangat luar biasa berbahaya. Seorang pawang di suku Toksik ialah seorang Jawara kuat yang mampu mengendalikan dan memandu para gadis kadal ini.
"Kalpataru… ah ini seorang Sarma."
"Sarma!?"
Lalita hampir melompat ketika mendengar asal suku anggota tersebut.
"Apakah kita akan bertemu Sarma generasi keempat?"
Tambahnya.
"Oh iya, benar juga… aku harap mereka berbicara bahasa bumi dengan lancar, tak seperti kebanyakan Sarma generasi pertama."
Aku sempat mendengar kisah-kisah dari para Waraney senior yang berinteraksi pada Sarma di Umanacca tentang bagaimana mereka mencampur adukkan bahasa bumi dengan bahasa suku mereka karena mereka tak cukup cerdas untuk memilah kedua bahasa.
"Kemudian yang terakhir?"
Tanya Devan, nampaknya dirinya cukup tertarik dengan segala hal tentang Guild dan tim ini.
"Dra…konus…?"
Bicaraku melambat.
"Kenapa? Kamu tidak pernah mendengar nama mereka?"
"Pernah, hanya saja… aku kesulitan mengingat mereka siapa atau dari suku apa."
"Yasudahlah, kini kita tahu di mana rumah kita, mungkin info anggota lainnya akan tertera lebih lanjut di sana."
"Kalau begitu apa yang kita tunggu!?"
Lalita menarik kami berdua pergi dari tempat ini.
Aku tahu Lalita anak yang ceria, namun hari ini dia terlihat jauh lebih bersemangat dari biasanya. Sebenarnya aku tak bisa menyalahkannya, karena benakku saat ini juga hanya diisi segala hal tentang Guild dan ambang-ambangku mengenai bermacam hal yang akan kita lakukan di sini.
*
Kami pun keluar dari gedung Pusat Administrasi dan pergi menuju wilayah tembok ke-2 dari benteng Guild. Di sana kami menemukan rumah tingkat 1 (selayaknya tiap rumah di sini) yang bernomorkan 69. Rumah ini hanya dicat dengan cat dasar, seakan meminta tiap tim untuk merias rumah mereka masing-masing. Menurutku itu sistem yang sangat kreatif.
"Dari awal sebenarnya aku ingin membicarakannya jadi ya… tidakkah pintu rumah ini terlalu tinggi!?"
Oceh Devan, ia benar-benar merasa terhina oleh betapa besarnya arsitektur di sini, mengingat suku kami adalah yang terpendek di seluruh Bumi.
Pintu rumah ini setinggi 5 meter dengan 1 lantainya setinggi 6 meter. Benteng ini memiliki tembok dengan tinggi 15 meter, jadi atap rumah ini tidak bersentuhan dengan atap benteng.
"Tidak, rumah ini mungkin juga akan ditinggali oleh Ambawak, jadi sudah seharusnya pintunya tinggi."
Jawabku dengan tenang.
"Tapi Ambawak macam mana yang mencapai 5 meter? Bukankah ini overkill!?"
"Mungkin saja Ambawak bangsa yang claustrophobic? Sudahlah, kita masuk saja, arsitektur tempat ini bukan hal yang penting saat ini."
Layaknya tiap benteng di Mitralhassa, tembok di sini terbentuk dari baja kuat berukirkan berlian. Namun rumah kami, meskipun aku bisa merasakan ada baja yang sangat keras di dalamnya, memiliki dinding yang terbuat dari bata dan semen. Kami hanya perlu mengecat dan meriasnya, dan rumah ini mungkin akan terasa sangat nyaman dipandang ketika rileks, menjauhkan diri dari kemiliteran di kala beristirahat.
Kami pun berjalan hendak memasuki rumah itu. Gagang pintunya berbentuk tabung yang terpasang vertikal dari bawah hingga atas, guna memungkinkan tiap suku dengan tinggi yang berbeda mampu membukanya.
Oh iya, rumah ini juga memiliki sistem sidik jari yang bila ditempelkan dengan jari tangan, akan mengecek elemen dari orang tersebut guna mengidentifikasi identitasnya. Karena tiap orang, bahkan para Vhisawi dan klon, memiliki identitas elemen yang unik untuk tiap individu. Terdapat jin yang menunggu kami di dekatnya guna mengajari kami bagaimana cara menggunakannya.
*Kreeeek...*
"Permisi…"
Ucap Lalita dengan halus dan sopan seraya melangkah mengikuti bersama Devan di belakangku yang saat ini tengah membuka pintu.
"Selamat datang~"
Dari dalam rumah seberkas suara lembut yang kian jernih, menyambut kami dengan penuh kesejukan.